Belajar dari Aurel Hermansyah Kena Body Shaming, Ini Cara Menghadapi Orang yang Sering Ejek Fisik

By Maria Ermilinda Hayon, Senin, 8 Januari 2024 | 18:05 WIB
Kalau kita menerima ejekan soal tubuh, bagaimana cara menghadapi body shaming dari orang lain? Yuk, simak penjelasannya. (Tero Vesalainen)

NOVA.id – Siapa yang tak kesal jika dikomentari negatif soal tubuhnya?

Hal inilah yang sedang dialami oleh Aurel Hermansyah.

Baru-baru ini ibu dua anak itu mengungkapkan dirinya menjadi korban body shaming warganet di media sosial.

Banyak yang mengejek bentuk tubuh Aurel Hermansyah yang dinilai semakin berisi.

Tak terima dihina oleh netizen, Aurel Hermansyah pun buka suara dan beri jawaban menohok kepada yang menghujatnya melalui postingan Instagram-nya.

Sontak istri Atta Halilintar itu pun banjir dukungan dari rekan selebritasnya setelah mengalami body shaming dari netizen.

Dukungan itu membanjiri kolom komentar unggahan Aurel Hermansyah yang berisi curhatannya.

“‘Aurel gendut bgt skrg’ ‘Kangen aurel sblm nikah’ ‘Aurel kaya ibu2.’ Kenapa ya orang2 itu pada jahat dan suka banget body shaming? Yg mirisnya adalah yg ngomong sesama perempuan," tulis Aurel dikutip NOVA di Instagram-nya, Minggu (7/1).

Aurel merasa dirinya akan egois apabila ia langsung diet setelah melahirkan tanpa memikirkan ASI untuk sang anak.

Ibu dua anak ini pun mengaku sangat sedih dengan hujatan netizen soal tubuhnya.

Belajar dari Aurel Hermansyah yang kena body shaming, bagaimana baiknya kita menghadapi orang yang body shaming tubuh kita?

Baca Juga: Jadi Korban Body Shaming, Aurel Hermansyah Sedih Hingga ASI Berkurang, Istri Atta Banjir Dukungan!

Body shaming menjadi masalah besar yang sering terjadi di tengah-tengah kita.

Apalagi, sekarang orang dengan bebasnya menghina orang di sosial media. Alhasil, body shaming di sosial media pun banyak membuat korban merasa malu, depresi, hingga takut untuk menjadi diri mereka sendiri.

Sedangkan pelaku merasa puas saat dirinya menghina korban. Tapi, ya, tidak semua keburukan harus dibalas dengan keburukan, kan?

Sebab, daripada berlama-lama terpuruk dengan kejahatan orang terhadap tubuh kita, lebih baik kita mulai fokus untuk membuat diri lebih baik, dan juga bahagia.

Semakin kita fokus dengan diri sendiri, maka semakin baik juga kehidupan kita. Apalagi saat kita bahagia dengan kekurangan dan kelebihan dari tubuh kita, pelaku bully mungkin akan semakin iri melihatnya.

Namun, membangun citra tubuh untuk jadi positif bukanlah pekerjaan mudah, terutama jika kita terbiasa menerima penghinaan tersebut sejak kecil.

“Setiap perilaku bully akan meninggalkan jejak di memori. Dan, itu tidak mudah untuk dilupakan. Jadi, lebih baik untuk memperkuat mental diri sendiri,” jelas Dr. Andreas Kurniawan, psikiater di Rumah Sakit Gading Pluit, Jakarta seperti dikutip dari Tabloid NOVA Edisi 1660.

Jangan Kasih Spotlight ke Pelaku

Wajar rasanya, kita marah dengan pelaku body shaming. Tapi, menurut Andreas, jika pelaku diberikan “panggung” maka ia akan semakin senang, karena ia berhasil mendapat perhatian dari si korban.

“Kalau kita bicara perilaku, pelaku itu akan senang saat korbannya reactive, misalnya korban marah, nangis, lapor ke orang-orang. Nah, reaksi ini menjadi feedback positive ke pelakunya,” jelas Andreas.

Oleh karena itu, Andreas menyarankan untuk sebaiknya tidak memberikan apa yang diinginkan oleh pelaku.

Baca Juga: Balasan Menohok Atta Halilintar saat Aurel Dihujat Soal Bentuk Badan, Netizen Beri Pujian: Salut Papata!

Misalnya, seseorang berkomentar buruk pada bentuk tubuh kita sampai membuat kita ingin marah dan menumpahkannya pada si pelaku.

Amarah yang ditunjukkan oleh kita tersebut, merupakan emosi yang diinginkan oleh si pelaku.

“Jadi, diemin saja, anggap itu enggak ada. Tapi, kalau di-bully secara fisik, itu kita boleh melawan,” pungkasnya.

Meski begitu, jika pelaku bully melakukan tindakan body shaming terhadap kita di publik, lebih baik kita menegurnya secara diam-diam, sehingga dia tidak memiliki ruang untuk menjadi spotlight di publik.

Jika kita bereaksi saat ia melakukan bully di publik, dia pun akan semakin senang.

Tapi, tetap saja, perilaku negatif yang diberikan orang terhadap kita, begitu membekas di hati sehingga sering membuat mental jadi down. Dan, itu menjadi hal wajar yang dialami oleh korban.

Andreas pun menyarankan agar kita tetap bercerita mengenai pengalaman body shaming ke orang yang dipercaya untuk menyembuhkan luka tersebut.

Sebab, dengan bercerita, perlahan itu bisa membantu untuk menyemangati kita kembali.

Kembali Cintai Diri Sendiri

Setelah mendiamkan pelaku, kita perlu membangkitkan diri kembali dari kejadian bully. Namun, bukan berarti kita mengabaikan emosi yang ada di dalam diri kita.

“Your feeling is valid. Sah, kok, kalau kita merasa sedih, marah, kecewa saat di[1]bully. Dan, enggak apa-apa, selama kita menyadari emosi kita. Dari situ, kita akan belajar untuk mengatasi emosi-emosi tersebut,” pungkasnya.

Baca Juga: Intip Rahasia Diet Kahiyang Ayu, Turun Berat Badan Sampai 30 Kilogram!

Setelah menyadari emosi yang ada di dalam diri kita, Andreas juga menyarankan untuk melakukan afirmasi positif.

Misalnya, “saya cantik, saya seksi”.

Jika afirmasi positif itu dilakukan setiap hari, maka otak akan terbiasa dengan kalimat tersebut.

Secara tidak sadar, itu akan membangkitkan rasa percaya diri kita terhadap tubuh kita.

“Repetisi itu yang disimpan dalam memori pada otak. Jadi, kalau dilakukan setiap hari, itu bisa mengubah cara pandang seseorang terhadap citra tubuhnya,” jelasnya.

Jadi, ya, mencintai diri sendiri memang menjadi cara terbaik untuk menghadapi body shaming ini. Saat kita menerima kekurangan dan kelebihan dari tubuh kita, maka secara perlahan kalimat negatif dari orang pun, akan mental.

Namun, ini memang tidak mudah dilakukan, oleh karena itu, harus mulai menanamkan sikap dan kalimat positif ke dalam diri sendiri sejak sekarang.

Selain memberikan afirmasi positif, kita juga bisa melakukan beragam cara untuk mencintai diri sendiri, misalnya olahraga atau melakukan perawatan diri.

Semakin kita fokus terhadap diri sendiri, maka pelaku pun akan semakin gelisah, deh! (*)