Nova.ID – Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan serius di Indonesia.
Menurut “Global TB Report WHO 2021” yang disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia merupakan negara dengan jumlah orang dengan TBC terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan China.
Laporan tersebut mengungkapkan terdapat 824.000 estimasi kasus TBC baru per tahun di Indonesia, dengan angka kematian mencapai 98.000 kasus atau setara dengan 11 kematian per jam.
TBC pun seringkali diidentikan sebagai penyakit menular yang rentan menyerang lansia. Padahal, pada kenyataannya, mayoritas orang dengan TBC justru berasal dari kelompok usia produktif. Fakta tersebut tergambar dalam data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia pada 2020.
Baca Juga: Bijak Bersikap, Penderita TBC Wajib Hindari Hal Ini agar Tak Tularkan Penyakit
Data tersebut menunjukkan, sebanyak 17,3 persen orang dengan TBC berusia 45-54 tahun, lalu 16,8 persen berusia 25-34 tahun, dan 16,7 persen berusia 15-24 tahun.
Sedangkan orang dengan TBC yang berasal dari kelompok lansia, sekitar 9 persen saja. Lalu, masih ada orang dengan TBC di bawah usia produktif yang belum terhitung, yaitu 0-14 tahun yang jumlahnya mencapai 9,3 persen.
Sayangnya, pengendalian TBC di Indonesia tak terlepas dari banyak kendala. Selain kesadaran dan pemahaman masyarakat yang masih rendah, mitos-mitos mengenai penyakit TBC yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara medis juga mempersulit penanganan penyakit ini.
Mitos-mitos tentang TBC menyebar dan mengakar di kalangan masyarakat. Selain menimbulkan stigma negatif terhadap orang dengan TBC, mitos-mitos tersebut kerap membuat suspek orang dengan TBC enggan untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.
Baca Juga: Percaya Mitos, Banyak Orang Jadi Ogah Periksakan Gejala TBC
Sebagai contoh, sebagian besar masyarakat Indonesia masih percaya jika penyakit TBC adalah hasil perbuatan ilmu hitam. Lalu, ada pula anggapan yang menyebut penyakit TBC mudah menular dan tidak dapat disembuhkan. Padahal, seluruh mitos tersebut tidak benar.
Untuk diketahui, TBC disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini biasanya ditandai dengan gejala demam dan batuk berkepanjangan sampai 14 hari atau lebih.
Penularan TBC dapat terjadi melalui air liur yang mencemari udara atau droplet seperti Covid-19. Namun, bakteri penyebab TBC tidak dapat bertahan hidup pada permukaan benda mati, seperti peralatan makan, pakaian, dan peralatan mandi.
Selain itu, seseorang yang terpapar bakteri Mycobacterium tuberculosis yang berasal dari orang dengan TBC belum pasti terinfeksi. Seseorang yang terpapar bakteri penyebab TBC, tetapi tidak merasakan gejala apapun disebut kasus TB laten.
Baca Juga: Bukan Batuk Biasa, Kenali Gejala dan Risiko TBC pada Orang Dewasa dan Anak-anak
Jika daya tahan tubuh orang tersebut lemah, bakteri penyebab TBC dalam tubuhnya dapat berkembang menjadi penyakit dan menimbulkan gejala. Kondisi ini disebut kasus TB aktif.
Namun, menurut WHO, kemungkinan kasus TB laten berkembang menjadi TB aktif hanya dialami oleh sekitar 9-10 persen orang saja. Artinya, bakteri penyebab TBC memiliki kemungkinan kecil untuk berkembang jika seseorang yang terpapar punya daya tahan tubuh yang kuat.
Selain itu, penyakit TBC dapat disembuhkan dengan menjalani pengobatan rutin. Durasi pengobatan yang dijalani oleh setiap orang dengan TBC pun berbeda, tergantung kondisi dan tingkat keparahan penyakit.
Meski demikian, terkadang orang dengan TBC tidak menjalani pengobatan secara optimal karena tidak mendapat dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Akibatnya, pengobatan pada orang dengan TBC tidak tuntas sehingga kondisinya semakin memburuk. Orang dengan TBC menjadi resisten terhadap obat atau disebut TB RO.
Baca Juga: 8 Tahun Tak Tahu Idap TBC dan Hepatitis, Kini Amitabh Bachchan Hidup dengan 25 Persen Fungsi Hatinya
Di sisi lain, gejala ringan penyakit TBC pun mirip dengan penyakit batuk dan demam biasa, sehingga tak sedikit orang dengan TBC yang telat mendapatkan penanganan. Jika kondisi orang dengan TBC sudah parah, maka durasi pengobatannya pun menjadi lebih lama.
Untuk memudahkan masyarakat dalam memahami lebih jauh seputar TBC, Stop TB Partnership Indonesia (STPI) bersama Kompas.com menghadirkan Visual Interaktif Kompas (VIK).
VIK tersebut akan menjelaskan seputar sejarah, fakta, dan perkembangan TBC di Indonesia yang dikemas dalam ilustrasi yang mudah dipahami. Anda dapat mengakses VIK seputar TBC melalui tautan ini.
Selain itu, STPI bersama Kemenkes RI juga mengadakan kampanye digital #141CekTBC dengan tagline “14 Hari Batuk Tak Reda? 1 Solusi, Cek Dokter Segera!”.
Baca Juga: Berdampak Tinggi Pada Kematian, Yuk Kenali Gejala TBC Sejak Dini Agar Tak Mudah Terserang!
Lewat kampanye tersebut, STPI ingin meningkatkan kesadaran masyarakat terkait penyakit TBC. Salah satu caranya adalah dengan menghadirkan kemudahan akses informasi seputar TBC, mulai dari gejala, penanganan, hingga rekomendasi fasilitas kesehatan terdekat. Seluruh informasi tersebut dapat diakses melalui situs web https://141.stoptbindonesia.org.
Masyarakat juga dapat mengajukan pertanyaan melalui fitur ChatBot yang tersedia pada situs web tersebut dan memperoleh jawaban langsung secara real-time. Layanan #141CekTBC juga dapat diakses lewat WhatsApp melalui nomor +628119961141.
Untuk informasi selengkapnya mengenai kampanye #141CekTBC, Anda dapat mengunjungi situs web https://141.stoptbindonesia.org, https://tbindonesia.or.id, dan https://stoptbindonesia.org.