Dr.Lipur Riyantiningtyas: Serat Otot Seperti Gudeg (2)

By nova.id, Rabu, 8 Desember 2010 | 17:01 WIB
Dr (nova.id)

Maksudnya? 

 Banyak jenazah, karena mungkin ditemukan di satu rumah, keluarga lantas meyakini jenazah itu adalah keluarganya. Tapi secara ilmu, saya enggak bisa melepas karena kami punya standar yang jelas.

Padahal sekarang, kalau ketemu tulang, apa yang bisa saya periksa? Kalu cek DNA, saya enggak punya pembanding. Tes DNA, kan, harus ada sampel pembandingnya. Masa semua mau dites DNA? Yang bayar siapa? Satu pemeriksaaan saja bisa habis Rp 4 juta.

 Seringkali, kami enggak bisa melepas jenazah, tapi keluarga yakin sekali. Pertentangan ini kadang bikin capek. Kalau seperti itu, saya tetap mengeluarkan jenazah dengan nama Mr. X, jika memang keluarga meyakini, ya, terserah. Tapi secara hukum, dia tetap Mr.X di data saya. Nah, kadang saya suka disalahkan karena hal semacam itu.

Jika jenazah sudah berupa tulang-belulang, apa kesulitan utama dalam mengidentifikasinya?

 Susah kalau tulang-tulang itu sudah bercampur. Kan, para relawan yang mengevakuasi enggak tahu bedanya tulang manusia dan tulang binatang. Kadang, dalam satu kantung ada dua tulang paha, tapi dua-duanya sebelah kanan. Itu, kan, berarti ada dua jenazah. Ada juga tulang manusia dewasa yang bercampur dengan tulang kambing. Kami, kan, enggak tahu, saat itu mungkin dia lagi di kandang kambing atau bagaimana. Itu sudah susah untuk dipisah-pisahkan.

Sejak bencana Merapi, jam kerja jadi kacau, ya?

 Ha ha ha. Iya, kacau banget! Tapi suami saya sungguh pengertian. Terutama karena dunia saya punya ritme kerja yang tak menentu, dan banyak terlibat dengan laki-laki. Saya jarang pulang sejak Merapi erupsi. Bisa dua hari enggak pulang ke rumah, menginap di kantor. Untungnya ada anak-anak yang bergantian datang untuk ketemu saya, sambil bawa makanan.

 Anak-anak juga untungnya mengerti risiko pekerjaan saya. Sejak kecil, anak-anak saya sudah dibiasakan hidup mandiri. Suami juga memberi kebebasan , selama saya tidak meninggalkan urusan keluarga.

 (dr. Lipur menikah tahun 1991 dengan pria Bali bernama I Gede Oka Subagya. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai dua anak, Ni Luh Putu Rika Wulandari (18) dan I Made Andre Oktavikto (15). Ketika bencana Merapi datang, dr. Lipur sangat terpukul ketika menjumpai salah satu jenazah korban adalah Narudi, putra dari orangtua angkatnya, Pak Udi, yang tak lain adalah adik ipar Mbah Marijan.)

Bagaimana awal pertemuan dengan keluarga Pak Udi?

 Dulu, saya suka naik gunung. Sejak SMP, dunia saya udah dunia gunung. Hampir setiap Sabtu, saya packing tas dan langsung naik gunung. Sebagian besar waktu, saya habiskan di Kinahrejo. Base camp saya ada di rumah Mbah MAridjan dan Pak Udi. Bu Udi itu adiknya Mbah Marijan. Kebetulan, saya hidup sendiri di Jogja sejak SMP, karena orangtua saya di Jakarta. Saya di Jogja sama kakak-kakak saya.