NOVA.id - Sempat sering dianggap menyandang stigma negatif, semakin hari status janda malah sudah semakin mudah diterima dalam masyarakat.
Namun tetap saja, menjadi janda bahagia terkadang tidak mudah.
Ada banyak tantangan yang harus dihadapi seseorang dengan status janda, mulai dari persoalan anak, finansial, sampai pertanyaan atau omongan miring yang kadang masih bermunculan.
Baca Juga : Aturan Jadi Pembonceng: Dilarang Pegang Behel Motor, Lebih Baik Pegang Pinggang!
Padahal untuk menjadi janda bahagia, sebetulnya ada beberapa hal yang bisa kita lakukan.
Pertama-tama, mencari support system atau dukungan dari keluarga dan sesama perempuan.
“Satu yang bisa dilakukan adalah berkumpul dengan ibu-ibu yang juga single. Banyak, kok, komunitasnya.
Being single itu tidak memalukan, kadang seorang perempuan malah terpaksa memilih status itu untuk sesuatu yang lebih baik. Mereka butuh saling menguatkan dan dari diri sendiri juga harus mau (move on),” ujar psikolog klinis dewasa, Nirmala Ika., M.Psi., Psikolog.
Di sisi lain, role model laki-laki juga tak bisa dibuang begitu saja.
Jadi maksudnya, kita memang wajib menikah lagi?
“Begini, okelah dia merangkap jadi ayah dan ibu. Tapi sebenarnya enggak harus benar-benar begitu.
Untuk membantu dia menghadirkan role model peran ayah, masih ada kakeknya, pamannya. Kalau lengkap, kan, pas anaknya ada masalah, satunya marah, satunya ngediemin.
Nah, ini si ibu jadinya harus tegas, tapi bisa juga menunjukkan kasih sayang. Tapi kalau peran-peran umum, gimana, sih, karakter laki-laki yang diharapkan dari masyarakat, itu harus (dijelaskan) lewat cara yang lain,” bilang Ika.
Baca Juga : Annisa Bahar dan Ratna Pandita Laporkan Pedangdut Berinisial LL
Gampangnya begini.
Kita tidak perlu jadi ibu yang macho kalau memang kita adalah orang yang lembut.
Karena si ibu tetap harus jadi diri sendiri, meski tak ada suami.
Yang penting, anak mendapat cukup kasih sayang, tahu peran ayah seperti apa, dan memperoleh didikan yang baik.
Baik artinya?
Baca Juga : Presiden Jokowi Direncanakan Hadiri Dhaup Ageng di Pura Pakualaman
“Menurut saya, berdasarkan pengalaman saya sebagai seorang ibu dan juga mendampingi banyak kasus rumah tangga, tidak ada 100 % pola pengasuhan yang pasti benar dan bisa diaplikasikan ke semua orang.
Setiap relasi dengan orangtua itu pasti punya keunikannya. Yang penting adalah komunikasi, sehingga segala hal bisa diomongi.” kata Ika.
Lantas, bagaimana dengan nasib menikah lagi?
Baca Juga : Cantik Berhijab, Begini Penampilan Maia Estianty Umroh Usai Liburan ke Bali
“Tanya ke diri sendiri, apa yang masih kita cari? Kadang kita malu untuk pacaran lagi. Padahal ini penjajakan untuk saling mengenal. Apalagi kalau satu pihak bawa anak, pihak lain juga bawa anak.
Kita harus memikirkan pasangan baru kita cocok enggak dengan anak-anak. Kita sendiri cocok enggak dengan anak-anak dia?
Anak-anaknya sendiri cocok enggak?” terang Ika.
Baca Juga : Terjerat Cinta Brondong 15 Tahun Lebih Muda, Muzdalifah Enggan Dengar Nama Nassar, Kenapa?
Hal lain yang perlu kita pertimbangkan, menurut Ika, tentunya ketika masa penjajakan kita dengan si calon terlihat tak berjalan mulus.
Alasannya?
Karena, “Kita pengin bahagia menikah lagi. Tapi apakah kita mau di saat kita bahagia, anaknya malah menderita?
Baca Juga : Intip Rangkaian Persiapan Pernikahan Agung Putra Mahkota Pakualaman
Amit-amit lagi, kalau ayah tirinya tidak menganggap anak kita sebagai anak dia.
Kalau dia sudah jadi gadis dewasa bagaimana? Ya, hati-hatilah. Komunikasikan dengan anak. Jangan mengarahkan anak (untuk setuju), tapi benar-benar melihat bagaimana interaksi mereka,” tandas Ika. (*)