Tidak Mudah, Begini Tips Melepaskan Diri dari Pasangan yang Abusive

By Dinni Kamilani, Rabu, 2 Maret 2022 | 21:00 WIB
Cara keluar dari hubungan yang abusive (praetorianphoto)

NOVA.id - Hingga saat ini perempuan masih jadi kelompok yang rentan mendapatkan kekerasan dan memerlukan perlindungan khusus.

Ya, kasus kekerasan pada perempuan masih banyak ditemukan, termasuk di dalamnya ada yang dilakukan oleh pasangan.

Menurut Yunita Sari, S.Psi, M.Psi, Psikolog, konselor pernikahan di Primasaga Strategi Consultants, salah satu penyebab kekerasan terhadap perempuan adalah faktor kultural yang masih dipercaya oleh sebagian orang.

Di mana konstruksi sosial yang ada menempatkan perempuan pada kelompok masyarakat lemah.

“Beberapa hal yang terjadi karena patriaki di kebudayaan kita relasi gendernya lebih dominan. Secara fisik lebih kuat, memiliki peran yang lebih besar dalam rumah tangga, jadi memungkinkan bagi laki-laki ini untuk menjaga keluarganya, dengan cara yang mungkin kurang tepat, dengan kekerasan,” kata Yunita yang juga dosen di Universitas Islam Bandung (Unisba) kepada NOVA.

Baca Juga: Tips Pintar Atur Emosi Menghadapi Pasangan yang Suka Berbohong

Mirisnya, tidak mudah bagi perempuan yang menjadi korban ini keluar dari jerat pasangan yang kasar (abusive), karena alasan ekonomi, anak, atau alasan lainnya.

Enggak jarang perempuan yang terpaksa memilih bertahan, enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya ke pihak berwenang seperti polisi, lembaga bantuan hukum, atau sekadar meminta bantuan profesional psikolog.

Figur atau role model juga bisa membuat seseorang sulit keluar dari hubungan yang diwarnai kekerasan. Misalnya, sejak kecil sudah terbiasa melihat sosok ayah yang kerap melakukan kekerasan kepada ibunya, namun tetap baik terhadap anak-anaknya.

Perempuan yang mendapat perlakuan seperti itu akan memiliki persepsi bahwa figure laki-laki yang melindungi adalah seperti sang ayah.

Baca Juga: Melaporkan Pasangan KDRT Bukan Aib, Kapan Korban Harus Bicara?

Sehingga saat menerima kekerasan dari pasangannya ia menganggapnya sebagai hal biasa atau normal, meskipun di saat bersamaan ia juga tersakiti.