Baca juga: Menperin: Batik dan Tenun Jawa Barat Kian Inovatif
Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengatakan, kebijakan tersebut merupakan respon pemerintah terhadap dinamika perdagangan kayu dunia yang menuntut produk bersertifikat legal dan berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.
“Pelaku usaha furnitur dan kerajinan katu skala kecil dan menengah tidak perlu khawatir terhadap aturan baru ini. Pemerintah melalui KemenLHK dan Kemenperin akan memberikan pendampingan dan dukungan untuk mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) baik secara sendiri maupun berkelompok,” ujarnya.
Hingga kini dan ke depan, Indonesia memiliki peluang kuat untuk mengembangkan industri pengolahan kayu, karena didukung terbukanya peluang pasar baik di dalam maupun luar negeri dan adanya keunggulan komparatif. Juga karena masih memiliki sumber bahan baku kayu yang relatif besar, telah dikuasainya teknologi proses, tersedianya SDM yang cukup banyak dengan upah yang kompetitif.
Senada, Wakil Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) bidang Pengkajian dan Hubungan Antar Lembaga, Hari Basuki mengatakan dengan dikantonginya FLEGT License pertama di dunia ini maka industri hilir pengolahan kayu memiliki keunggulan komparatif dibanding negara penghasil kayu lainnya.
“Kami melihatnya seperti itu. Karena pertama di dunia, jadi secara riil lisensi ini memperkuat daya saing kita dari negara produsen furnitur lainnya seperti Vietnam dan China. Kita satu langkah di depan dan ini momentum yang menguntungkan,” katanya.
Dia juga memberi gambaran, biaya yang dikeluarkan untuk uji tuntas atau due diligence sekira USD 1.000-2.000 per kontainer ukuran 20-40 feet. Dengan dihilangkannya kewajiban uji tuntas seiring berlakunya SVLK, maka memangkas biaya ekspor produk furnitur
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR