Cerpen: Sepasang Pohon yang Berpelukan

By nova.id, Senin, 13 April 2015 | 04:51 WIB
Cerpen Sepasang Pohon yang Berpelukan (nova.id)

Dalam kebisuannya, dua pohon itu telah mengajarkan banyak pelajaran bagi kami. Memangnya pelajaran apa yang bisa didapat dari dua pohon yang bisu? Memang, sewaktu kecil, kami hanya menyebut itu sebagai "sebuah kejadian". Tapi, seiring usia, kami paham bahwa itu  bukan semata sebuah kejadian, melainkan sebuah pelajaran.

Banyak hal dan kejadian yang diam-diam, perlahan, menelusup ke kepala kami, menorehkan pengajaran baru. Seperti misalnya, suatu ketika kami menemukan sarang burung di antara rerimbun daun pohon itu. Inung, salah seorang teman kami yang begitu terobsesi dengan burung, bermaksud hati untuk mengunduh sarang itu. Sebenarnya kami sudah mencegahnya, tapi Inung ngotot.

Dengan wajah tak bersalah, ia mulai merangkak, memanjat pohon liar yang biasa kami panjat itu. Dan di sinilah keanehan terjadi. Tubuh Inung selalu melorot ketika mencoba meraih dahan terendah dari pohon liar itu, hingga ia tak pernah sampai ke atas.

"Aneh, kok licin begini, ya, kalian tuang minyak kah?" ia menuduh kami mengerjainya.

Tentu saja kami melongo dan bergeleng-geleng. Beberapa detik kemudian, Supri hendak mencoba, apakah tubuh pohon liar itu memang berubah menjadi licin, seperti yang dikatakan Inung. Ketika Supri mendekati pohon itu dan kemudian memanjatnya. Semua berjalan lancar. Bahkan tubuh Supri bisa meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain, seperti anak kucing yang mengejar cicak pohon.

"Apanya yang licin?" komentar Supri.

"Aneh," Inung mengerutkan dahi. Ia mencoba memanjat ulang pohon itu. Dan hasilnya sama. Malah tubuh Inung seperti lumpuh karena kecapaian.

"Aku tahu, kenapa pohon itu tak mau kau panjat," ungkap Supri, "karena niatmu bukan untuk bermain, tapi untuk mencuri sarang burung itu."

Dan kami semua melongok, memerhatikan rumput kering yang menggumpal di antara daun dan reranting di pucuk pohon. Di antara ranting-ranting kecil, di sekitar sarang burung itu, tampak dua burung tengah berlompatan. Ia seperti tengah bersorak, menonton ulah kami.

Pada hari berikutnya, rupanya Inung masih belum lega, ia menganggap kejadian hari lalu sebagai kebetulan belaka, mungkin ketika itu ia sedang payah sehingga tenaganya tidak cukup untuk merangkaki pohon itu. Dan tampaknya, Inung tidak salah, setelah berusaha sekuat tenaga, ia berhasil meraih dahan paling rendah. Di dahan itu, Inung bersorak sorai, mengangkat kedua tangan, serupa pembalap yang berhasil  melampaui garis finis.

Entah bagaimana mulanya, beberapa detik berikutnya, tiba-tiba saja tubuh Inung bergoyang-goyang, tak seimbang, tubuhnya oleng, hingga akhirnya, dahan itu seperti melemparkan tubuh Inung ke tanah. Semenjak itu, tangan Inung cedera cukup parah, sehingga ia tak bisa bermain panjat memanjat lagi untuk waktu yang lama.

Setelah kejadian tentang Inung itu, kami bersepakat, untuk tidak mengganggu binatang apapun yang turut bertengger di pohon itu.