Konsultasi Psikologi: Anakku Menuduh Eyangnya Pedofil, Apa yang Salah?

By Made Mardiani Kardha, Kamis, 2 Februari 2023 | 16:15 WIB
Konsultasi Psikologi: Anakku menuduh eyangnya pedofil karena terpaut usia yang jauh dengan eyang putrinya. ()

NOVA.ID – Tulisan Konsultasi Psikologi ini merupakan surat kiriman pembaca NOVA yang dijawab oleh psikolog Rieny Hassan.

TANYA

Salam sejahtera, Bu Rieny,

Saya seorang ibu dengan putri yang beranjak 15 tahun di bulan Maret ini. Saya sedang dipusingkan dengan pemahaman putri saya yang benar-benar aneh.

Tapi untuk menjelaskannya, izinkan saya menceritakan dulu sedikit tentang keluarga saya.

Terlahir sebagai keturunan Tionghoa, orang tertua (dari pihak mama) di keluarga besar saya sekarang ini adalah oma saya (yang berarti eyang buyutnya putri saya).

Beliau sudah agak pikun, tapi masih tergolong sehat untuk usianya yang sudah  88 tahun. Perbedaan usia oma dan opa tergolong banyak, kalau tidak salah sekitar 20 tahun.

Saya ingat, oma pernah cerita bahwa opa menunggu lama untuk menikah, karena merasa harus mapan dulu. Pemikiran khas orang zaman dulu, ya, Bu.

Masalahnya sekarang, putri saya ini sepertinya punya pandangan bahwa age gap atau perbedaan usia dalam berpasangan adalah sesuatu yang sangat tabu.

Singkat kata, dia sekarang menganggap almarhum eyang buyutnya adalah seorang pedofil!

Susah sekali baginya untuk mau menerima bahwa opa buyutnya menikahi oma buyut ketika oma sudah berusia 20-an. Ia terpaku pada usia yang terpaut jauh itu. 

Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Adik yang Aku Rawat Meninggal, Ibu Menghilang 

Dalam pemikirannya, waktu opa berumur 20, kan, oma masih bayi, jadi opa itu pedofil! (Dia memakai kata-kata yang lebih tidak nyaman waktu itu, jadi saya sensor begini, ya, Bu.) Ekstrem sekali, kan?

Ketika dia mulai bertingkah seperti ini, untungnya Indonesia masih dalam pandemi, Bu. Jadi kami tidak mengadakan pertemuan keluarga besar untuk peristiwa apa pun. Bahkan tahun baru Imlek sekalipun, kami rayakan cukup via Zoom.

Akan tetapi, tahun ini, kan, PMKM sudah dicabut, tak ada alasan bagi keluarga besar untuk tidak bertemu. Dan kebetulan sebentar lagi akan ada pertemuan keluarga.

Bukankah ini adalah suatu perbuatan yang tidak sopan terhadap oma buyutnya? Belum lagi bila diingat, ada juga anggota keluarga yang punya istri berbeda jauh usianya.

Kalau mereka tersinggung oleh kata-kata anak saya yang sangat ingin bertanya pada oma buyutnya, “Mengapa mau menikah dengan opa buyutnya yang terlalu tua,” lalu bagaimana?

Sebelum memutuskan menulis surat untuk Ibu, saya mencoba cari tahu, apa memang ini sedang jadi masalah di kalangan anak muda.

Dan ternyata, memang ada yang mempermasalahkan age gap ini, Bu. Bahkan di luar negeri pun, perbedaan usia dua tahun saja bisa menyulut pertengkaran di dalam keluarga besar. Terlihat konyol sekali, ya, Bu?

Tetapi, ketika anak sendiri saja ternyata terperangkap dalam pemahaman sesat ini, saya tak bisa menertawakannya lagi.

Saya tahu, mustahil memaksa anak berhenti total menggunakan internet. Saya cuma bisa menegur dia untuk tidak ke situs aneh-aneh, itu pun kalau saya kebetulan lihat.

Tapi, saya benar-benar habis akal untuk menghadapi pertemuan keluarga dalam waktu dekat ini. Mohon sarannya, Bu. Terima kasih.     

Ibu C – Tangerang

Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Anakku Malu dengan Ayahnya yang Tidak Keren 

JAWAB

Ibu C Yth,

Saya senyum-senyum juga membaca surel Ibu, sambil berpikir betapa dahsyatnya budaya digital yang ada kini. Merasuki pemikiran dan pemahaman anak-anak kita, di saat usianya belum bisa mencerna dengan baik apa-apa yang mereka baca di internet.

Kemampuan membedakan permasalahan terkait konsep yang melandasi sebuah gejala, tidak terbentuk seketika saat anak dilahirkan.

Mulai Usia 20 Tahunan

Sama seperti anggota tubuh lainnya, otak tumbuh dan berkembang sesuai usia. Begitu pun tingkat kematangan psikologis, tingkat pendidikan, juga hal-hal yang berasal dari luar diri, sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan dan orang-orang yang ada di dalamnya.

Nah, untuk memahami perbedaan-perbedaan yang sifatnya subyektif, tak selalu berlaku umum, maupun dipengaruhi oleh hal-hal yang khusus ataupun spesifik, baru mulai berkembang di awal usia 20 tahunan.

Memahami apa itu baik-buruk, benar-salah, patut-tidak patut, sudah bisa dilakukan seseorang sejak usia belasan tahun.

Akan tetapi, menemukan benang merah yang menghubungkan satu fenomena dengan fenomena lain, sehingga menimbulkan semacam perbedaan, ciri khas, maupun pengecualian dalam men-judge, baru akan muncul sebagai sebuah kemampuan pada diri seseorang di awal usia 20 tahunan.

Karena itulah, para ahli sering sekali mengatakan jangan menikah sebelum mencapai usia 21 tahun, tak lain karena proses pendewasaan baru akan memberi dampak bermakna pada seseorang di usia itu tadi.

Beberapa keluarga yang terkenal sebagai crazy rich misalnya,...

Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Saya Cantik, Pintar, tapi Lajang dan Kesepian

Beberapa keluarga yang terkenal sebagai crazy rich misalnya, akan memakai 21 tahun sebagai patokan untuk memastikan bahwa anak yang merupakan keturunannya bisa diserahi tanggung jawab mengelola warisan.

Jangan Mengancam

Yang jangan sampai Anda lakukan adalah mengancam anak seperti ini, ”Awas ya, kalau sampai Mama dengar kamu membahas hal itu di  acara keluarga, lihat saja risikonya.”

Lalu Anda akan merancang beberapa kesulitan untuk sang putri, karena dianggap “bikin malu”.

Ketidaksesuaian antara paham anak dengan realitas tentang perbedaan usia suami-istri yang menyebabkan opa dituduh sebagai pedofil, sebenarnya adalah sebuah bukti bahwa istilah pedofil itu dia telan mentah-mentah, tanpa analisis mendalam yang spesifik. 

Dengan memakai rambu berpikir yang sesat logika, ia bisa-bisanya mengatakan kakek buyutnya seorang pedofil.

Kembalikan Logika

Agar tidak sesat berkepanjangan, cobalah untuk memulai upaya dengan mengembalikan logikanya tentang masalah kakek dengan memberinya masukan yang benar.

Apa boleh buat, pastikan bahwa anak Anda memahami dengan benar apa itu pedofil.

Dengan ini, akan mudah bagi Anda untuk lalu memintanya melakukan penilaian atas perkawinan kakeknya itu.

Cara ini, saya yakin akan lebih efektif...

Baca Juga: Cara Mengenalkan Pasangan Baru kepada Anak, Ini 5 Saran dari Psikolog 

Cara ini, saya yakin akan lebih efektif ketimbang memaksakan perilaku tertentu yang dalam pandangan Anda adalah sebuah kesantunan, tetapi di alam pikiran anak bisa saja terasa seperti pemaksaan untuk membaik-baikkan sebuah kejahatan. Hanya karena "pelaku kejahatannya" adalah kakeknya mama.

Mencermati surel Anda, tampaknya ini akan berlangsung cukup alot. Mengapa?

Karena pemahaman (yang salah) tentang pedofil ini berasal dari sumber yang selama ini diyakininya membuat ia jadi pandai, banyak tahu, bahkan melebihi apa yang setara dengan tingkat pendidikannya, yaitu internet. Keren, kan?

Perbaiki Pola Interaksi dengan Anak

Yang telaten, ya, saat bercerita. Kalau punya acuan tertulisnya, ajak anak untuk membaca dan menelaah bersama.

Kalau masalah ini terselesaikan, dengan sebuah keyakinan di diri Anda bahwa putri Anda paham sehingga tak akan bertingkah “mengerikan” pada oma buyutnya, perbaikilah pola interaksi dengan anak.

Katakan serta yakinkan bahwa mengembalikan minat dan rasa ingin tahu yang sesuai dengan taraf pendidikan serta usianya, pasti akan membuat hidupnya lebih ceria. Karena ia akan makin mudah bergaul dengan teman-teman seusia karena minat dan kesenangan yang serupa.

Topik yang “terlalu berat” tidak harus dihindari, tetapi minta agar ia mau mendiskusikannya dengan mamanya.

Ketika kelak ini bisa terjadi, berarti Anda sudah berhasil mengatasi gap dengan anak Anda, untuk segala hal yang dia tak yakin, tak tahu, atau belum pernah belajar tentang itu. Tetapi di sisi lain Anda justru mendorongnya untuk tahu.

Utamakan Jadi Pendengar

Usahakan untuk berbagi, berdiskusi, dengan utamanya jadi pendengar...

Baca Juga: Menurut Psikolog, Ini Cara Mengatasi Trauma KDRT kepada Anak

Usahakan untuk berbagi, berdiskusi, dengan utamanya jadi pendengar, ya, Bu. Biarkan dia yang aktif bicara dan menggali dari Anda. Agar pelan tapi pasti ia mengakui bahwa Anda adalah sumber informasi yang selalu bisa diandalkan.

Membangun minat yang sama, lalu melakukan aktivitas nyata terkait minat ini, akan mengalihkan perhatian penuhnya dari internet.

Internet tidak harus ditinggalkan, tentunya. Akan tetapi upayakan agar anak punya banyak pengalaman berinteraksi dengan banyak orang di dunia nyata, melalui aktivitas yang ia lakukan.

Tujuannya adalah agar ia tak makin terbenam dalam dunia maya, yang sebenarnya berpotensi mengaburkan antara mimpi dan kenyataan, antara tuntutan bersosialisasi dengan kenyamanan bergaul di dunia maya.

Mudah-mudahan, pertemuan keluarga kali ini akan memberi pengalaman menyenangkan, bertemu keluarga besar tanpa dibayangi kekhawatiran lagi. Salam hangat. (*)

(Bila Anda ingin berkonsultasi dengan psikolog Rieny Hassan, silakan kirimkan kisah Anda ke email nova@gridnetwork.id dan tuliskan "Konsultasi Psikologi" pada subjek email.)