NOVA.id - Rasa perih dan pilu itulah yang dialami Santi Warastuti, ibu rumah tangga asal Sleman, Yogyakarta, sejak tujuh tahun yang silam.
Kala itu putri kecil Santi Warastuti, Pika Sasikirana, didiagnosis dokter mengalami penyakit serius cerebral palsy.
Hati Santi Warastuti pun runtuh.
Secara singkat, cerebral palsy adalah penyakit kerusakan fungsi saraf otak yang membuat penderitanya mengalami gangguan fungsi motorik otak dan sebagian anggota tubuh lumpuh.
Yang bikin sedih, Pika dulu adalah anak yang sehat. Pada 25 September 2008, Pika lahir cukup bulan dengan berat 3,4 kilogram, lalu dua bulan sudah bisa tengkurap.
Semua tampak normal.
Sayangnya, sejak Pika masuk usia TK, Santi mulai merasakan tanda-tanda gangguan kesehatan yang tak biasa pada buah hatinya.
“Dia mulai sering sakit di sekolah. Jadi sering muntah, sering kayak pingsan. Istirahat sehari-dua hari, lalu biasa lagi."
"Itu beberapa kali sampai kemudian muncul kejang. Nah, saat kejang itu kita juga bawa ke dokter spesialis saraf anak."
"Waktu itu awalnya didiagnosis epilepsi karena kejang tanpa demam, dan sejak saat itu Pika minum obat kejang,” cerita Santi secara eksklusif saat dihubungi NOVA.
Cerita Ibu Santi Santi menuturkan bahwa sejak sakit di tahun 2015 lalu itu dan dipastikan menderita cerebral palsy, Pika sudah meminum obat kejang.
Namun salah satu obat kejang yang ia konsumsi, yaitu fenobarbital, sempat membuat Pika alergi.
Mulai dari ruam merah di badan, bibir pecah-pecah, hingga sariawan parah.
“Akhirnya diganti phenytoin, asam valproat, dan karbamazepin."
"Pika mengonsumsi tiga obat kejang. Tapi akhir bulan kemarin, sebelum saya berangkat ke Jakarta, saya kan kontrol ke dokter rutin."
"Itu perutnya Pika merah-merah, timbul ruam-ruam merah, dan itu ternyata karena konsumsi karbamazepin dalam jangka waktu panjang,” jelas Santi.
Santi sempat bertukar cerita dengan temannya, Dwi Pertiwi, yang juga memiliki anak dengan cerebral palsy, yang lebih parah dibandingkan Pika.
Dwi kala itu membawa anaknya, Musa, untuk menjalani terapi ganja medis di Australia.
Kondisi Musa pun jauh membaik, bisa tidur nyenyak dan kejangnya berkurang.
Sayang, Musa harus meninggal dunia lantaran terapi tak bisa dilanjutkan di Indonesia.
Berbekal pengalaman temannya ini, dan demi kesehatan Pika, akhirnya Santi pergi ke Jakarta dan melayangkan tuntutan secara terbuka tentang pelegalan ganja medis.
Unggahan foto yang menampilkan dirinya bersama sang anak saat membawa poster tuntutan yang bertuliskan “Tolong Anakku Butuh Ganja Medis” dalam acara Car Free Day di Jakarta pun jadi viral.
Baca Juga: Kenali Penyebab Cerebral Palsy, Salah Satunya karena Ada Masalah Saat Proses Persalinan
“Jadi bukan saya belum berusaha, saya sudah 7 tahun memberikan Pika obat kejang. Tetapi, kok, belum ada solusi yang efektif untuk mengatasi kejangnya,” keluh Santi.
“Memang secara medis tidak bisa sembuh 100 persen. Tapi saya enggak mau memasukkan diagnosa dokter itu ke otak saya, biar saya tetap memelihara harapan."
"Saya tetap berusaha apa pun itu. Sedikit pun harapan akan tetap saya usahakan,” lanjut ibu yang hanya ingin anaknya membaik itu.
Sayangnya, pekan lalu Mahkamah Konstitusi (MK) masih menolak uji materi ganja medis.
Alasannya, MK menilai masih harus ada upaya khusus dari pemerintah untuk mempersiapkan masyarakat, sarana dan prasarananya, serta aturan hukum terkait usulan pemanfaatan ganja yang temasuk nakotika golongan I untuk keperluan pengobatan.
Jadi, itulah curhatan Santi Warastuti, ibu yang minta ganja medis untuk anaknya.
Doa yang terbaik.
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)