"Begitu pun di saat menunggu waktu subuh biasanya diselingi dengan mendengarkan kisah para nabi." katanya lagi.
Dalam pengalamannya berkenaan dengan anak-anak di sekolah, Astanti melihat beberapa pengalaman unik ketika kedua putrinya masih duduk di bangku sekolah dasar.
"Sebagai seorang pendatang di negeri asing saya selalu berusaha menyesuaikan diri saya dengan kondisi setempat."
"Hal itu yang selalu saya tanamkan pada anak-anak saya sejak usia dini. Sehingga menjadi minoritas tidak akan memiliki efek negatif dalam kehidupan mereka."
Annika dan Nabila, sama seperti banyak anak-anak Australia lainnya, aktif di sekolah mereka baik di bidang olahraga dan musik.
Baca juga: Kelezatan Menu Buka Puasa di Festival Kuliner 'Ngabuburit' La Piazza Kelapa Gading
Dan Esty memang mendorong kedua putrinya itu agar tetap berkegiatan secara normal meski sedang berpuasa.
"Menurut saya, sebagai pendatang, untuk bisa diterima kita harus bisa menjadi bagian dari lingkungan itu sendiri dulu. Tentunya kita tetap harus melakukan seleksi yang positif." kata Astanti.
Menurutnya, situasi lingkungan di Australia yang sangat berbeda dengan Indonesia, tidak memungkinkan untuk mengajarkan puasa dengan cara yang sama dengan yang dilakukan para orangtua di Indonesia.
"Untuk itu saya memperkenalkan manfaat dan menanamkan kesadaran untuk berpuasa dulu sejak usia dini, bukan kewajibannya kepada anak-anak. Misalnya dengan mengajarkan mereka untuk mengontrol emosi mereka, menahan diri dan menganjurkan mereka untuk puasa dimulai dengan setengah hari ketika mereka di pre-primary." lanjut lulusan S1 Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta tersebut.
Ervan Hardoko / Kompas.com
KOMENTAR