"SEmasaya saya (berdiri, ketiga dari kiri) memperkuat tim PSP Padang. Akibat kecewa tak bisa menjadi pemain timnas Indonesia, Akhirnya saya memutuskan menjadi pelatih. (Foto: Dok Pri) "
Bicara soal bola rasanya tak pernah akan ada habisnya. Bagi saya, bola sudah menjadi bagian hidup saya. Bisa dikatakan saya adalah satu di antara orang-orang yang sangat beruntung, karena cita-cita menjadi seorang pemain dan pelatih sepak bola yang saya cita-citakan sejak kecil dapat terwujud.
Oh ya, saya adalah anak pertama dari enam bersaudara, dari Ayah bernama Anwar dan Ibu bernama Sjamsinur. Saya lahir dan menghabiskan masa anak-anak di kampung halaman di Lubuk Nyiur, Batang Kapas, Pesisir Selatan (Sumbar).
Oleh karena sangat cinta sepak bola, sejak kecil hampir tiap hari saya tak pernah melewatkan main bola bersama teman-teman. Saya amat beruntung, sebab orangtua tak penah melarang. Apalagi Ayah juga kebetulan hobi main sepak bola. Bahkan di masa itu Ayah sempat jadi pemain sepak bola di klub tingkat kabupaten.
Kala itu, di kampung halaman belum ada fasilitas lapangan seperti sekarang. Jadi tiap main sepak bola, bukan di lapangan rumput melainkan di sawah yang mengering. Mainnya pun bertelanjang kaki. Oleh karena itu, ketika kecil saya pernah terjatuh hingga tangan kiri saya patah akibat main sepak bola. Namun saya sama sekali tak pernah kapok.
Anak yang Patuh
Kendati hidup dalam suasana penuh kesederhanaan, namun kondisi itu tak mengurangi keceriaan masa kecil saya. Bersama anak-anak lain di kampung, kami selalu bermain dengan penuh rasa riang. Saya bahkan baru mengenal sepatu khusus sepak bola ketika menginjak bangku SMP. Saya masih ingat betul merek sepatu sepak bola pertama saya adalah Siong Fu.
Lantaran rajin latihan sepak bola, bila ada turnamen antarsekolah yang disebut bina seni dan olahraga (Binasenora) atau sekarang disebut Porseni (Pekan Olahraga dan Seni), saya pasti ikut dan tampil menjadi salah satu pemain dari tim sepak bola sekolah.
Saking cintanya pada sepak bola, saya juga tak pernah ketinggalan mendengarkan radio yang menyiarkan pertandingan timnas Indonesia. Di tahun 1970-an, di kampung halaman saya belum ada televisi. Kalau pun ada yang punya, mungkin hanya di satu atau dua rumah saja. Jadi, berita tentang pertandingan sepak bola hanya bisa kami dapat dari radio,
Nah, suatu kali timnas Indonesia akan bertanding. Setengah jam sebelum pertandingan dimulai, saya sudah bersiap di depan radio. Jika pertandingan sudah dimulai, saya akan mendengarkan sang penyiar radio dengan saksama.
Rasanya girang sekali bila mendengar timnas Indonesia berhasil membobol gawang lawan. Sejak dulu, saya memang selalu mengidolakan timnas Indonesia yang saat itu diperkuat oleh salah satu pemainnya yang bernama Junaidi Abdillah.
Kendati hobi saya main sepak bola bersama teman-teman, bukan berarti saya tumbuh menjadi anak yang nakal. Justru saya adalah tipe anak yang patuh kepada orangtua. Saya tak pernah merepotkan orangtua dan selalu menuruti apa yang diperintahkan Ayah dan Ibu.
Namun sebagai anak lelaki, saya merasa sangat dekat dengan Ibu. Tapi bukan berarti jauh dengan Ayah. Lantaran pekerjaan Ayah sebagai pedagang, kami jadi lebih jarang bertemu. Beliau sibuk bekerja sehingga saya lebih sering bersama Ibu di rumah.
Bagi saya, Ibu adalah sosok lembut yang penuh kasih sayang. Dari Ibu pula lah saya mendapatkan nilai kehidupan, yang saya rasakan betul manfaatnya sampai kini. Banyak hal yang ditanamkan Ibu kepada anak-anaknya, misalnya soal ketaatan menjalankan ibadah, melarang keras anak-anaknya merokok, mengatur jadwal tidur, sampai memberikan asupan makanan yang bergizi.
Saya merasa sangat beruntung dilahirkan di dalam keluarga yang kondisi ekonominya serba cukup, meski tak berlebihan. Saya masih ingat sekali, saat masih SD, kedua orangtua sudah memiliki tiga truk pribadi dan sebuah toko di pasar.
Masuk Klub PS Makudum
Nah, bila semasa SD saya masih main sepak bola secara asal-asalan, sejak di bangku SMP saya mulai menekuni dunia sepak bola secara serius. Oleh karena kemampuan saya dalam bermain sepak bola cukup menonjol, ketika ada petandingan antarpemuda daerah pada perayaan 17 Agustus-an, saya sudah diajak bertanding. Padahal, ketika itu saya masih jadi pemain usia termuda, sementara yang lainnya sudah remaja dewasa.
Ada satu pengalaman yang tak bisa saya lupakan dalam suatu pertandingan. Pernah ketika bertanding saya ditendang oleh seorang pemain. Saking kerasnya tendangan itu, sampai-sampai saya terpental sejauh satu meter. Saya sebetulnya tak masalah, sebab setelah itu saya langsung bangkit untuk kembali mengejar bola. Namun Ayah yang menonton dari tepi lapangan tak terima saya ditendang. Beliau marah-marah kepada pemain yang menendang saya. Ha ha ha...
Saya semakin mendapatkan pengetahuan bermain sepak bola dengan baik ketika masuk SMAN 2 Padang. Tak sekadar bermain, ketika itu saya sudah mendapatkan pembinaan dari pelatih. Dan sejak itu pula bisa dibilang saya mulai menapaki karier di dunia sepak bola secara profesional. Sebab, baru setengah tahun sekolah, saya sudah mulai bergabung dengan PS Makudum, yang berada di bawah naungan klub PSP Padang.
Pemilik PS Makudum adalah Datuk Makudum, salah seorang penggila bola. Datuk ini merupakan orang terpandang dan kaya raya di Padang. Selain memiliki klub sepak bola, beliau juga memiliki hotel berbintang. Hotel Makudum ini sekaligus dijadikan mess untuk para pemain sepak bola. Saya sempat tinggal di mess cukup lama, sejak 1981 sampai 1993.
Saya baru keluar dari mess setelah menikah. Selama tinggal di mess pula saya sambil menamatkan pendidikan SMA, kemudian melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Padang. Tak heran bila hubungan saya dengan Datuk Makudum sangat dekat, bahkan beliau sudah saya anggap seperti orangtua kedua.
Sementara yang melatih klub PS Makudum ketika itu antara lain Usman Can, Zulkifli Jamal, Erwin Yatim, dan masih banyak lagi. Oleh karena PS Makudum bagian dari klub PSP Padang, selain main untuk PS Makudum, saya juga kerap memperkuat PSP Padang.
Pelatih saya di PSP Padang adalah Suhatman Imam. Selama menjadi pemain sepak bola secara profesional, praktis saya bisa menghidupi diri sendiri, sehingga secara ekonomi tak perlu lagi menggantungkan hidup dari uang orangtua lagi.
Nah, selama tinggal di mess, saya bertemu seorang perempuan bernama Temi Indrayani, yang akhirnya menjadi pendamping hidup. Pertemuan saya dengan Temi terjadi ketika saya latihan. Tiap pagi atau sore biasanya saya berlatih sepak bola sendiri di sebuah lahan kosong.
Secara kebetulan rumah Temi berada di sekitar lahan kosong itu. Dari satu pertemuan singkat ke pertemuan singkat berikutnya, akhirnya kami saling jatuh cinta. Oleh karena ada rasa saling cocok, akhirnya kami sepakat menikah.
Di samping itu, prestasi saya di dunia sepak bola mampu memberikan berkah tersendiri. Saya pun diterima sebagai karyawan di PT Pos Indonesia di Padang. Akan tetapi, setelah mengabdi di PT Pos sejak 1985, pada 2007 saya mengajukan pensiun dini. Saya merasa tak bisa maksimal menjalani pekerjaan, sebab sejak menjadi instruktur pelatih saya harus lebih banyak bepergian ke mana-mana.
Kecewa Tak Masuk Timnas
Kembali ke kisah semasa saya memperkuat PSP Padang, saya pernah merasakan kekecewaan. Pasalnya, ketika itu saya merasa kemampuan dalam bermain sepak bola sedang berada di posisi puncak. Tapi anehnya, saya tak bisa masuk ke dalam jajaran pemain timnas. Untuk beberapa lama saya memendam kekecewaan. Namun akhirnya saya mulai berpikir positif, pasti bukan hanya saya yang bernasib demikian.
Mereka yang meniti karier dari desa-desa, meski memiliki kemampuan yang mumpuni, tetap harus mengalami kegagalan lantaran PSSI tidak fair dalam merekrut pemain. Peristiwa itulah yang mengilhami saya dalam merekrut para pemain saat ini. Untuk mendapatkan bibit-bibit muda yang bagus, saya harus rela blusukan ke pelosok daerah di seluruh Indonesia.
Bagi saya, sangat naif rasanya bila melihat jumlah penduduk Indonesia sebanyak 240 juta jiwa dan dengan luas wilayah Indonesia yang begini besar, tak bisa menemukan pemain yang andal. Anak-anak Indonesia di kampung-kampung memiliki potensi yang luar biasa hebat, tapi mereka tak pernah diberi kesempatan. Akhirnya kemampuan itu tak tergali dengan baik.
Nah, rasa kecewa yang saya rasakan dulu itu, sempat membuat saya putar haluan. Di tahun 1991 saya tak melanjutkan jadi pemain di lapangan hijau, tapi memilih meniti karier di dunia kepelatihan. Ilmu tentang kepelatihan pertama kali saya peroleh dari pelatih asal Jerman. Suatu ketika, Kota Padang menjalin kerja sama yang disebut dengan program Sister City dengan Jerman. Bukan hanya penataan kotanya saja yang digarap, tapi sektor olah raganya juga.
Jerman kemudian mengirim seorang pelatih sepak bola bernama Adolf Remy untuk menjadi pelatih PSP Padang. Ketika ia jadi pelatih, saya jadi asistennya. Menjadi asisten Remy tidaklah mudah. Beberapa teman saya bahkan tak tahan akibat banyak hal. Mulai dari disiplin tinggi sampai pandangannya tentang dunia kepelatihan.
Sebaliknya, saya justru suka terhadap Remy lantaran banyak nilai-nilai yang ditanamkannya untuk menjadi seorang pelatih yang baik. Salah satu contoh yang saya ingat, dulu di Padang setiap ada pertandingan sepak bola, yang duduk di bangku cadangan bukan hanya pemain tapi juga pejabat dari bupati, kepala dinas, dan sebagainya.
Nah, sejak Remy menjadi pelatih PSP Padang, kebiasaan itu dilarang. Menurut Remy, yang boleh duduk di bangku cadangan, ya, hanya pemain dan official saja, lainnya tidak. Tindakan itu sempat mendapat protes dari para pejabat, namun Remy tetap teguh dengan pendiriannya. Contoh lainnya, Remy akan marah besar jika melihat ada seorang official merokok di ruang ganti pemain atau di lingkungan lapangan.
Nilai-nilai demikian sangat saya sukai dan kemudian saya terapkan. Tak heran bila kemudian Remy menjadi akrab dengan saya, bahkan saya bisa bertahan menjadi asistennya selama tiga tahun, sebelum akhrinya ia kembali ke negaranya. Berkat hubungan baik itu, saya sempat diajaknya melihat langsung pertandingan sepak bola piala dunia dan berkunjung ke beberapa kawasan di Jerman.
Mendapat Lisensi Pelatih
Seusai menjadi asisten Adolf Remy, di tahun 1996 saya mengikuti kursus kepelatihan untuk mendapatkan lisensi kepelatihan C-AFC, yang kemudian dilanjutkan ke B-AFC, dan pada tahun 1998 saya berhak mengantongi lisensi tertinggi, yakni A-AFC. Setelah itu, saya mendapat lisensi grassroot dari badan sepak bola dunia, FIFA. Dengan beragam lisensi tadi, akhirnya saya diberi tugas oleh PSSI untuk berkecimpung di dunia kepelatihan.
Sebelum menjadi pelatih timnas, saya ditunjuk menjadi penatar pelatih dari FIFA. Saya juga bagian dari tim penganalisa pertandingan dari AFC. Dengan lisensi ini, saya bisa menganalisa sebuah pertandingan yang bukan di Indonesia saja, tapi juga di luar negeri. Sehingga saya bisa melihat peta kekuatan timnas negara-negara lain. Jadi, bila saat ini saya ditunjuk menjadi pelatih timnas, tanpa bermaksud sombong, ilmu yang saya miliki dan kuasai memang sudah lengkap.
(Nomor depan: Indra Sjafri mengisahkan pengalamannya serta menganalisis mengapa dunia sepak bola Indonesia tak bisa maju. Hingga akhirnya ia menemukan "obatnya". Dan obat itulah yang kemudian berhasil mengantarkan anak-anak asuhnya menjuarai Kejuaraan Sepakbola ASEAN atau AFF (ASEAN Football Federation) 2013 untuk U-19)
Gandhi Wasono M.