Saran pertama saya, jangan anggap enteng, biasanya makin tinggi tingkat stresnya, akan makin membahayakan reaksinya, kenalilah hal atau peristiwa apa yang bisa memicu stres tersebut, sebisa yang Anda lakukan, hindarkan dia dari stresor (penyebab stres) ini.
Dari cerita Anda, saya menduga kehidupan yang naik turun dan ketidakmampuan memantapkan minat untuk bertahan di suatu pekerjaan, menyebabkan suami gagal memperoleh sebuah keyakinan bahwa dia punya kompetensi sebagai seorang laki-laki untuk menjadi kepala keluarga, tingkatan rasa tanggung jawab, juga patut dipertanyakan, bila dia cukup memiliki tanggung jawab, baik rumah, istri, dan anak-anak, akan selalu menjadi magnet yang menariknya untuk pulang ke rumah.
Ketika keadaan semakin memburuk, alih-alih dia fokus untuk mempertahankan hal-hal yang bisa jadi penopang perasaan bahwa dia berharga, seperti bisa menghasilkan nafkah buat keluarga, dia malah lari, sebenarnya, ini semua membuat suami jadi marah pada dirinya sendiri, tetapi lalu melampiaskan itu keluar dirinya, orang sejenis ini, biasanya juga gagal menemukan penyebab masalahnya di dalam diri, orang atau lingkunganlah yang dianggapnya salah, maka jangan heran,membawanya untuk berobat, juga butuh perjuangan, dia pasti akan meronta marah dan mengatakan, “Memangnya aku gila?”
Saran kedua, siapkan anak-anak untuk bisa melihat bahwa ayahnya bukan sosok yang terus menerus menakutkan, di saat sedang labil emosi, marah-marah, dan agresif, jangan lupa untuk meyakinkan anak-anak bahwa ayah mereka yang sesungguhnya adalah pada saat sedang tenang, tidak seperti itu, dengan demikian, anak pelan-pelan bisa menerima bahwa ayahnya bisa berubah jadi begitu, tetapi pada dasarnya bukanlah monster.
Anak dari orangtua seperti suami Anda, mudah sekali tumbuh jadi anak tertutup, malu, minder, atau malah sebaliknya, meniru model interaksi ayahnya, semuanya bukan pilihan yang kita inginkan, bukan? Maka, bantulah anak-anak untuk sebisa mungkin tumbuh normal. Orangtua Anda, akan sangat bisa berperan di sini, membantu mendampingi anak-anak, saat Anda sibuk dengan ayahnya.
Baca Juga : Menantu Ungkap Kondisi Terkini Ani Yudhoyono, Alisnya Semakin Menipis
Jangan jadikan anak-anak pelampiasan dari rasa kecewa dan marah Anda pada suami, ya. Selalu aktifkan mata hati keibuan yang ada di setiap sanubari perempuan, sehingga yang akan mendominasi adalah perasaan positif Anda ke anak-anak, bukan menganggap mereka adalah beban, kalau rewel, jangan jengkel, pastinya rewelnya anak kecil atau tidak betahnya si kakak di rumah, adalah reaksi terhadap ketidaknyamanan yang muncul akibat ulah ayahnya.
Saran terakhir, bawa ke ahlinya, ya Dona sayang, jangan ke tempat lain yang pasti akan mengatakan dia diganggu arwah jagat atau diguna-guna, ke dokter ahli jiwa, itu yang paling benar, carilah yang komunikatif, tidak tergesa-gesa saat Anda konsultasi, dan tentunya, suamisenang berinteraksi dengan beliau, dengan penanganan yang tepat, termasuk meminumobat yang diresepkan, insyaallah, Anda bisa lebih tenang.
Emosi suami pasti bisa lebih terkendali dan agresivitas akan berkurang, bujuk untuk ke dokter, ya.
Bercerai? Sebetulnya, kalau dokter mendiagnosis suami punya masalah kejiwaan, Anda berhak menuntut cerai, akan tetapi, bagaimana kalau dicoba dulu ke dokter? Mudah-mudahan memberi hasil positif, dan Anda jadi punya lebih banyak waktu untuk berpikir ulang bahwa suami Anda sedang membutuhkan Anda.
Tetapi, keputusan ada di tangan Anda, mudah-mudahan dalam doa kepada Allah, akan ada jawaban yang Anda rasakan, tabah, ya, tetapi juga harus makin cerdas mengenali model-model reaksi yang agresif, yang harus Anda usahakan agar tak terpicu oleh sebab yang muncul dalam hidupnya. (*)