Indra Sjafri Pernah Kecewa Tak Masuk Timnas (1)

By nova.id, Rabu, 29 Januari 2014 | 03:22 WIB
Indra Sjafri Pernah Kecewa Tak Masuk Timnas 1 (nova.id)

Nah, selama tinggal di mess, saya bertemu seorang perempuan bernama Temi Indrayani, yang akhirnya menjadi pendamping hidup. Pertemuan saya dengan Temi terjadi ketika saya latihan. Tiap pagi atau sore biasanya saya berlatih sepak bola sendiri di sebuah lahan kosong.

Secara kebetulan rumah Temi berada di sekitar lahan kosong itu. Dari satu pertemuan singkat ke pertemuan singkat berikutnya, akhirnya kami saling jatuh cinta. Oleh karena ada rasa saling cocok, akhirnya kami sepakat menikah.

Di samping itu, prestasi saya di dunia sepak bola mampu memberikan berkah tersendiri. Saya pun diterima sebagai karyawan di PT Pos Indonesia di Padang. Akan tetapi, setelah mengabdi di PT Pos sejak 1985, pada 2007 saya mengajukan pensiun dini. Saya merasa tak bisa maksimal menjalani pekerjaan, sebab sejak menjadi instruktur pelatih saya harus lebih banyak bepergian ke mana-mana.

Kecewa Tak Masuk Timnas

Kembali ke kisah semasa saya memperkuat PSP Padang, saya pernah merasakan kekecewaan. Pasalnya, ketika itu saya merasa kemampuan dalam bermain sepak bola sedang berada di posisi puncak. Tapi anehnya, saya tak bisa masuk ke dalam jajaran pemain timnas. Untuk beberapa lama saya memendam kekecewaan. Namun akhirnya saya mulai berpikir positif, pasti bukan hanya saya yang bernasib demikian.

Mereka yang meniti karier dari desa-desa, meski memiliki kemampuan yang mumpuni, tetap harus mengalami kegagalan lantaran PSSI tidak fair dalam merekrut pemain. Peristiwa itulah yang mengilhami saya dalam merekrut para pemain saat ini. Untuk mendapatkan bibit-bibit muda yang bagus, saya harus rela blusukan ke pelosok daerah di seluruh Indonesia.

Bagi saya, sangat naif rasanya bila melihat jumlah penduduk Indonesia sebanyak 240 juta jiwa dan dengan luas wilayah Indonesia yang begini besar, tak bisa menemukan pemain yang andal. Anak-anak Indonesia di kampung-kampung memiliki potensi yang luar biasa hebat, tapi mereka tak pernah diberi kesempatan. Akhirnya kemampuan itu tak tergali dengan baik.

Nah, rasa kecewa yang saya rasakan dulu itu, sempat membuat saya putar haluan. Di tahun 1991 saya tak melanjutkan jadi pemain di lapangan hijau, tapi memilih meniti karier di dunia kepelatihan. Ilmu tentang kepelatihan pertama kali saya peroleh dari pelatih asal Jerman. Suatu ketika, Kota Padang menjalin kerja sama yang disebut dengan program Sister City dengan Jerman. Bukan hanya penataan kotanya saja yang digarap, tapi sektor olah raganya juga.

Jerman kemudian mengirim seorang pelatih sepak bola bernama Adolf Remy untuk menjadi pelatih PSP Padang. Ketika ia jadi pelatih, saya jadi asistennya. Menjadi asisten Remy tidaklah mudah. Beberapa teman saya bahkan tak tahan akibat banyak hal. Mulai dari disiplin tinggi sampai pandangannya tentang dunia kepelatihan.

Sebaliknya, saya justru suka terhadap Remy lantaran banyak nilai-nilai yang ditanamkannya untuk menjadi seorang pelatih yang baik. Salah satu contoh yang saya ingat, dulu di Padang setiap ada pertandingan sepak bola, yang duduk di bangku cadangan bukan hanya pemain tapi juga pejabat dari bupati, kepala dinas, dan sebagainya.

Nah, sejak Remy menjadi pelatih PSP Padang, kebiasaan itu dilarang. Menurut Remy, yang boleh duduk di bangku cadangan, ya, hanya pemain dan official saja, lainnya tidak. Tindakan itu sempat mendapat protes dari para pejabat, namun Remy tetap teguh dengan pendiriannya. Contoh lainnya, Remy akan marah besar jika melihat ada seorang official merokok di ruang ganti pemain atau di lingkungan lapangan.

Nilai-nilai demikian sangat saya sukai dan kemudian saya terapkan. Tak heran bila kemudian Remy menjadi akrab dengan saya, bahkan saya bisa bertahan menjadi asistennya selama tiga tahun, sebelum akhrinya ia kembali ke negaranya. Berkat hubungan baik itu, saya sempat diajaknya melihat langsung pertandingan sepak bola piala dunia dan berkunjung ke beberapa kawasan di Jerman.

Mendapat Lisensi Pelatih

Seusai menjadi asisten Adolf Remy, di tahun 1996 saya mengikuti kursus kepelatihan untuk mendapatkan lisensi kepelatihan C-AFC, yang kemudian dilanjutkan ke B-AFC, dan pada tahun 1998 saya berhak mengantongi lisensi tertinggi, yakni A-AFC. Setelah itu, saya mendapat lisensi grassroot dari badan sepak bola dunia, FIFA. Dengan beragam lisensi tadi, akhirnya saya diberi tugas oleh PSSI untuk berkecimpung di dunia kepelatihan.

Sebelum menjadi pelatih timnas, saya ditunjuk menjadi penatar pelatih dari FIFA. Saya juga bagian dari tim penganalisa pertandingan dari AFC. Dengan lisensi ini, saya bisa menganalisa sebuah pertandingan yang bukan di Indonesia saja, tapi juga di luar negeri. Sehingga saya bisa melihat peta kekuatan timnas negara-negara lain. Jadi, bila saat ini saya ditunjuk menjadi pelatih timnas, tanpa bermaksud sombong, ilmu yang saya miliki dan kuasai memang sudah lengkap.

(Nomor depan: Indra Sjafri mengisahkan pengalamannya serta menganalisis mengapa dunia sepak bola Indonesia tak bisa maju. Hingga akhirnya ia menemukan "obatnya". Dan obat itulah yang kemudian berhasil mengantarkan anak-anak asuhnya menjuarai Kejuaraan Sepakbola ASEAN atau AFF (ASEAN Football Federation) 2013 untuk U-19)

 Gandhi Wasono M.