Konten Kreator di Bekasi Diduga Alami KDRT 8 Tahun, Ini Alasan Susah Keluar dari Hubungan Toksik

By Maria Ermilinda Hayon, Senin, 1 Mei 2023 | 21:05 WIB
Ilustrasi kasus KDRT Ayu Sugeng, konten kreator di Bekasi yang alami KDRT 8 tahun dan alasan susah keluar dari hubungan toksik (somethingway)

NOVA.ID - Kabar soal dugaan kasus Kekerasan Rumah Tangga (KDRT) kembali muncul lewat utas di Twitter dengan akun @ayusugeng.

Ayu mengaku sebagai korban KDRT dari suaminya sendiri sejak tahun 2015 sampai 2023 ini. 

"Namaku Ayu, aku korban KDRT secara fisik dan psikis selama 8 tahun," tulis Ayu mengawali ceritanya.

Ironi, Ayu bercerita jika dirinya mengalami KDRT ini sejak awal menikah, hingga dirinya memiliki 3 orang anak.

Ya, meski sudah memiliki anak, sang suami tak juga berubah.

Rasanya memang sudah tabiat dan tak ada rasa bersalah, pada Ayu pun pada ketiga anak mereka.

Ayu, yang juga konten kreator kecil ini bercerita bahwa dirinya mengalami KDRT dari yang ringan hingga berat, bahkan ia mengaku selalu dijadikan kambing hitam.

Bukan hanya oleh terduga pelaku, tapi juga oleh orang-orang terdekat di sekitarnya.

"Dari awalnya nampar dan cekek sampe bikin idung gue berdarah dan muka gue lebam. kemaren gelas kaca hampir dipukulin ke pala gue untung gajadi. Kalau jadi padahal seru, minimal gue operasi kan, jd bisa lsg diciduk tuh," tulisnya.

"gue disalahin bukan cm sama pelaku tp juga sama org2 di sekitarnya. YAKALI GUE DIGEBUKIN KAGAK TERIAK SAKIT ANJIR. PAS GUE TERIAK GUE DIBILANG CAPER DAN BIKIN ORG RUMAHNYA STRES," lanjutnya dalam utas itu.

Cerita ini sontak bikin heboh jagat maya dan netizen geram.

Baca Juga: Kenali 4 Jenis KDRT, Bukan Hanya Kekerasan Fisik

Tak sedikit juga yang bertanya, kenapa bisa bertahan menjadi korban KDRT selama 8 tahun?

"Kalo ada yang tanya kenapa masih bertahan? guys org yg jd objek kekerasan dari seorang abuser itu ga segampang itu keluar lingkarannya. Ada yang namanya trauma bonding. Fasenya juga ada beberapa, habis gase abuse akan ada fase honeymoon. Begitu seterusnya," jelas Ayu.

"Jdi doain aja yg terbaik, jangan di judge ya. Aku berani ngomong di sosmed gini aja udh taruhan nyawa, biar ada yang belajar dr kisahku. Aku gatau setelah ini apa yang akan terjadi kepadaku," lanjutnya.

Memang, seseorang yang masuk dalam hubungan toksik dan mengalami kekerasan akan bisa terjebak dan sangat susah keluar.

Apa alasan susah keluar dari hubungan toksik?

Terlepas dari detail kasus Ayu, toxic relationship atau hubungan toksik yang terjadi sering kali tak bisa diselesaikan dengan tuntas, terutama pada pasangan menikah.

Ada banyak pertimbangan yang membiarkan dirinya berada dalam hubungan itu secara terus menerus.

“Sebenarnya toxic relationship seperti mata rantai yang tak terputus,” jelas psikolog dewasa, Inez Kristanti, M.Psi.

Inez menjelaskan, hubungan “beracun” biasanya diawali dari ketegangan (tention) dalam sebuah hubungan.

Nah, setelah fase ketegangan itu, sering kali berkembang menjadi tindakan kekerasan (insiden), baik itu secara fisik maupun psikis.

Misalnya pelaku memaki-maki atau bahkan melakukan pemukulan.

Baca Juga: 7 Tanda Kita Berada Dalam Toxic Relationship, Hubungan Sudah Tak Sehat

“Kalau sudah begitu, korban biasanya jadi sedih. Terus, pasangan yang menyadari berusaha minta maaf. Mereka pun kemudian baikan. Setelah tahapan ini, kami sering bilang dengan fase honeymoon, karena hubungan jadi mesra lagi. Padahal setelah itu, biasanya kembali lagi ke dalam kondisi yang penuh ketegangan,” jelas Inez.

Inez menyebut, kondisi hubungan toksik yang selalu berulang ini biasanya tak terlihat secara gamblang dari dunia luar.

Karena pasangan yang terlibat dalam hubungan itu, sering kali menutupinya dengan mengatakan bahwa hubungan mereka baik-baik saja.

Termasuk apa yang mereka pamerin melalui media sosial, padahal yang terjadi justru sebaliknya.

Hubungan tampak tidak sehat, bahkan sering kali salah satu pihak merasa terisolasi.

Dia tak bisa berteman, apalagi menceritakan kondisinya itu pada orang lain.

Celakanya lagi, dalam hubungan toksik perempuan sering kali menjadi korban.

Menurut Inez Kristanti, hal itu terjadi karena adanya ketidaksetaraan gender, pun juga ketimpangan power dan control.

Selama ini, dalam tradisi biasanya perempuan diajarkan untuk lebih menerima keadaan ketimbang lelaki.

“Jadi begitu berada dalam kondisi tersebut, perempuan cenderung enggak speak-up,” kata Inez.

Untuk itu, jika ada korban yang berani speak-up, sudah selayaknya kita dukung dan bantu, seperti halnya kasus Ayu ini. 

Itulah mirisnya kasus KDRT Ayu, dan penjelasan tentang alasan susah keluar dari hubungan toksik. (*)