Perfeksionisme juga dicirikan oleh evaluasi diri yang terlalu kritis dan khawatir tentang penilaian dan kritik orang lain.
Meskipun tidak ada yang salah dengan mengejar standar yang tinggi, menjadi teliti, atau menginginkan semua hal berjalan dengan cara tertentu, namun sikap ini sebenarnya punya efek negatif.
Efek paling nyata dari sifat tersebut berupa tindakan menyakiti diri sendiri, sindrom kelelahan kronis, gangguan obsesif-kompulsif, insomnia, gangguan stres pasca-trauma, gangguan kecemasan sosial, kecemasan dan depresi.
(Baca juga: Ikan Sarden Kremes, Sajian Akhir Pekan yang Kriuknya Bikin Nagih!)
Riset terbaru dari Australian Catholic University juga menemukan bahwa sifat perfeksionis menyebabkan depresi.
Tentu kita tidak ingin kerja keras kita untuk mencapai level kesempurnaan menjadi bumerang bagi kesehatan mental.
Para ahli menyebutkan, sikap mencintai diri sendiri, atau praktik kebaikan diri, dapat melemahkan hubungan antara perfeksionisme dan depresi.
(Baca juga: Oh... Ternyata Begini Cara Atur Pola Makan yang Tepat untuk Buah Hati Kita)
Dr. Madeleine Ferrari, seorang psikolog, mengatakan bahwa orang-orang yang menyalahkan diri sendiri ketika mereka membuat kesalahan atau gagal mencapai standar tinggi dapat disebut "maladaptif perfeksionis".
Kondisi tersebut merupakan pemicu kelelahan dan depresi.
"Sikap belas kasih dan peduli pada diri dapat membuat orang perfeksionis terhindar dari depresi, baik pada remaja atau orang dewasa," kata Ferrari.
(Baca juga: Ini 6 Langkah Mudah Merawat Kulit Wajah Agar Tetap Cantik dan Sehat, Cobain yuk!)
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
Penulis | : | Dionysia Mayang Rintani |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR