Cerpen Oleh Mashdar Zainal
Di burit rumah kami ada dua buah pohon yang tumbuh bersamaan dan saling berdekatan, yang satu pohon jamblang, dan yang satu lagi pohon liar yang wujudnya mirip-mirip pohon alpukat. Ketika kutanya emak, itu pohon apa, emak hanya menggeleng, mungkin sejenis pohon liar, pohon hutan, ungkapnya. Lantas, siapa yang menanamnya?
Entahlah. Dua pohon itu sudah ada sejak emak masih kanak-kanak, meski tidak semenjulang dan serimbun sekarang. Boleh dituturkan, musabab dua pohon itulah, burit rumah kami tak pernah sepi.
Aku masih ingat, banyak sekali anak-anak yang suka bermain di atas maupun di bawah dua pohon itu. Terlebih jika musim jamblang berbuah. Terkadang anak-anak bermain sampai lupa waktu. Hingga ketika petang merembang, tak jarang kami mendengar suara ribut-ribut di burit rumah kami, suara ibu-ibu yang berteriak memarahi anaknya, menyuruhnya pulang.
Perihal petuah, mulut emak sudah berlumut menasehati anak-anak itu, "Bermain di sini boleh-boleh saja, memetik jamblang sesuka kalian pun silahkan, tapi, hendaknya kalian tahu waktu. Tak elok bikin orang tua khawatir," tutur emak setiap kali membersihkan daun-daun yang berguguran di bawah pohon itu.
Anak-anak pun biasanya mengangguk, beriya-iya. Sehari dua hari, sebelum bedug maghrib bertalu, mereka sudah berhamburan pulang. Tapi, beberapa hari berikutnya, nasehat emak seperti menguap oleh canda tawa mereka yang seperti tak ada habisnya.
***
Dua pohon itu memang tempat bermain yang paripurna teduhnya. Alami dan sejuk. Batang dan dahan-dahannya pun cukup lebar dan lebat. Cabang-cabangnya seperti puluhan lengan yang saling merengkuh dan berpeluk satu sama lain. Bersilang sengkarut. Terkadang kami kesulitan untuk membedakan, yang mana dahan pohon liar, dan yang mana dahan pohon jamblang.
Beberapa batang paling rendah ada yang meliuk hampir mencium tanah. Anak-anak kecil yang belum bisa memanjat biasanya hanya berayun-ayun saja di dahan itu. Di bawah dua pohon itu, anak laki-laki biasa bermain kelereng. Sedangkan anak-anak perempuan memilih agak menepi ke teritis untuk bermain pasar-pasaran atau rumah-rumahan.
Bila sudah capai bermain, biasanya kami akan berebut memanjat dua pohon itu, untuk memilih dahan yang paling nyaman untuk diduduki, dibuat sandaran. Tapi, ihwal paling riang adalah ketika musim jamblang berbuah. Kami sudah seperti siamang yang tak henti-henti mencari makanan di antara dedahan. Kami bergelantungan meraih jamblang-jamblang yang matang dan menghitam di pucuk-pucuk pohon.
"Hati-hati, jangan tinggi-tinggi, dahannya licin, bisa terperosok kau nanti," acap kali emak berteriak macam itu, bila kami sudah asyik dan lupa daratan.
Tapi, sebenarnya, dua pohon itu sudah seperti ayah dan ibu kedua bagi kami. Ketika kami bertengger di dahan-dahan pohon itu, kami selalu merasa nyaman, seperti terlelap dalam buaian. Entah sejak kapan, kami menganggap pohon liar itu sebagai pohon laki-laki dan menyebutnya sebagai pohon ayah, sedangkan pohon jamblang yang berbuah setiap musim itu kami terakan sebagai pohon perempuan dan selanjutnya kami menamainya pohon ibu.
Dalam kebisuannya, dua pohon itu telah mengajarkan banyak pelajaran bagi kami. Memangnya pelajaran apa yang bisa didapat dari dua pohon yang bisu? Memang, sewaktu kecil, kami hanya menyebut itu sebagai "sebuah kejadian". Tapi, seiring usia, kami paham bahwa itu bukan semata sebuah kejadian, melainkan sebuah pelajaran.
Banyak hal dan kejadian yang diam-diam, perlahan, menelusup ke kepala kami, menorehkan pengajaran baru. Seperti misalnya, suatu ketika kami menemukan sarang burung di antara rerimbun daun pohon itu. Inung, salah seorang teman kami yang begitu terobsesi dengan burung, bermaksud hati untuk mengunduh sarang itu. Sebenarnya kami sudah mencegahnya, tapi Inung ngotot.
Dengan wajah tak bersalah, ia mulai merangkak, memanjat pohon liar yang biasa kami panjat itu. Dan di sinilah keanehan terjadi. Tubuh Inung selalu melorot ketika mencoba meraih dahan terendah dari pohon liar itu, hingga ia tak pernah sampai ke atas.
"Aneh, kok licin begini, ya, kalian tuang minyak kah?" ia menuduh kami mengerjainya.
Tentu saja kami melongo dan bergeleng-geleng. Beberapa detik kemudian, Supri hendak mencoba, apakah tubuh pohon liar itu memang berubah menjadi licin, seperti yang dikatakan Inung. Ketika Supri mendekati pohon itu dan kemudian memanjatnya. Semua berjalan lancar. Bahkan tubuh Supri bisa meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain, seperti anak kucing yang mengejar cicak pohon.
"Apanya yang licin?" komentar Supri.
"Aneh," Inung mengerutkan dahi. Ia mencoba memanjat ulang pohon itu. Dan hasilnya sama. Malah tubuh Inung seperti lumpuh karena kecapaian.
"Aku tahu, kenapa pohon itu tak mau kau panjat," ungkap Supri, "karena niatmu bukan untuk bermain, tapi untuk mencuri sarang burung itu."
Dan kami semua melongok, memerhatikan rumput kering yang menggumpal di antara daun dan reranting di pucuk pohon. Di antara ranting-ranting kecil, di sekitar sarang burung itu, tampak dua burung tengah berlompatan. Ia seperti tengah bersorak, menonton ulah kami.
Pada hari berikutnya, rupanya Inung masih belum lega, ia menganggap kejadian hari lalu sebagai kebetulan belaka, mungkin ketika itu ia sedang payah sehingga tenaganya tidak cukup untuk merangkaki pohon itu. Dan tampaknya, Inung tidak salah, setelah berusaha sekuat tenaga, ia berhasil meraih dahan paling rendah. Di dahan itu, Inung bersorak sorai, mengangkat kedua tangan, serupa pembalap yang berhasil melampaui garis finis.
Entah bagaimana mulanya, beberapa detik berikutnya, tiba-tiba saja tubuh Inung bergoyang-goyang, tak seimbang, tubuhnya oleng, hingga akhirnya, dahan itu seperti melemparkan tubuh Inung ke tanah. Semenjak itu, tangan Inung cedera cukup parah, sehingga ia tak bisa bermain panjat memanjat lagi untuk waktu yang lama.
Setelah kejadian tentang Inung itu, kami bersepakat, untuk tidak mengganggu binatang apapun yang turut bertengger di pohon itu.
***
Keanehan yang lain yang juga terjadi pada dua pohon itu adalah, bahwa pohon itu tak pernah sudi menerima begundal untuk bermain dan bertengger di atasnya. Buktinya, beberapa anak yang menurut kami suka usil, suka berkata kotor, tukang kibul, tukang kutil, semuanya tak pernah berhasil memanjat pohon-pohon itu. Kalaupun berhasil, tak butuh waktu lama, pohon itu akan melempar tubuh anak-anak itu ke tanah. Sudah banyak kejadian. Sudah banyak pohon itu menciderai anak orang.
Terakhir adalah, ketika kami tengah asik berleha-leha di atas pohon Jamblang itu. Sebagai anak laki-laki yang menapak remaja, kami sudah mulai suka berkata bacin perihal kelamin. Dan di atas pohon itu, Bojes, salah seorang teman kami yang paling mahir berkata dan bercerita jorok, pelan-pelan memancing kelelakian kami dengan cerita-cerita panasnya. Ketika itu, ia bercerita, bahwa diam-diam, ia suka mengintai Bi Juwar ketika sedang mandi di kali. Kata Bojes, Bi Juwar punya kulit yang mulus dan anu yang aduhai.
"Kau tahu, bahkan aku rela menjadi sabun yang dipakai Bi Juwar mandi," selorohnya tanpa dosa, membuat tawa kami meledak.
"Sssttt, kalian pernah..." Bojes kembali berbisik, ia mengambil sesuatu dari saku celananya, "aku punya kejutan, sebentar..., kalian pernah lihat gambar..."
Ketika Bojes hendak membuka gambar yang terlipat itu, tiba-tiba angin berhembus, sekilas hembus, dahan jamblang yang diduduki Bojes seperti bergoyang, menghindar untuk diduduki. Hingga kemudian, tubuh Bojes terpental, menghantam dahan sebelum akhirnya mendebam tanah.
Dari atas dahan, kami gemetar melihat tubuh Bojes telungkup di tanah, berdarah-darah. Sementara, kertas yang yang tadi hendak ia pertontonkan pada kami melayang-layang menimpa tubuhnya. Ketika orang-orang berdatangan dan bertanya macam-macam, kami tak bisa menjelaskan apapun. Terlebih ketika mereka bertanya perihal gambar tak senonoh itu.
Setelah kejadian itu, beberapa orang menyarankan, supaya pohon itu ditebang saja. Terutama pohon jamblang, yang acap kali jadi sumber malapetaka. Lagi pula, ketika tengah berkumpul di pohon itu, anak-anak mulai suka berembug yang tidak-tidak. Atas beberapa pertimbangan, akhirnya bapak memutuskan untuk menebang pohon itu, pohon jamblang.
Detik-detik menjelang pohon itu ditebang, aku seperti melihat dua pohon itu kian merapat satu sama lain, saling condong. Seperti dua raksasa yang saling berpelukan dan tak hendak lepas. Mungkin mereka tengah membisikkan kalimat-kalimat perpisahan.
Dua pohon itu tampak layu. Sendu. Terlebih ketika petang. Dua pohon itu tampak seperti dua orang tua yang kesepian, ditinggal anak-anaknya. Aku tak sanggup membayangkan, bagaimana pohon liar itu akan berdiri sendiri ketika nanti pohon jamblang itu benar-benar ditebang.
Dan entah kenapa, pada hari ketika pohon jamblang itu ditebang, aku merasa bersalah dan tak berguna. Bahkan aku tak sampai hati menyaksikan bagaimana gergaji mesin itu memenggal batang demi batang, dahan demi dahan. Kubayangkan semua itu seperti adegan pembantaian yang dingin darah.
Aku hanya berdiam di dalam rumah, menyimak suara-suara pilu itu. Gergaji mesin berdesingan. Dahan tumbang berdebaman. Daun gugur bergesekan. Menyedihkan.
***
Petang hari ketika aku membuka pintu belakang, yang tampak hanya warna jingga yang lapang. Pohon jamblang di burit rumah kami telah usai riwayatnya. Sementara pohon liar itu masih menjulang, namun tak bergerak sedikitpun. Dahan, ranting, dan dedaunnya seperti sudah tak peduli pada apapun.
Seiring senja yang tenggelam. Pohon itu tampak memilukan. Beberapa kali aku mendekati pohon itu. Dahan-dahan yang dulu acap kami duduki kini basah, seperti mengeluarkan getah. Mungkinkah itu air matanya? Entahlah. Yang jelas, kian hari, pohon itu kain layu. Daun-daunnya berguguran satu persatu. Lalu gundul.
Berselang bulan, meski musim hujan tandang, tetap tak ada semi atau pun tunas yang tumbuh. Pohon itu kian ranggas. Beberapa ranting mulai berjatuhan. Bekas sarang-sarang burung tampak menggumpal hambar, tanpa kehidupan. Seperti sepi. Seperti kesendirian.
Berkalang tahun, kemarau pun kembali menjerang. Dari bawah, pohon liar itu tampak seperti bangkai raksasa yang dimumikan oleh waktu. Batangnya kian kering. Dahan dan reranting kian compang-camping. Tak ada harapan hidup.
Belakangan baru kuinsyafi, bahwa di dunia ini, memang tak ada siapapun yang sanggup hidup sendiri, menjadi bulan-bulanan sepi. Seperti pohon itu, ia lebih memilih mati daripada sendiri.
***