IRT di Depok Jadi Tersangka Setelah Alami KDRT, Apa yang Harus Dilakukan Jika Keluarga Alami Kekerasan?

By Rahma, Kamis, 25 Mei 2023 | 13:05 WIB
Ilustrasi KDRT (Jelena Stanojkovic)

 

NOVA.id - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh seorang istri di Kota Depok berinisial PB dan dilakukan oleh suaminya sendiri berinisial BI, tengah menyedot perhatian publik.

Peristiwa ini pun viral di media sosial Twitter, usai adik dari PB mengunggah foto dan video kakaknya yang babak belur dengan narasi habis mendapat tindakan kekerasan dari BI.

Adik dari PB membuat utas di media sosial lantaran tidak terima sang kakak mengalami KDRT.

Lantas apa yang seharusnya kita lakukan jika orang terdekat mengalami KDRT?

Kasus KDRT memang masih sangat marak terjadi di Indonesia dengan angka yang memprihatinkan.

Kita jangan sampai membiarkan KDRT terjadi, apa lagi kepada diri sendiri atau orang lain di sekitar kita, ya!

Jika Sahabat NOVA mengetahui ada korban KDRT di sekitar kita, lakukan ini untuk membantunya.

Mulai Percakapan dan Beri Waktu

Kalau kita menyadari ada hal yang berubah dari orang yang kita kenal, dan kemungkinan hal itu berkaitan dengan kekerasan domestik, coba mulai percakapan untuk mengungkapnya.

Misalnya, tanya kondisi orang tersebut ketika kita melihat ada memar atau luka yang tidak wajar di tubuhnya, atau beri tahu bahwa kita khawatir melihat perubahan buruk yang kita sadari pada dirinya dan pengin memastikan ia aman atau baik-baik saja.

Tapi kalau ia memang belum mau bicara tentang hal tersebut, jangan terlalu mendesaknya, ya.

Korban KDRT tentu butuh waktu untuk pulih dari trauma yang dialaminya.

Baca Juga: Terbukti Lakukan KDRT Terhadap Venna Melinda, Ferry Irawan Divonis 1 Tahun Penjara

Jadi meski kita begitu penasaran ingin segera menindaklanjuti pelaku, jangan terlalu menekan korban untuk berbicara mengenai hal yang menimpanya dan beri ia waktu untuk menenangkan diri.

Waktu tersebut mungkin bisa beberapa jam hingga bertahun-tahun, tapi kalau kita serius pengin membantu korban, biarkan waktu berjalan sendiri hingga ia mau lebih terbuka dan memahami situasi yang dihadapinya.

Ketika korban sudah siap terbuka dan mau berbicara tentang kekerasan yang dialaminya, pastikan juga kita punya cukup waktu serta kapasitas tenaga fisik dan emosional untuk mendengarkan ceritanya.

Dengarkan Tanpa Menghakimi

Kita pasti geregetan pengin memberi nasihat atau saran dan masukan saat mendengar kisah korban KDRT, kan?

Tapi tahan dulu dan jangan langsung menceramahi korban saat ia sudah bersedia bicara.

Kita cukup mendengarkan ceritanya saja dulu, karena itulah yang paling dibutuhkan korban KDRT.

Boleh, kita sedikit bertanya untuk mengklarifikasi hal-hal yang kurang jelas, tapi jangan sampai bernada menghakimi korban atau bahkan pelaku, ya.

Alih-alih langsung menyudutkan korban, kita harus membuat korban tahu kalau kita percaya padanya dan ia enggak seharusnya diperlakukan demikian.

Enggak perlu juga menyalahkan korban karena masih bertahan dalam abusive relationship tersebut.

Ia mungkin mendapat gaslighting, tidak berani kabur, dipaksa bergantung pada pelaku, dibuat menyalahkan dirinya sendiri, atau malah tidak paham kalau hal yang menimpanya adalah sebuah bentuk kekerasan.

Pastikan fokus kita tertuju pada pengalaman korban, yang telah mengumpulkan keberanian sedemikian rupa untuk akhirnya dapat menceritakan hal tersebut pada orang lain.

Baca Juga: Imbas Kasus KDRT, Irfan Hakim Bantah Tuduhan Jauhi Lesti Kejora: Gue Masalahnya sama Billar

Pelajari Tanda-Tanda Kekerasan

Sahabat NOVA perlu ingat, KDRT bukan hanya soal kekerasan fisik yang tanda-tandanya kasat mata.

Kalau bicara soal tanda-tanda fisik, kita memang bisa melihatnya dari kulit yang memar, mata gelap, bibir bengkak atau luka, hingga cedera tulang pada tubuh korban.

Tapi jangan lupakan sejumlah tanda kekerasan non-fisik seperti kekerasan emosional, spiritual, finansial, dan sebagainya.

Kita mungkin bisa lebih sensitif terhadap tanda-tanda emosional seperti kepercayaan diri yang rendah, kebiasaan memohon maaf atas hal-hal terkecil sekali pun, ketakutan, perubahan pola tidur, kecemasan, depresi, hingga pikiran untuk mengakhiri hidup.

Selain itu, ada pula tanda-tanda perilaku yang mesti lebih disadari, seperti menjaga jarak dari orang lain, sering membatalkan janji di menit-menit terakhir, sering terlambat, terlalu menjaga kehidupan pribadi, dan mengisolasi diri dari teman-teman dan keluarga.

Tawarkan Bantuan Ahli

Kita mungkin tidak punya kapabilitas yang cukup untuk mengatasi kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Jadi jika kita tahu korban butuh pertolongan dan ia bersedia dibantu, coba tawarkan bantuan dari ahli yang lebih mumpuni, seperti psikolog, psikiater, dan dokter.

Mungkin juga korban bersedia kasusnya diproses secara hukum dan mau kita arahkan ke pihak berwenang.

Baca Juga: Berita Terpopuler: Konten Kreator di Bekasi Diduga Alami KDRT 8 Tahun hingga Menu Diet ala Felicya Angelista

Yang paling penting, pastikan ia tahu kalau kita ada di sana untuknya dan siap membantunya saat dibutuhkan sebisa kita.

Beri Perlindungan

Apakah ternyata korban sudah terpikir untuk meninggalkan hubungan dengan kekerasan tersebut?

Kita bisa bantu merencanakan cara aman bagi dirinya untuk pergi dan menjauh dari pelaku.

Kalau kita sendiri berani, berikan perlindungan bagi korban dari pelaku yang pasti bakal mencari si korban dan memaksanya tetap tinggal dengan dirinya, atau tetap berusaha melakukan kekerasan terhadap korban dengan berbagai cara.

Kalau pun enggak bisa memberikan perlindungan langsung, jika korban merasa butuh perlindungan mental dan hukum, kita bisa membantu mencari konselor di bidang KDRT dan pengacara untuk menangani kasus tersebut secara profesional.

Yuk, jangan lagi membiarkan KDRT terjadi di sekitar kita, Sahabat NOVA! (*)

Sebagian dari artikel ini dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan (artificial intelligence - AI).