Tabloidnova.com - Usia muda dan sudah berkeluarga tak menghalanginya menjadi salah satu peneliti berprestasi LIPI. Penelitiannya tentang kuda laut membawanya pada penemuan senyawa aktif yang berpotensi menangkal alzheimer.
Sejak kapan menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)?
Sejak 2,5 tahun lalu. Namun, karier penelitian sudah saya mulai sejak 2006. Waktu itu saya jadi mahasiswa pascasarjana di Magister Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga. Di sana saya di-treat untuk bisa mandiri, mendesain riset sendiri dan melakukan publikasi. O iya, saya dua kali menempuh pendidikan S2, keduanya hasil beasiswa. Setelah di UKSW itu, saya juga mendapat beasiswa S2 di University of Glasgow, Skotlandia, mengambil jurusan yang mirip, yaitu Biomedical and Life Sciences.
Jadi, dua kali saya mendapat gelar master. Kemudian saya mendapat beasiswa S3 di Pukyong National University di Busan, Korea dengan jurusan Marine Biochemistry (Biokimia Kelautan). Di sana, saya lebih banyak melakukan eksplorasi dan identifikasi senyawa aktif dari biota laut, dan meneliti kegunaannya bagi kehidupan manusia. Nah, ketika sekolah doktoral di Korea itulah, saya pernah meneliti senyawa aktif dan manfaat rumput laut, teripang, alga, dan lainnya.
Anda juga meneliti kuda laut?
Ya. Saya menelitinya pada 2012 bersama tiga orang dari Korea, termasuk profesor pembimbing dan senior saya. Namun penelitiannya belum selesai karena masih ada beberapa tahap lagi yang belum dilakukan, jadi masih terlalu dini untuk bisa dikatakan sebagai obat penangkal alzheimer. Untuk bisa disebut obat, senyawa aktif harus memiliki beberapa tahap penelitian yang cukup mendalam.
Nah, penelitian saya baru pada tahap dasarnya saja. Tahap pengujian in vivonya bagus, lalu preclinical test. Mungkin bisa dikatakan sebagai suatu senyawa yang berpotensi menangkal penyakit alzheimer. Meski demikian, kami sudah mendapatkan hak patennya dari Amerika tahun 2015 dan mendapatkan hak paten Korea tahun 2014.
Berapa persen tingkat keberhasilannya untuk jadi obat penangkal Alzheimer?
Kalau dari tingkat in vitro dan in vivo, saya yakin lebih dari 90 persen. Secara in vivo terlihat bahwa kemampuannya memberikan survival rate terhadap sel saraf sangat tinggi. Hanya saja, kita harus mengujinya lebih lanjut. Waktu penelitiannya memakan waktu lama. Saya memulainya tahun 2010. Isolasi peptidanya sendiri memakan waktu satu tahun, dan ujinya satu tahun juga.
Kadang muncul rasa jenuh. Beruntung, support keluarga luar biasa. Kalau tidak didukung suami, mungkin enggak kelar, walaupun sebetulnya saya senang bekerja di dalam laboratorium. Waktu sekolah di Inggris, meski akhir pekan dilarang masuk laboratorium, saya ngotot minta izin, karena toh di sana teman saya dari Indonesia tidak banyak. Akhirnya diperbolehkan dan saya bisa melakukan beragam eksperimen.
Dari mana ide untuk meneliti kuda laut?
Idenya dari saya. Kebetulan, saya memang ingin meneliti senyawa-senyawa aktif dari biota laut Indonesia. Waktu itu saya sempat membaca sebuah jurnal yang mengatakan bahwa kuda laut telah lama digunakan sebagai obat tradisional Cina, digunakan untuk menguatkan ginjal dan jantung, serta bermanfaat untuk otak. Saya pikir, kenapa tidak meneliti kuda laut Indonesia? Lalu saya lakukan.
Hasilnya, saya menemukan bahwa peptida kuda laut ternyata sangat bagus. Peptida yaitu rangkaian protein yang jumlahnya 8-20 asam amino. Asam amino pendek ini juga memiliki rangkaian yang random dengan kriteria sendiri-sendiri. Nah, rangkaian yang ada pada kuda laut ini ternyata sangat bagus manfaatnya untuk tubuh dan otak kita, antara lain untuk mencegah alzheimer.
Ada rencana meneruskan prosesnya?
Sebetulnya ingin, tapi di Indonesia sarana dan prasarananya terbatas. Belum lagi, di instansi pemerintah ini banyak kegiatan di luar kegiatan penelitian itu sendiri (nonpenelitian). Misalnya, saya juga terlibat dalam tim Perencanaan, Monitoring, dan Evaluasi. Sejauh ini dukungan dari pemerintah juga belum ada. Sayang sebetulnya. Namun, ada perusahaan dari Korea yang tertarik. Hanya saja, karena penelitiannya belum sampai pada tahap final, mereka juga masih menunggu.
Omong-omong, mengapa tertarik jadi peneliti?
Sejak kecil, saya memang tertarik pada dunia penelitian. Saya orangnya kepo (ingin tahu, Red.). Waktu main bola bekel misalnya, saya selalu ingin tahu mengapa bolanya bisa naik turun. Mulailah saya mengulik-ulik lebih dalam.
Terlebih ketika saya kuliah S1 di Jurusan Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang. Saya merasa masyarakat Indonesia belum banyak memanfaatkan organisme laut. Suatu saat ketika kuliah di sana, saya melakukan penelitian tentang rumput laut. Miris sekali ketika para nelayan di pantai itu justru bertanya apa yang saya bawa. Mereka tidak tahu bahwa rumput laut yang ada di tepi pantai dan mereka anggap sebagai sampah itu ternyata bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal, misalnya dalam pembuatan es krim, industri makanan, tekstil, dan farmasi.
Bahkan, sejak beberapa tahun belakangan, rumput laut cokelat telah diekspor ke China dalam jumlah yang luar biasa banyaknya, untuk dijadikan pupuk dan polisakarida. Mungkin, kalau terus-menerus diekspor dalam bentuk raw material (mentah) seperti itu, ke depannya bisa terjadi over eksploitasi. Namun, pemerintah sekarang sudah mulai melarang ekspor produk dalam bentuk raw material.
Itu yang membuat Anda tergerak untuk jadi peneliti?
Ya. Saya ingin jadi peneliti dan memberikan manfaat lebih untuk masyarakat Indonesia tentang organisme laut, ke depannya. Bagaimana bisa masyarakat yang tinggal di daerah pesisir tidak tahu apa itu rumput laut dan manfaatnya? Padahal, mereka bisa meningkatkan taraf ekonominya dengan mengolahnya lebih lanjut.
Sebetulnya, cita-cita saya jadi dokter. Namun, pada malam sebelum mengisi formulir pendaftaran UMPTN, saya ingat pidato mantan presiden Abdurrahman Wahid yang mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam hal kelautan, karena 70 persen wilayah Indonesia terdiri dari laut. Akhirnya, Jurusan Ilmu Kelautan menjadi pilihan kedua saya.
Peneliti dianggap profesi yang tidak asyik karena identik dengan tua, kuno, rumit, dan kurang sosialisasi. Benarkah? Itukah penyebab generasi muda enggan jadi peneliti?
Mungkin karena kurangnya sosialisasi dari profesi ini. Bahkan, masih ada yang mengira LIPI singkatan dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia. He he. Banyak yang belum mengenal dunia penelitian Indonesia dan LIPI. Pandangan seperti tadi harus diluruskan. I can be what I wanna be. Justru dengan jadi peneliti, saya bisa pergi ke mana saja, misalnya ikut seminar ke Amerika dan Jepang, sekolah dotoral ke Korea, dan terkadang mengajar di Universitas Diponegoro.
Jejaring sosial seorang peneliti lebih banyak lo, dibanding jejaring sosial pada umumnya. Di kalangan peneliti ada jejaring sosial Google Scholar, Linkedin, Scopus, Orcid, dan lainnya. Dengan jadi peneliti, saya tidak jadi tua, kok. Saya tetap berjiwa muda. Biasanya malah saya mengenakan celana jins. Di LIPI, kami banyak menggaungkan semangat dan menggali potensi peneliti muda, baik tingkat SD, SMP, maupun SMA dengan mengadakan lomba National Young Inventors Award. Diharapkan, dengan demikian bisa merangsang jiwa penelitian pada generasi muda.
Lomba apa lagi yang diadakan LIPI?
Kami juga mengadakan Indonesia Science Expo dan Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang pemenangnya akan dikirim untuk mengikuti lomba di luar negeri. Lalu, ada juga lomba seperti yang saya menangkan tahun lalu, yaitu LIPI Young Scientist Award. Tahun lalu, lomba untuk peneliti muda di bawah usia 35 tahun itu baru pertama kali diadakan dan tidak hanya terbatas untuk peneliti LIPI.
Untuk ikut lomba ini, syaratnya antara lain direkomendasikan oleh satuan kerjanya dan memiliki rekam jejak yang baik dalam penelitiannya minimal lima tahun terakhir. Dokumentasi paten serta publikasi ilmiah juga menjadi penilaian. Alhamdulillah, saya cukup rajin menulis jurnal ilmiah, sekitar 30-an buah sampai sekarang. Ketika membuat proposal penelitian, biasanya harus menulis 1-2 jurnal. Nah, sisanya merupakan ide tambahan saya. Menulisnya tergantung mood. Peneliti itu seperti sastrawan, menulisnya tergantung mood. Hahaha.
Sejauh ini, apa kendala menjadi peneliti?
Yang pertama, jelas dana. Kedua, sebagai peneliti sekaligus ibu rumahtangga, istri dan perempuan, saya harus bijak membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Sebab, melakukan penelitian sangat menyita waktu. Misalnya, saya harus menunggui sel. Itu bisa memakan waktu sangat panjang, terkadang menunggu sampai malam. Saya juga harus terbiasa mendapat tugas mendadak. Pernah, begitu tiba di kantor, di meja saya sudah ada tiket pesawat untuk ke luar kota keesokan paginya.
Untuk menyiasati waktu, melakukan tugas lapangan ke laut tertentu di daerah, tidak pernah saya lakukan lebih dari seminggu, karena saya harus meninggalkan suami, Puji Rohmadi, dan anak, Shaka Rasendria Rohmadi, yang baru berusia 1,5 tahun. Alhamdulillah suami sangat mendukung dan tak pernah melarang saya bertugas keluar kota. Tanpa dukungan suami dan orangtua saya yang ikut menjaga anak kami, saya bukan apa-apa. Beruntung, dalam setahun paling hanya 3-4 kali saya melakukannya.
Ke mana saja? Penelitian apa saja yang pernah Anda lakukan?
Pernah ke Makassar, Mataram, Lampung, dan lainnya. Kami naik kapal sopek untuk mencari tripang, rumput laut, dan lainnya di laut. Yang paling sering saya teliti adalah rumput laut, baik dari jenis alga merah, cokelat, maupun hijau. Saya juga pernah meneliti mikroalga. Pernah meneliti bulu babi tapi tidak mendalam, karena fokusnya terpecah oleh penelitian kuda laut. Waktu di Korea saya juga pernah melakukan penelitian tentang tripang. Bedanya, tripang Korea aktivitas antikankernya sangat tinggi, sedangkan tripang Indonesia aktivitas antioksidannya yang kuat.
Sekaya apa sih, Indonesia dalam hal biodiversitas dan pemanfaatannya bagi kehidupan manusia?
Indonesia kaya banget. Ambil contoh, 5,62 persen spesies rumput laut dunia ada di Indonesia atau sekitar 800 spesies. Dari jumlah itu, yang dimanfaatkan masyarakat Indonesia tidak lebih dari 10 spesies. Begitu pula dengan tripang. Indonesia merupakan pedagang tripang terkuat di dunia, tapi kebanyakan diekspor ke berbagai negara termasuk China untuk digunakan sebagai obat dan lainnya. Ironisnya, produk obat berbahan baku tripang yang terkenal justru dibuat negara tetangga, bukan Indonesia. Masyarakat Indonesia baru mengolahnya sebatas menjadi keripik, padahal kalau diolah lagi akan memiliki nilai tambah yang lebih besar.
Apa rencana ke depan?
Kami sedang mengembangkan tripang dan alga laut Indonesia untuk menjadi produk pangan fungsional dan nutraceutical, yaitu suatu produk yang berupa suplemen atau produk lain yang diklaim bisa meningkatkan daya tahan tubuh. Misalnya, minuman suplemen yang diklaim bisa menurunkan kadar kolesterol. Dalam jangka panjang, kami juga ingin mengembangkan penelitian cosmeceutical, yaitu gabungan kosmetik dan pharmaceutical, misalnya sebagai lotion yang bisa berfungsi sebagai antioksidan atau antikerut.
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR