Banyak Kisah Pilu, Nukila Evanty Dorong Advokasi Hak Narapidana Perempuan

By Maria Ermilinda Hayon, Senin, 27 Maret 2023 | 20:05 WIB
Nukila Evanty Dorong Advokasi Hak Narapidana Perempuan ()

NOVA.ID - Sosok Nukila Evanty memang dikenal aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.

Kali ini, Nukila Evanty menyoroti hak-hak perempuan secara khusus pada narapidana perempuan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nukila Evanty yang merupakan Lead Advokat dan Direktur Eksekutif Women Working Group (WWG) pada tahun 2022 lalu, ditemukan temuan-temuan bahwa banyak penghuni lapas perempuan terkena pidana pasal-pasal Narkoba.

“Saya bertemu dengan Meiyani (nama samaran), dia menjadi kurir narkotika jenis sabu, dengan upah satu transaksi antara Rp1,3 juta – Rp2 juta. Saat persidangan terungkap bahwa Meiyani melakukan hal itu karena permintaan pacar. Beberapa perempuan yang saya wawancarai pun menjelaskan keterlibatan mereka sebagai kurir narkoba, ada juga yang dijebak oleh suami,” terang Nukila.

Dijelaskan Nukila, dalam wawancara khusus dengan para napi perempuan dibeberapa lapas di Indonesia.

Ditemukan bahwa mereka tidak mengetahui pasal-pasal pidana terkait pengedar maupun pemakai.

Misalnya bisa dihukum seumur hidup atau pun hukuman mati.

Pekerja migran yang menjadi korban sekaligus pelaku dalam perdagangan narkoba ini, mereka ini adalah korban.

Tidak mengetahui hukuman apa yang akan menimpa, ketika mereka membawa narkoba.

Baca Juga: Nukila Evanty, Bantu Sesama Perempuan Keluar dari Jerat Stigma dan Kemiskinan

Padahal aturan tentang hak napi perempuan sudah diatur dan diadopsi oleh United Nations (UN) General Assembly Meeting pada tahun 2010 yaitu the United Nations Rules for the Treatment of Women Prisoners and Non Women Offenders.

Atau disebut juga  dengan the Bangkok Rules.

Kata Nukila, beberapa aturan dalam Bangkok Rules membahas masalah yang berlaku untuk tahanan laki-laki dan perempuan, termasuk yang berkaitan dengan beberapa layanan medis, prosedur penggeledahan dan sejenisnya.

Lanjutnya, napi perempuan mempunyai hak-hak yang harus dilindungi dan diayomi walaupun mereka berada dibalik jeruji besi.

Kodrat perempuan mengalami siklus menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui yang tidak dialami oleh narapidana laki-laki. Juga narapidana yang berusia lanjut, butuh kasur khusus, tidak boleh melakukan kegiatan fisik tertentu dan obat dan vitamin khusus untuk menunjang kesehatannya.

“Jadi suatu kewajaran jika narapidana perempuan mempunyai hak-hak khusus. Misalnya kebutuhan layanan lesehatan mental. Menurut saya perlu tersedia fasilitas kesehatan mental yang bersifat individual, sensitif gender, trauma, dan komprehensif. Karena umumnya napi perempuan mengalami gangguan mental, saat baru masuk ke Lapas, karena dia butuh teman bicara yang mengerti kondisi dirinya,” ungkap Nukila.

Selain itu, hal lain yang harus disediakan untuk napi perempuan adalah kebutuhan sanitasi khusus.

Perempuan memiliki kebutuhan sanitasi khusus, terutama yang berkaitan dengan menstruasi, dan kehamilan.

Hal ini menyebabkan perempuan ingin privasi mereka dihormati.

Baca Juga: Film Gangubai Kathiawadi, Pejuang Hak Perempuan dari Kisah Nyata

Standar penjara internasional juga menetapkan syarat bahwa kebutuhan sanitasi, termasuk pembalut dan tampon, harus mudah diakses dan didistribusikan tanpa biaya tambahan kepada narapidana.

“Pasal 5 Bangkok Rules menyebutkan bahwa 'ruang  tahanan perempuan harus memiliki fasilitas dan bahan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kebersihan khusus perempuan, termasuk pembalut perempuan yang disediakan secara cuma-cuma dan persediaan air secara teratur yang akan disediakan, khususnya perempuan yang terlibat dalam kegiatan memasak dan mereka yang sedang hamil, menyusui atau menstruasi',” tutur Nukila.

Hal lain yang juga disoroti Nukila, yakni dalam Pasal 7 Bangkok Rules juga mengatur tentang kekerasan seksual.

“Jika terjadi pelecehan seksual atau kekerasan lain sebelum atau selama penahanan ditemukan, maka tahanan perempuan harus diberitahu tentang haknya dalam proses hukum tersebut. Pihak lapas atau rutan harus membantu napi perempuan untuk mengakses bantuan hukum. Terlepas dari apakah perempuan  tersebut memilih untuk mengambil tindakan hukum atau tidak,”  ujar Nukila.

Dalam proses advokasi yang dilakukan Nukila, ia menemukan bahwa banyak napi perempuan tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan dan belum ada mekanisme atau ruang aman bagi perempuan di lapas untuk pengaduan kekerasan seksual.

Sehingga perlu upaya dari kementrian terkait terutama Direktorat Pemasyarakatan untuk menerapkan hak-hak narapidana dalam kebijakan dan praktiknya serta upayanya untuk memenuhi dan martabat napi perempuan serta kondisi penjara yang memenuhi standar internasional.

“Pemerintah juga telah memiliki UU baru tentang Pemasyarakatan yang lebih menegaskan hak-hak narapidana. Akan tetapi persoalan tentang hak-hak napi perempuan masih banyak yang belum terselesaikan, salah satunya penguatan hak sadar hukum, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja serta alokasi anggaran yang pas untuk makanan napi per hari, anggaran buat kesehatan termasuk buat napi perempuan yang mengidap HIV AIDS atau penyakit-penyakit bawaan lainnya,” pungkasnya.

Atas dasar-dasar dan kisah di lapangan inilah yang membuat Nukila Evanty ingin mendorong advokasi hak narapidana perempuan. (*)