Tabloidnova.com - Komunitas yang terdiri dari orangtua, terapis dan dokter ini memiliki banyak efek positif. “Anggota komunitas dilatih melakukan beberapa gerakan terapi sederhana, mudah, dan tidak membahayakan. Ini berguna bagi orangtua yang tidak ada akses untuk datang secara rutin ke tempat terapi. Dengan menerapkan sendiri di rumah, minimal berguna untuk maintenance. Sehingga kondisi anak tidak bertambah buruk,” tutur Anwar Istanto, salah satu terapis di Yayasan Rumah Cerebral Palsy.
Yayasan yang berada di Cilandak, Jakarta, ini tak hanya menyediakan perawatan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tetapi juga menjadi titik kumpul para orangtua dengan ABK sehingga lahirlah sebuah komunitas. Dari pengalamannya, kondisi orangtua ABK terutama Cerebral Palsy (CP) memiliki beberapa kendala. Selain jarak dan kemampuan ekonomi, “Jumlah fisioterapis ABK juga masih sedikit, paling hanya 10 persen dari total terapis yang ada saat ini,” ucapnya.
Untuk itu, dalam setiap kesempatan Anwar juga rajin mengkampanyekan pentingnya pencegahan. “CP dapat dicegah atau paling tidak efeknya dapat diminimalisir jika ditangani dengan cepat dan tepat,” sambung pria kelahiran Pemalang, 1 Januari 1978 itu.
Di tempat yang sama, Nur Rahmah Desiana, anggota Yayasan Rumah Cerebral Palsy, mengaku mendapat banyak keuntungan sejak bergabung dalam komunitas. “Saya bergabung dalam komunitas yang berbentuk yayasan sejak Mei 2012. Saya bertemu lewat media sosial. Sekarang anggotanya lebih kurang mencapai 1.500 orang.”
Lewat komunitas ini, “Kami selaku orangtua anak CP merasa terbantu. Di sini kami saling berbagi dan menguatkan. Menjadi orangtua anak CP sangat berat, baik secara fisik maupun psikis. Enggak mudah ketika mengajak anak jalan-jalan di tempat umum dan menghadapi tatapan orang-orang,” urai perempuan kelahiran Jakarta, 29 Desember 1981 itu.
Sebagai seorang terapis, Anwar juga tak pelit dalam menebar informasi penting yang perlu diketahui anggota komunitas. “Selain masing-masing anggota bisa sharing pengalaman, di sini kami juga berbagi informasi, misalnya seputar nutrisi. Nutrisi yang diperlukan anak CP itu berbeda-beda. Tergantung tipe CP-nya. Misalnya, CP yang hipertone butuh intake nutrisi yang lebih. Karena dia menegangkan ototnya sepanjang hari, seperti orang normal yang berolahraga setiap hari.”
Ke depan, Desi berharap Komunitas dapat membantu orangtua yang kekurangan biaya. Karena, “Problem dasar yang dihadapi orangtua adalah alat bantu seperti sepatu dan kursi roda. Sepatu dan kursi roda yang digunakan harus disesuaikan dengan kondisi. Sementara kondisi anak CP, kan, berbeda-beda, jadi enggak bisa menggunakan alat bantu bekas.”
Diakui Desi, sebenarnya ada banyak hal yang ingin mereka lakukan melalui komunitas ini. “Tapi orangtua anak CP itu urusannya banyak. Mulai urusan rumah, anak, terapi, sekolah dan lain-lain. Belum lagi beban pikiran dan biaya. Jadi, sementara ini kami hanya bisa berkumpul dan bercerita dengan sesama anggota, itu saja sudah menyenangkan,” kata ibu dari Dafa Suryo Satrio.
Dengan seringnya berbagi, para orangtua diharap Desi mampu mengoptimalkan kondisi sang anak. Termasuk mengasah bakat yang mereka miliki. “Anak CP juga ada yang memiliki bakat atau kemampuan seperti menghafal Alquran, menyanyi atau melukis.”
Desi berharap agar pemerintah lebih memerhatikan ABK. “Misalnya seperti fasilitas umum untuk mereka, sekolah dan kalau bisa ada terapi gratis. Oh iya, ada anak dengan CP yang membutuhkan suntik botox. Sayangnya, di sini suntik botox hanya untuk kecantikan. Padahal itu berguna untuk melemaskan otot. Sekali suntik harganya hampir 10 juta, enggak bisa pakai asuransi atau BPJS.”
POTADS Share Informasi di Youtube
>PAnak adalah suatu karunia terbesar yang diberikan Tuhan kepada manusia dan dalam menciptakan anak manusia Tuhan mempunyai rahasia tersendiri. Ada anak yang dilahirkan normal dan ada pula anak yang dilahirkan “istimewa”. Salah satunya adalah anak dengan Sindroma Down.
Kalimat itu terdapat pada web http://potads.or.id yang dikelola oleh Persatuan Orangtua Anak dengan Down Syndrome (POTADS). Pada awalnya umumnya orangtua akan mengalami sedih, stres, perasaan bersalah, sakit hati, tidak dapat menerima kenyataan, dan lain sebagainya, sehingga terasa masa depan yang akan dihadapi bersama si anak akan kelabu.
“Berangkat dari hal di atas, POTADS menyadari bahwa anak adalah titipan Tuhan. Dialah yang berhak menentukan apa yang pantas dan siapa yang diyakiniNya sanggup untuk dititipi,” kata Noni Fadhilah (50), Ketua Umum POTADS.
“POTADS selalu ingin berbagi rasa bahwa kita di dunia tidak sendirian. Kita dapat saling bertukar pikiran dan mendukung para orangtua dalam membesarkan anak kita. POTADS tidak ingin orangtua menyia-nyiakan anak dengan Sindroma Down. Kami berusaha untuk membantu mengembalikan kepercayaan diri para orangtua agar mereka dapat mendidik si anak menjadi mandiri sesuai dengan kekurangan dan kelebihannya,” lanjutnya.
POTADS juga menginformasikan kepada masyarakat luas bahwa Sindroma Down bukanlah penyakit turunan atau pun kutukan yang ditakuti. Dengan kasih sayang dan bimbingan orangtua, para penyandang Sindroma Down mampu dilatih dan dididik, bahkan tidak sedikit dari mereka yang meraih prestasi
Berbagai kegiatan yang dilakukan POTADS, di antaranya pertemuan dengan para orangtua anak Sindroma Down bekerja sama dengan para ahli yang terkait dengan tumbuh kembang anak (dokter, psikolog, terapis, dan lain-lain).
“Kami juga memberdayakan para orangtua anak dengan Sindroma Down agar mereka selalu bersemangat dalam mengawal tumbuh kembang anaknya dengan sebutan MLM Hati. Itu sebabnya pengurus POTADS juga diambil dari orangtua yang memiliki anak dengan Sindroma Down supaya mereka bekerja dengan hati,” kata ibu dari Zeina Nabila (25), anak dengan Sindroma Down yang dapat main piano dan drum serta saron (gamelan) dan mampu berkomunikasi dengan baik.
Komunitas ini awalnya adalah sekumpulan orangtua yang berdiskusi sambil menunggu anak yang mengikuti terapi di Klinik Khusus Tumbuh Kembang Anak (KKTK) Rumah Sakit Harapan Kita. Kemudian pada 1997 berlanjut sering mengadakan pertemuan-pertemuan dengan mendatangkan pembicara dokter dari lingkup RS Harapan Kita. Tiga orangtua yang memiliki anak dengan Sindroma Down sepakat membuat suatu perkumpulan dengan nama Persatuan Orang Tua Anak Dengan Down Syndrome. Ketiganya adalah Aryati Supriono, Noni Fadhilah dan Ellya Goestiani.
Perkumpulan ini disahkan menjadi Yayasan POTADS oleh Notaris pada tanggal 28 Juli 2003. Kini, POTADS sudah ada Medan, Bandung, Yogyakarta, Padang, Surabaya dan Bali dengan jumlah anggota 1500 orang. Setiap 3 bulan sekali diadakan kopdar, biasanya di rumah sakit-rumah sakit yang bekerja sama dengan POTADS.
“Setiap hari kami juga saling berkomunikasi satu sama lain melalui grup di WA, FB maupun BB. Kami punya 16 admin,” lanjut Noni. POTADS juga menerbitkan berbagai buku tentang Sindroma Down, salah satunya Terapi Dasar Untuk Anak dengan Sindroma Down. Selain buku, POTADS juga mengupload video berjudul sama di kanal Youtube.
“Dulu kami berikan DVD gratis, tapi kurang berjalan baik. Jadi, sekarang kami share di Youtube. Ini sangat membantu orangtua di daerah yang masih buta mengenai apa yang harus dilakukan jika memiliki anak dengan Sindroma Down. Mungkin dari dokter mereka sudah diberi tahu langkah-langkahnya, tetapi untuk keseharian, mereka tetap butuh pendampingan dari orangtua yang sudah berpengalaman. Ini juga untuk saling menguatkan satu sama lain.”
POTADS juga melakukan pendampingan dan rajin menggelar kegiatan pada setiap Hari Sindroma Down Sedunia yang jatuh tanggal 21 Maret.
Yayasan Advokasi Sadar Autisme Surabaya Berawal Dari Kasus Hukum
Yayasan Advokasi Sadar Autisme Surabaya (ASA Surabaya) didirikan tahun 2011 oleh Oky Mia Octaviany (47). Oky mendirikan lembaga sosial itu berawal adanya kejadian yang melibatkan anak seorang temannya yang kebetulan menderita autisme. Ceritanya, suatu ketika temannya tersebut mengajak anaknya ke sebuah toko sport di Surabaya. Di dalam toko, anak tersebut mencoba-coba kaus basket pilihannya kemudian dalam keadaan dipakai, anak tersebut keluar kamar pas dan menunjukkan kepada ibunya. Saat itu oleh petugas toko dikira mencuri bahkan sampai dibawa ke petugas keamanan.
“Teman saya sudah berusaha meyakinkan petugas keamanan kalau anaknya penyandang autisma, tetapi security tidak percaya. Mereka tidak mengerti perilaku anak autisma, sebab secara fisik mereka biasa saja. Anak teman saya itu baru dibebaskan setelah diminta membayar 10 kali lipat dari harga barang,” terang Oky.
Dari kejadian tersebut, Oky bersama teman-temannya yang memiliki anak penyandang autisma mendirikan ASA. Tujuannya menyuarakan hak-hak anak autis kepada pemerintah, sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat umum serta wadah saling curhat sesama orangtua yang memiliki anak penyandang autisma.
Menurut Oky menyuarakan hak anak penyandang autisma pada pemerintah sangat penting, mengingat belum ada aturan khusus yang mewadahi penyandang autisma apabila terjadi kasus hukum. Selama ini kalau anak penyandang autisma terjerat kasus hukum pihak berwajib membebaskan, tetapi si anak tersebut disetarakan dengan anak yang mengalami gangguan jiwa. “Padahal, penyandang autisma bukan gangguan jiwa, mereka tidak pernah memikirkan kalau berbuat seperti ini maka dampaknya demikian,” kata Oky yang anak sulungnya kini sudah duduk di bangku SMA kelas tiga, sedang anak kedua home schooling.
Oky sendiri mengalami saat-saat berat dalam kehidupannya sebagai ibu. Anak sulungnya, Chavy Hanantoseno (19) divonis menyandang autisma ketika berusia dua tahun. Kisah memilukan 17 tahun silam itu sampai saat ini tak bisa ia lupakan. “Jangan dibayangkan bagaimana syoknya saya saat itu. Pikiran saya campur aduk tak karu-karuan,” kata Oky.
Merasa kurang percaya dengan dengan diagnosa sang psiakiater, dia mendatangi psikiater lain untuk mendapat second opinion. Ia berharap vonis itu salah. Tapi akhirnya dia harus pasrah saat psikater kedua pun mendiagnosa sama.
Pada saat itu, autisma masih jarang dan belum sepopuler sekarang, sehingga informasi yang didapat masih sangat sedikit. “Kalau mau cari informasi soal autis lumayan susah. Bahkan dulu pemeriksaan darah saja harus dikirim ke Amerika dengan biaya sangat mahal, sebab laboratorium di Indonesia belum mampu,” kata perempuan yang berprofesi sebagai desainer ini.
Sejak itu suasana rumah tangga istri dari Banyon Anantoseno tersebut cukup sulit. “Kadang tidak ada apa-apa tiba-tiba membentur-benturkan kepala, atau tanpa ada sebab tiba-tiba menangis sekencang-kencangnya,” ujarnya.
Karena itu ketika seorang anak didiagnosa autis, tak jarang kehidupan rumah tangga kedua orangtuanya ikut bermasalah. Saling menyalahkan dan tak jarang sampai terjadi perceraian. “Karena itu ketika seorang anak didiagnosa autis, seharusnya kedua orangtua kompak, bahu membahu mencari jalan penyelesaian,” papar Oky.
Ternyata, cobaan yang dialami Oky tak berhenti sampai di situ. Beberapa tahun kemudian dia hamil anak kedua. Awalnya dia sempat trauma. Ia khawatir anak keduanya seperti kakaknya. “Tapi perasaan itu saya buang jauh-jauh, saya mencoba berpikir positif saja sampai akhirnya anak kedua itu lahir sehat,” papar Oky yang bersuamikan seorang bankir. Kelahiran putra kedua membuat Oky merasa lebih bahagia. Ravly Destareza kini berusia 16 tahun.
Tapi, apa yang dikhawatirkan Oky akhirnya terjadi. Namun, berbeda dengan autisma yang dialami anak pertama, autis anak keduanya tersebut akibat kecerobohan dokter. Karena curiga kemudian ia membawa buah hatinya tersebut ke psikiater. “Bibir saya langsung tercekat ketika psikiater menyatakan bahwa anak terdiagnosa autis,” cerita Oky yang hanya bisa pasrah pada yang Kuasa.
Tentu saja hari-hari Oky bersama suami makin berat. Pasalnya, merawat anak penyandang autisma harus ekstra perhatian termasuk dari sisi keuangan. “Ada istilah, pengeluaran satu anak autis sama dengan lima anak normal. Mulai makanan sampai perawatan pasti berbeda,” papar Oky yang selalu berusaha menyelipkan edukasi tentang autis setiap kali tampil berbicara di berbagai kesempatan. Baginya, itu sangat penting, sebab belum banyak orang yang mengerti tentang autisma termasuk ciri-cirinya.
ASA yang kini beranggotakan sekitar 50 orangtua penyandang autisma bisa saling curhat atau berbagi pengalaman. “Anak penyandang autis itu beda dengan anak penderita penyakit lain yang antara satu dengan lainnya gangguannya sama. Spektrum antar anak autis bisa berbeda.” papar Oky.
Edwin Yusman F, Hasto Prianggoro, Gandhi Wasono M
Berita yang lebih lengkap dan dalam ada di Tabloid NOVA. Belinya enggak repot, kok.
Sahabat NOVA bisa pilih langganan di Grid Store, atau baca versi elektroniknya (e-magz) di Gramedia.com, MyEdisi, atau Majalah.id.
KOMENTAR