Kata Faye, “Saya menemukan bukan cuma perdagangan anak, tapi juga perbudakan anak. Mereka seusia saya, mereka dijual untuk seks. Saat itu, saya berpikir kalau ini tidak terjadi di Indonesia.”
Tapi, pemikiran itu rupanya salah, Faye justru menemukan data dari International Organisation for Migration (IOM) kalau sebanyak 150.000 anak di Indonesia menjadi korban perdagangan anak, dan 43,5 persen dari mereka berusia di bawah 14 tahun.
Baginya angka itu begitu besar, dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena anak seusianya harus dapat hak bahagia yang sama.
Baca Juga: Profil Ardelia Muthia Zahwa, Pembawa Bendera Merah Putih pada Upacara Kemerdekaan
Dari situlah, ia menyukai isu terkait hak-hak asasi manusia, terutama perempuan dan anak. Beragam kegiatan filantropi untuk membantu anak-anak dan perempuan sering ia lakukan sampai ke tingkat Internasional.
Oleh sebab itu, beberapa bulan lalu, Faye dinobatkan sebagai salah satu anak muda berpengaruh di Indonesia berusia di bawah 30 tahun oleh Forbes Indonesia.
Yang tentunya, ini bukan prestasi mudah untuk diraih.
Berkat Ibu
Kesukaannya tentang hak asasi manusia bermula saat dirinya masih berusia delapan tahun.
Saat itu, sang ibu bilang ke dirinya kalau ia merupakan orang beruntung, karena bisa menikmati segala fasilitas kehidupan yang nyaman.
Oleh karena itu, ibunya berpesan untuk selalu memberikan sesuatu kepada mereka yang membutuhkan.
“Saya tidak menyadari seberapa beruntung saya. Waktu itu, sabtu dan minggu, ayah dan ibu saya mengajak saya ke panti asuhan dan rumah sosial. Waktu itu saya bilang enggak mau pergi, saya lebih baik di rumah saja,” ujarnya.
Namun, ibunda tak menyerah untuk menyadarkan anaknya untuk mau berbagi dan peduli dengan sesama.
Suatu hari, ibunya mengajak Faye untuk melakukan perjalanan ke beberapa wilayah di Jawa Tengah selama tujuh hari.