NOVA.id - Komisi Perlindungan Anak (KPAI) memaparkan dari tahun 2011 hingga 2016 terdapat peningkatan kasus perilaku tidak menyenangkan atau bullying di kalangan pelajar Indonesia.
Menurut Yasinta Indriyanti, M.Psi, psikolog dari EduPsycho Research Institute, perilaku tidak menyenangkan yang terjadi pada remaja terdapat beberapa hal.
"Remaja adalah suatu masa mencari jati diri. Kemudian di masa tersebut tumbuh rasa berkompetisi, namun mereka masih belum bisa mengidentifikasi kebutuhan atau kondisi emosional dengan tepat," jelas psikolog yang kerap di sapa Sinta.
(Baca juga: Ternyata Ini Cara Ampuh Mengurangi Konsumsi Garam Berlebih, Kita Bisa Coba!)
Selain masa mencari jati diri, hal lain yang menyebabkan remaja melakukan perilaku tidak menyenangkan adalah konformitas.
Konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial ketika seseorang mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.
Rasa diterima dalam sebuah kelompok sosial menjadi penting bagi remaja.
(Baca juga: Wah, Ternyata Minyak Kelapa Ampuh Hilangkan Selulit, Coba Yuk!)
Selain itu, faktor keluarga juga mempengaruhi.
"Pola asuh di keluarga yang diterapkan, apakah memudahkan remaja mengkomunikasikan diri atau tidak," kata Sinta.
Sinta juga menjelaskan, remaja yang berada di keluarga yang tidak komunikatif akan mencari kenyaman di luar keluarga.
(Baca juga: Launching Produk Shampoo, Wardah Gandeng Mesty Ariotedjo Sebagai Brand Ambassador Baru)
Maka, tak heran remaja lebih merasa nyaman dengan teman sebaya.
Di luar faktor keluarga, lingkungan yang memberikan contoh negatif kepada remaja dapat memicu remaja melakukan perlakuan tidak menyenangkan.
Lalu, bagaimana pola asuh yang sebaiknya orang tua lakukan?
(Baca juga: Ingin Berat Badan Cepat Turun? Cukup Minum Air Putih dengan Cara Berikut)
Sinta menyarankan, pola asuh layaknya seorang teman dapat menjadi solusi.
"Sering kali orang tua ingin terlihat sedikit senioritas kepada anak-anak karena kita (orang tua) ingin menunjukkan wibawa. Namun, pola asuh yang seperti itu kurang mempengaruhi untuk anak zaman sekarang," ucap Sinta.
Dengan memposisikan diri sebagai teman, kita dapat membangun kepercayaan sehingga anak merasa nyaman dan terbuka untuk bercerita.
(Baca juga: Buntut dari Aksi Shafa, Sang Perekam dan Penyebar Video Akan Dipolisikan)
"Paling tidak ketika anak-anak memiliki masalah di sekolah, mereka tidak akan mencari temannya dulu. Paling tidak kalau di rumah mereka (anak) merasa komunikatif. Berbicara tidak dilarang atau dibatasi," pungkas Sinta. (*)
Cecilia Ardisty
Penulis | : | Dionysia Mayang Rintani |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR