Cerpen: Sepasang Pohon yang Berpelukan

By nova.id, Senin, 13 April 2015 | 04:51 WIB
Cerpen Sepasang Pohon yang Berpelukan (nova.id)

***

Keanehan yang lain yang juga terjadi pada dua pohon itu adalah, bahwa pohon itu tak pernah sudi menerima begundal untuk bermain dan bertengger di atasnya. Buktinya, beberapa anak yang menurut kami suka usil, suka berkata kotor, tukang kibul, tukang kutil, semuanya tak pernah berhasil memanjat pohon-pohon itu. Kalaupun berhasil, tak butuh waktu lama, pohon itu akan melempar tubuh anak-anak itu ke tanah. Sudah banyak kejadian. Sudah banyak pohon itu menciderai anak orang.

Terakhir adalah, ketika kami tengah asik berleha-leha di atas pohon Jamblang itu. Sebagai anak laki-laki yang menapak remaja, kami sudah mulai suka berkata bacin perihal kelamin. Dan di atas pohon itu, Bojes, salah seorang teman kami yang paling mahir berkata dan bercerita jorok, pelan-pelan memancing kelelakian kami dengan cerita-cerita panasnya. Ketika itu, ia bercerita, bahwa diam-diam, ia suka mengintai Bi Juwar ketika sedang mandi di kali. Kata Bojes, Bi Juwar punya kulit yang mulus dan anu yang aduhai.

"Kau tahu, bahkan aku rela menjadi sabun yang dipakai Bi Juwar mandi," selorohnya tanpa dosa, membuat tawa kami meledak.

"Sssttt, kalian pernah..." Bojes kembali berbisik, ia mengambil sesuatu dari saku celananya, "aku punya kejutan, sebentar..., kalian pernah lihat gambar..."

Ketika Bojes hendak membuka gambar yang terlipat itu, tiba-tiba angin berhembus, sekilas hembus, dahan jamblang yang diduduki Bojes seperti bergoyang, menghindar untuk diduduki. Hingga kemudian, tubuh Bojes terpental, menghantam dahan sebelum akhirnya mendebam tanah.

Dari atas dahan, kami gemetar melihat tubuh Bojes telungkup di tanah, berdarah-darah. Sementara, kertas yang yang tadi hendak ia pertontonkan pada kami melayang-layang menimpa tubuhnya. Ketika orang-orang berdatangan dan bertanya macam-macam, kami tak bisa menjelaskan apapun. Terlebih ketika mereka bertanya perihal gambar tak senonoh itu.

Setelah kejadian itu, beberapa orang menyarankan, supaya pohon itu ditebang saja. Terutama pohon jamblang, yang acap kali jadi sumber malapetaka. Lagi pula, ketika tengah berkumpul di pohon itu, anak-anak mulai suka berembug yang tidak-tidak. Atas beberapa pertimbangan, akhirnya bapak memutuskan untuk menebang pohon itu, pohon jamblang.

Detik-detik menjelang pohon itu ditebang, aku seperti melihat dua pohon itu kian merapat satu sama lain, saling condong. Seperti dua raksasa yang saling berpelukan dan tak hendak lepas. Mungkin mereka tengah membisikkan kalimat-kalimat perpisahan.

Dua pohon itu tampak layu. Sendu. Terlebih ketika petang. Dua pohon itu tampak seperti dua orang tua yang kesepian, ditinggal anak-anaknya. Aku tak sanggup membayangkan, bagaimana pohon liar itu akan berdiri sendiri ketika nanti pohon jamblang itu benar-benar ditebang.

Dan entah kenapa, pada hari ketika pohon jamblang itu ditebang, aku merasa bersalah dan tak berguna. Bahkan aku tak sampai hati menyaksikan bagaimana gergaji mesin itu memenggal batang demi batang, dahan demi dahan. Kubayangkan semua itu seperti adegan pembantaian yang dingin darah.

Aku hanya berdiam di dalam rumah, menyimak suara-suara pilu itu. Gergaji mesin berdesingan. Dahan tumbang berdebaman. Daun gugur bergesekan. Menyedihkan.

***

Petang hari ketika aku membuka pintu belakang, yang tampak hanya warna jingga yang lapang. Pohon jamblang di burit rumah kami telah usai riwayatnya. Sementara pohon liar itu masih menjulang, namun tak bergerak sedikitpun. Dahan, ranting, dan dedaunnya seperti sudah tak peduli pada apapun.

Seiring senja yang tenggelam. Pohon itu tampak memilukan. Beberapa kali aku mendekati pohon itu. Dahan-dahan yang dulu acap kami duduki kini basah, seperti mengeluarkan getah. Mungkinkah itu air matanya? Entahlah. Yang jelas, kian hari, pohon itu kain layu. Daun-daunnya berguguran satu persatu. Lalu gundul.

Berselang bulan, meski musim hujan tandang, tetap tak ada semi atau pun tunas yang tumbuh. Pohon itu kian ranggas. Beberapa ranting mulai berjatuhan. Bekas sarang-sarang burung tampak menggumpal hambar, tanpa kehidupan. Seperti sepi. Seperti kesendirian.

Berkalang tahun, kemarau pun kembali menjerang. Dari bawah, pohon liar itu tampak seperti bangkai raksasa yang dimumikan oleh waktu. Batangnya kian kering. Dahan dan reranting kian compang-camping. Tak ada harapan hidup.

Belakangan baru kuinsyafi, bahwa di dunia ini, memang tak ada siapapun yang sanggup hidup sendiri, menjadi bulan-bulanan sepi. Seperti  pohon itu, ia lebih memilih mati daripada sendiri.

***