Selama di sana, kehidupan kami up and down mendampingi suami yang mood-nya naik turun karena tekanan dari studinya. Suami fokus dengan studinya dan saya sukurlah bisa bekerja menjadi cleaning service bersama teman-teman Indonesia lainnya.
Meskipun capek, saya sangat bahagia dengan kehidupan kami di sana, Bu, karena penghasilan lumayan dan saya bisa menabung. Saya bangga bisa membantu keuangan suami.
Pemberian beasiswa suami saya itu dibayar di muka per tiga bulan sekali atau pernah setiap enam bulan sekali. Di sinilah awal dari masalah kami.
Jadi, selama pernikahan kami, suami saya tipe laki-laki yang perhitungan sama istrinya. Sangat royal sama anak-anaknya, namun boros.
Pada saat pemberian beasiswa, suami tidak hitung bahwa beasiswanya untuk 6 bulan ke depan. Alhasil, baru dua bulan, uang sudah habis.
Saya sangat marah dan kecewa sama dia. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis. Teganya dia, saya yang bekerja keras, dia seenaknya habiskan uang.
Kalau saya tanya, dengan gampangnya dia bilang bahwa beasiswa sudah habis untuk keluarganya dan banyak keperluan, lalu pinjam ke saya sampai sekitar Rp100 juta.
Janjinya akan diganti. Tapi pada kenyataannya, hampir tidak. Artinya, dia cicil bayar ke saya, plus kalau anak-anak kami ada keperluan sekolah, saya menyumbang juga dengan dipotongnya piutang tersebut.
Pada akhirnya, saya putihkan. Ya sudah Bu, saya ikhlaskan uang saya tersebut.
Alhamdulillah, suami saya lulus S3-nya, begitu pula dengan anak saya lulus SMA. Kami semua sudah kembali ke Tanah Air tercinta, memulai dari nol dengan kehidupan yang baru. Berat rasanya saya meninggalkan negeri itu, Bu.
Pulang ke Indonesia, masalah muncul…
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Adik yang Aku Rawat Meninggal, Ibu Menghilang