Maksudnya?
Banyak jenazah, karena mungkin ditemukan di satu rumah, keluarga lantas meyakini jenazah itu adalah keluarganya. Tapi secara ilmu, saya enggak bisa melepas karena kami punya standar yang jelas.
Padahal sekarang, kalau ketemu tulang, apa yang bisa saya periksa? Kalu cek DNA, saya enggak punya pembanding. Tes DNA, kan, harus ada sampel pembandingnya. Masa semua mau dites DNA? Yang bayar siapa? Satu pemeriksaaan saja bisa habis Rp 4 juta.
Seringkali, kami enggak bisa melepas jenazah, tapi keluarga yakin sekali. Pertentangan ini kadang bikin capek. Kalau seperti itu, saya tetap mengeluarkan jenazah dengan nama Mr. X, jika memang keluarga meyakini, ya, terserah. Tapi secara hukum, dia tetap Mr.X di data saya. Nah, kadang saya suka disalahkan karena hal semacam itu.
Jika jenazah sudah berupa tulang-belulang, apa kesulitan utama dalam mengidentifikasinya?
Susah kalau tulang-tulang itu sudah bercampur. Kan, para relawan yang mengevakuasi enggak tahu bedanya tulang manusia dan tulang binatang. Kadang, dalam satu kantung ada dua tulang paha, tapi dua-duanya sebelah kanan. Itu, kan, berarti ada dua jenazah. Ada juga tulang manusia dewasa yang bercampur dengan tulang kambing. Kami, kan, enggak tahu, saat itu mungkin dia lagi di kandang kambing atau bagaimana. Itu sudah susah untuk dipisah-pisahkan.
Sejak bencana Merapi, jam kerja jadi kacau, ya?
Ha ha ha. Iya, kacau banget! Tapi suami saya sungguh pengertian. Terutama karena dunia saya punya ritme kerja yang tak menentu, dan banyak terlibat dengan laki-laki. Saya jarang pulang sejak Merapi erupsi. Bisa dua hari enggak pulang ke rumah, menginap di kantor. Untungnya ada anak-anak yang bergantian datang untuk ketemu saya, sambil bawa makanan.
Anak-anak juga untungnya mengerti risiko pekerjaan saya. Sejak kecil, anak-anak saya sudah dibiasakan hidup mandiri. Suami juga memberi kebebasan , selama saya tidak meninggalkan urusan keluarga.
(dr. Lipur menikah tahun 1991 dengan pria Bali bernama I Gede Oka Subagya. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai dua anak, Ni Luh Putu Rika Wulandari (18) dan I Made Andre Oktavikto (15). Ketika bencana Merapi datang, dr. Lipur sangat terpukul ketika menjumpai salah satu jenazah korban adalah Narudi, putra dari orangtua angkatnya, Pak Udi, yang tak lain adalah adik ipar Mbah Marijan.)
Bagaimana awal pertemuan dengan keluarga Pak Udi?
Dulu, saya suka naik gunung. Sejak SMP, dunia saya udah dunia gunung. Hampir setiap Sabtu, saya packing tas dan langsung naik gunung. Sebagian besar waktu, saya habiskan di Kinahrejo. Base camp saya ada di rumah Mbah MAridjan dan Pak Udi. Bu Udi itu adiknya Mbah Marijan. Kebetulan, saya hidup sendiri di Jogja sejak SMP, karena orangtua saya di Jakarta. Saya di Jogja sama kakak-kakak saya.
Tiap Sabtu saya naik bus ke Kinahrejo. Kebetulan, Bu Udi punya warung jadi saya sering makan di sana dan enggak bayar karena enggak punya duit. Ha ha ha. Saya juga dekat dengan Mbah Hargo (ayah Mbah Maridjan), yang juga juru kunci Merapi sebelum Mbah Maridjan. Saya kenal Mbah Maridjan, tapi enggak sedekat seperti dengan Mbah Hargo atau Pak Udi. Terutama keluarga Pak Udi, sudah saya anggap keluarga sendiri. Ya, seperti orangtua angkat saja.
Kapan menerima kabar soal kondisi keluarga Pak Udi?
Setelah letusan kedua, Jumat (05/11), saya sempat dikontak teman-teman kalau Kinahrejo kena awan panas. Saya langsung tanya, "Bapak (Pak Udi) bagaimana?" Enggak lama, ada teman yang mengabari kalau Bapak di RS Sardjito dan dirawat di bangsal luka bakar. Waktu itu kondisinya masih hidup.
Tapi saya tahu, secara medis, enggak mungkin Bapak selamat, karena luka bakarnya sudah derajat 3, dan paru-parunya sudah kena. Ibu Udi selamat dan diungsikan ke rumah salah satu teman. Putranya, Narudi, katanya juga di RS Sardjito, tapi ternyata dia terdaftar dengan nama aslinya, Sukirman. Setelah saya menemukan dia, kondisinya memang sudah meninggal.
Lalu?
Pada saat harus mengidentifikasi Narudi, mungkin karena hubungan batin, saya enggak bisa menahan tangis. Apalagi setelah itu, saya terima kabar kalau Bapak juga sudah tidak terselamatkan. Akhirnya Pak Udi dan Narudi dimakamkan bersama Mbah Maridjan di Dusun Srunen.
Teman-teman sempat heran waktu melihat saya menangis saat sedang merekonsiliasi jenazah Narudi. Semua enggak pernah melihat saya menangis, karena saya selalu tegar. Tapi karena ini hubungan batin dan saya nangis, semua bertanya-tanya. Membaca hasil pemeriksaan saja sampai nangis.
Kapan terakhir bertemu Pak Udi?
Saya ketemu Bapak, Ibu dan Narudi waktu Lebaran hari ketiga September lalu. Biasanya saya dan anak-anak selalu liburan keluarga tiap Lebaran. Nah, kemarin itu enggak. Saya ke sana, main dari pagi sampai sore. Entah kenapa, tiba-tiba terpikir untuj foto bareng. Padahal, Bapak enggak pernah mau difoto. Tapi tiba-tiba dia masuk ke rumah dan ganti baju rapi. Seumur-umur, Bapak enggak pernah mau difoto. Waktu itu sampai pakai peci segala. Kata bapak waktu itu, "Enggak apa-apa difoto, untuk pengingat." Sekarang, setelah Bapak pergi, saya baru ngeh. Mungkin itu firasat.
Hasto, Yetta