NOVA.id - Gempa bumi dan tsunami telah mengguncang Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/09).
Ternyata gempa bumi tersebut tidak hanya memicu tsunami, namun juga lumpur yang disebut likuifaksi.
Keluarnya lumpur dari perut bumi dilaporkan mengubur sebagian wilayah Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Baca Juga : Hari Batik Nasional, Bambang Trihatmodjo Rangkul Mesra Mayangsari Saat Berbatik Merah Menyala, Cetar!
Telah beredar pula video detik-detik munculnya lumpur dari permukaan tanah yang dibagikan oleh Sutopo Purwo Nugroho (@Sutopo_PN) melalui Twitter.
Detik-detik saat rumah-rumah bergerak dan roboh disebabkan proses likuifaksi dan amblesan akibat gempa 7,4 SR di Kota Palu. Permukaan tanah bergerak dan ambles sehingga semua bangunan hancur. Proses geologi yang sangat mengerikan. Diperkirakan korban terjebak di daerah ini. pic.twitter.com/Vf5McUaaSG
— Sutopo Purwo Nugroho (@Sutopo_PN) September 30, 2018
Warga tampak berusaha menyelamatkan diri dan ketakutan.
Baca Juga : Pangeran Harry Tak Sengaja Bertemu Mantan, Ini Reaksinya Saat Situasi Canggung
Munculnya lumpur dari permukaan tanah yang menyebabkan amblasnya bangunan dan pohon di Kabupaten Sigi dekat perbatasan Palu akibat gempa 7,4 SR adalah fenomena likuifaksi (liquefaction) Likuifaksi adalah tanah berubah menjadi lumpur seperti cairan dan kehilangan kekuatan. pic.twitter.com/uxTODECMEX
— Sutopo Purwo Nugroho (@Sutopo_PN) September 29, 2018
Muntahan lumpur tersebut kini membentuk bukit.
Sementara itu, salah satu korban dan saksi bernama Amir (35) mengungkapkan hal yang terjadi saat lumpur keluar dari tanah.
Amir kini hanya bisa memandang bukit lumpur yang tiba-tiba muncul.
Baca Juga : Usai Donggala-Palu, Siang Tadi Sumba dan Sigi Giliran Diguncang Gempa
Ia mengatakan, "Sore itu saya lihat jalan aspal tiba-tiba menekuk-nekuk ke atas seperti gelombang laut disertai gempa yang mengguruh," kata Amir, Senin (1/10) dilansir dari Kompas.com.
Menurutnya, gemuruh dan guncangannya seperti dunia mau kiamat.
Amir tadinya baru pulang kerja dan hanya menggunakan lilitan handuk.
Baca Juga : Pangeran Harry Tak Sengaja Bertemu Mantan, Ini Reaksinya Saat Situasi Canggung
Ia lalu menerjang rekahan tanah demi mencari anak pertamanya.
Tak lama kemudian, muncul lumpur dari dalam perut bumi.
Lumpur itu muncul dari rekahan aspal.
Baca Juga : Sekujur Wajah Lebam dan Bengkak, Ini Kondisi Terakhir Ratna Sarumpaet Saat Dijenguk Fadli Zon
Rumah-rumah di Petobo pun ambruk dan tenggelam.
Selain itu, Amir melihat seorang ibu menggendong anaknya yang tenggelam dalam rekahan.
Ia berusaha menolong dengan menggali lumpur.
Baca Juga : Ups..! Apa yang Dilakukan Pangeran William Hingga Langgar Aturan Kerajaan?
Saat itu, perempuan itu hanya menyisakan kepala sementara tubuhnya ditelan bumi.
Amir menarik kepalanya dan berhasil namun san anak yang digendong tenggelam dalam lumpur.
Dilansir dari Kompas.com, belum ada data yang jelas tentang jumlah korban yang tenggelam oleh kemunculan lumpur ini.
Baca Juga : Kerap Kunjungi Indonesia, David Beckham Ungkap Duka Atas Gempa Palu-Donggala
Amir masih terus mencari-cari anak dan mertuanya hingga di puncak bukit lumpur.
Sementara itu, istri dan anak keduanya masih bisa ia selamatkan.
Lain halnya dengan korban bernama Syamsuddin (51).
Baca Juga : Cantik Tak Lekang oleh Waktu, Foto Jadul Maia Estianty Saat SMP Beralis Tebal, Memukau!
Warga Petobo Perumahan Dosen Tadulako kaget ketika menjumpai kampungnya tidak lagi memiliki jalan.
"Saya bingung mau pulang karena jalan yang ada sudah menjadi gunung," kata Syamsuddin.
Ia pasrah dan tidak mengetahui kabar keluarganya.
Baca Juga : Hari Batik Nasional, Ridwan Kamil Unggah Desain Batik, Hingga Promo Batik Day
Syamsuddin menunjukkan papan kayu yang berantakan diobrak-abrik lumpur sebagai patokan rumahnya yang terkubur lumpur.
"Saya sedih, saya hanya bisa berdoa untuk kebaikan semuanya," ujar Syamsuddin.
Likuifaksi sendiri merupakan fenomena di mana kekuatan tanah berkurang karena gempa yang mengakibatkan sifat tanah dari keadaan padat atau solid menjadi cair atau liquid. (*)
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Juwita Imaningtyas |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR