Sumi (46) memusatkan perhatiannya pada potongan kain warna-warni sepanjang 20 cm di tangannya. Ia mengepang dan memilin kain itu mirip mengepang rambut. Tak sedikit pun Sumi terlihat kesulitan melakukan aktivitas itu. Apalagi, ia baru saja mendapat pelatihan singkat tentang cara memilin dan mengepang potongan kain. “Kayak mengepang rambut. Bedanya, ini kainnya terlalu kecil,” katanya sambil tetap memusatkan perhatian pada kain di tangannya.
Sumi tidak sendirian. Di tempat yang sama masih ada 6 perempuan lain duduk di sebuah kursi panjang. Ruangan di lobi Departemen Radioterapi RSCM, Jakarta, itu tidak terlalu luas. Mungkin saja mereka saling kenal, namun tidak saling menyapa meski duduk berdampingan karena masing-masing sibuk memilin dan mengepang potongan kain berwarna-warni untuk dijadikan gelang.
Bagi mereka, kegiatan memilin gelang menjadi cara jitu mengisi waktu selama menunggu giliran kemoterapi di rumah sakit tersebut. Sumi misalnya, akrab dengan ruang radioterapi 3 bulan terakhir, sejak suaminya, Dito, yang sehari-hari bekerja di salah satu pabrik di kawasan Cikarang, divonis mengidap kanker nasofaring dan harus menjalani pengobatan dengan radioterapi.
“Kami datang sekali seminggu untuk pengobatan. Setiap kemari kami harus menunggu giliran berdasarkan nomor antre karena banyaknya pasien. Bisa setengah hari lamanya. Daripada bengong, kami terima tawaran mengepang kain jumputan untuk dijadikan gelang. Kalau sudah jadi, satu gelang dihargai Rp10.000. Kalau sehari bisa membuat 3 gelang, lumayan buat pengganti uang makan selama menunggu,” katanya sambil tersenyum.
Kegiatan membuat gelang harapan menjadi pemandangan baru di Room of Hope atau Ruang Harapan bagi penderita kanker, sejak diperkenalkan 15 September silam saat menyambut Idul Adha. Acara dihadiri Ketua Penanggulangan Kanker Nasional Prof. DR. Dr. Soehartati Gondhowiardjo, Wulan Guritno, Janna Soekasah-Joesoef, Amanda Soekasah dari tim gerakan Gelang Harapan yang disebut Warrior of HOPE, desainer Ghea Panggabean, serta Koordinator Cancer Information On Support Center (CISC).
Kain Jumputan
Berawal dari ide sederhana tiga sahabat, Amanda Soekasah, Wulan Guritno, dan Janna Soekasah, membuat budaya solidaritas di antara anak muda demi membantu penderita kanker. “Kanker sengaja dipilih karena menjadi penyakit yang paling dekat. Beberapa teman kami punya saudara maupun tetangga yang kena kanker,” ujar Amanda. Selain karena jumlah penderita kanker terus bertambah. “Kami merasa ada sesuatu yang perlu kami sebarkan,” tambahnya.
Kemudian mereka mendatangi desainer legendaris Indonesia Ghea Panggabean, yang juga ibunda dari Amanda dan Janna Soekasah. “Kami minta izin agar kain jumputan sisa milik beliau boleh dijadikan gelang. Beliau setuju,” ujar Amanda menambahkan. “Kain jumputan berarti kain pelangi dan pelangi itu adalah simbol dari harapan. Dari situ terciptalah bracelet of hope (gelang harapan) yang kami jual, 100 persen keuntungannya untuk penderita kanker.”
Ghea sendiri tidak menyangka kain jumputan yang tadinya tidak berarti justru menjadi gelang unik bercorak warna-warni. “Saya betul-betul terharu, saya tidak menyangka sejauh ini saya bisa berada di sini dan melihat sendiri perkembangan dari aksi solidaritas yang diawali tahun lalu ini,” kenang Ghea.
“Saya pikir buat iseng saja, ternyata berguna untuk membantu penderita kanker. Saya terharu sekali karena kain-kain yang tadinya dibuang ternyata berguna. Saya bersyukur Tuhan menunjukkan jalan bisa melihat teman-teman, saudara-saudara saya yang punya harapan,” ucap Ghea sambil menyeka air matanya karena terharu.
Ghea sendiri tertarik membuat kain jumputan sejak menjadi desainer. “Sejak masih gadis saya hobi pakai scraft (jumputan) warna-warni karena saya menyukai gaya <bohemian,” kata Ghea yang memopulerkan kain jumputan pada dekade 1980, bersanding dengan Iwan Tirta dan Prayudi yang sudah lebih dulu memopulerkan batik.
Suatu ketika, Wulan, Amanda, dan Janna bertandang ke ruang kerja Prof. DR. dr. Soehartati Gondhowiardjo yang merupakan Ketua Penanggulangan Kanker Nasional. “Saat melewati ruang tunggu, banyak sekali pasien yang menunggu giliran pengobatan. Timbul ide untuk memberdayakan para pasien dan keluarga tersebut untuk membuat gelang,” kenang Amanda yang sempat ngobrol dengan para penderita kanker.
Menurut Amanda, saking banyaknya penderita kanker yang ingin melakukan pengobatan, sementara ruang radioterapi maupun kemoterapi di RSCM sangat terbatas, mereka harus rela antre menunggu. “Bisa berjam-jam, hingga lebih dari setengah hari. Kami tawarkan kegiatan mengepang kain sambil menunggu. Mereka akan mendapat uang bisa untuk uang transpor atau biaya makan selama menunggu. Mereka bersedia,” ujar Amanda.
Setiap keluarga yang ikut program gelang harapan akan mendapat sebuah boks kecil berisi beberapa helai kain jumputan dan peralatan mengepang. Boks beserta isinya boleh dibawa ke rumah bagi yang ingin melanjutkan pekerjaan di rumah masing-masing. Bagi yang mengerjakan di RSCM, bisa menggunakan ruangan di salah satu sudut ruang tunggu Departemen Radioterapi RSCM.
“Setelah dikepang, finishing-nya tetap dilakukan pihak supplier. Tiap gelang dihargai Rp10.000. Memang perlu ketekunan. Kalau sudah terbiasa mengepang, sehari bisa 4-5 gelang,” jelas Amanda yang berulang kali mengucapkan terima kasih kepada RSCM.
“Ini ruang kecil dulu, kami sudah senang RSCM memberi tumpangan di Room of Hope. Cita-cita kami ingin memiliki rumah harapan,” tandas Amanda yang dibenarkan oleh Soehartati Godhowihardjo.
Tumpak Sidabutar
KOMENTAR