Indonesia Darurat Kekerasan Seksual, Sekjen KPP-RI: Tidak Ada Alasan untuk Menunda Lagi

By Alsabrina, Rabu, 7 Oktober 2020 | 09:46 WIB
RUU PKS (Tribunnews)

NOVA.id - Kasus kekerasan seksual semakin marak terjadi di Indonesia. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2019.

Jumlah tersebut naik sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya, yakni 406.178 kasus.

Melihat kondisi tersebut, Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI) Luluk Nur Hamidah menilai, sudah tidak ada alasan bagi DPR untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Baca Juga: Fakta dan Cerita Kasus KDRT di Indonesia, dari Artis Sampai Mungkin Sahabat Kita

Menurut dia, saat ini Indonesia sudah dalam kondisi darurat kekerasan seksual.

"Hampir katakanlah di atas 400.000 kasus kekerasan seksual yang dirilis oleh Komnas Perempuan.

Itu artinya kita ini sudah dalam kondisi darurat kekerasan seksual," kata Luluk kepada Kompas.com, Rabu (12/8/2020).

Baca Juga: Psikologisnya Terganggu Setelah Mengaku Dilecehkan oleh Youtuber Terkenal, Bebby Fey Sampai Konsultasi ke Komnas Perempuan

Luluk mengatakan, kasus kekerasan seskual memang kian bertambah setiap harinya dan bisa menimpa semua kalangan masyarakat.

Selain itu, kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa pun, termasuk keluarga atau bahkan atasan di kantor tempat bekerja.

Menurut Luluk, selama ini substansi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak cukup untuk memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.

Baca Juga: Tatjana Saphira Putus dari Junot Ali, Begini Buat Putus Cinta Jadi Bikin Bahagia!

Oleh karena itu, ia menilai tidak ada alasan lagi untuk menunda pengesahan RUU PKS yang aturan hukumnya bersifat khusus (lex specialis).

"Nah kalau sudah seperti ini maka tidak ada alasan sebenarnya untuk menunda-nunda lagi pengesahan RUU PKS," ujar dia.

Namun pada kenyataannya, RUU PKS justru dikeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.

Baca Juga: Kolaborasi Komnas Perempuan, IKA, dan Grab Berantas Kekerasan Terhadap Perempuan

Luluk mengatakan, pembahasan untuk mengesahkan RUU PKS di DPR memang tidak mudah.

Menurut dia, adanya perbedaan ideologi atau paham berpikir antara anggota DPR menyulitkan pengesahan RUU tersebut.

"Untuk pengesahan RUU ini juga tidak mudah karena memang enggak bulat suaranya di DPR. Kenapa tidak bulat? Ternyata yang melihat soal kekerasan seksual ini enggak sama," ujar Luluk.

Baca Juga: Atasi Kekerasan Seksual, Grab Jalani Kerja Sama dengan UN Women dan Komnas Perempuan

"Ada pertarungan ideologi di parlemen, membuat RUU ini mengalami hambatan yang luar biasa," tutur dia.

Akibatnya, kata Luluk, ada fraksi yang selalu mempermasalahkan beberapa frasa dalam RUU PKS.

Fraksi yang menolak menganggap sejumlah frasa bertentangan dengan keyakinan mereka.

Baca Juga: CATAHU 2018 Dirilis, Komnas Perempuan: Sudah Semakin Banyak Perempuan Buka Suara Terkait Kasus Kekerasan

Namun, Luluk berpandangan, fraksi yang menolak itu justru mengabaikan substansi dan urgensi agar RUU PKS disahkan.

"Mungkin semuanya sudah punya record-nya, fraksi apa yang menentang keras bagi RUU ini mengabaikan substansi kenapa RUU ini mesti hadir dan kemudian diputuskan," ujarnya.

Selain itu, lanjut Luluk, perilaku patriarki yang masih kental juga menjadi penghambat pengesahan RUU PKS.

Baca Juga: Angka Kekerasan Terhadap Perempuan Masih Tinggi, Rahayu Saraswati: Perbaikan Ekonomi Bisa Jadi Solusi

Perilaku patriarki menempatkan posisi sosial laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Luluk menilai, masih banyak anggota fraksi di DPR yang menganut paham tersebut.

"Kalau enggak mau (bahas RUU PKS) kita bisa tracking, oh memang dari garis ideologi partainya memang seperti itu.

Jadi ini ada ideologi menurut saya, antara lain ideologi patriarki memang kuat," kata Luluk.

Baca Juga: Harus Waspada, Ini Dia Beragam Jenis Pelecehan Seksual yang Perlu Diketahui!

 

 

 

 

Ia mengatakan, pemahaman semacam itu di jajaran pemimpin partai akan sangat berbahaya, terutama dalam proses pengambilan kebijakan.

Meskipun, lanjut Luluk, ada juga anggota fraksi yang mendukung kebijakan RUU PKS atau kebijakan lain yang berperspektif gender.

"Tetapi apa hendak dikata karena memang secara institusi partainya memang tidak mendukung nah partai ini kan tangannya di fraksi itu," ujarnya.

Baca Juga: Omnibus Law Sah Jadi Undang-Undang, AHY Minta Maaf kepada Masyarakat

Luluk menambahkan, RUU PKS juga kerap dijadikan alat untuk menaikkan elektoral partai. Salah satu caranya dengan melontarkan isu-isu yang tidak benar terkait substansi RUU PKS untuk mendapatkan simpati masyarakat.

"Nah ini yang kemudian repot, orang mencoba mendapatkan simpati dari publik dengan cara-cara mengintroduksi hal-hal yang sifatnya agak berbau kebohongan terkait dengan RUU ini," ungkapnya.

"Jangan kemudian orang bermain-main dengan label-label, istilah-istilah, frasa-frasa keagamaan yang sebenarnya ini tujuannya hanya untuk elektoral semata. Ini yang sebenarnya harus kita lawan," tegas Luluk.

Baca Juga: UU Cipta Kerja Timbulkan Polemik, Krisdayanti Buka Suara: Tidak Ada Niat untuk Memanjakan Para Pengusaha dan Investor

Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.

Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Indonesia Darurat Kekerasan Seksual, Kenapa RUU PKS Tak Kunjung Disahkan?