Tiap Sabtu saya naik bus ke Kinahrejo. Kebetulan, Bu Udi punya warung jadi saya sering makan di sana dan enggak bayar karena enggak punya duit. Ha ha ha. Saya juga dekat dengan Mbah Hargo (ayah Mbah Maridjan), yang juga juru kunci Merapi sebelum Mbah Maridjan. Saya kenal Mbah Maridjan, tapi enggak sedekat seperti dengan Mbah Hargo atau Pak Udi. Terutama keluarga Pak Udi, sudah saya anggap keluarga sendiri. Ya, seperti orangtua angkat saja.
Kapan menerima kabar soal kondisi keluarga Pak Udi?
Setelah letusan kedua, Jumat (05/11), saya sempat dikontak teman-teman kalau Kinahrejo kena awan panas. Saya langsung tanya, "Bapak (Pak Udi) bagaimana?" Enggak lama, ada teman yang mengabari kalau Bapak di RS Sardjito dan dirawat di bangsal luka bakar. Waktu itu kondisinya masih hidup.
Tapi saya tahu, secara medis, enggak mungkin Bapak selamat, karena luka bakarnya sudah derajat 3, dan paru-parunya sudah kena. Ibu Udi selamat dan diungsikan ke rumah salah satu teman. Putranya, Narudi, katanya juga di RS Sardjito, tapi ternyata dia terdaftar dengan nama aslinya, Sukirman. Setelah saya menemukan dia, kondisinya memang sudah meninggal.
Lalu?
Pada saat harus mengidentifikasi Narudi, mungkin karena hubungan batin, saya enggak bisa menahan tangis. Apalagi setelah itu, saya terima kabar kalau Bapak juga sudah tidak terselamatkan. Akhirnya Pak Udi dan Narudi dimakamkan bersama Mbah Maridjan di Dusun Srunen.
Teman-teman sempat heran waktu melihat saya menangis saat sedang merekonsiliasi jenazah Narudi. Semua enggak pernah melihat saya menangis, karena saya selalu tegar. Tapi karena ini hubungan batin dan saya nangis, semua bertanya-tanya. Membaca hasil pemeriksaan saja sampai nangis.
Kapan terakhir bertemu Pak Udi?
Saya ketemu Bapak, Ibu dan Narudi waktu Lebaran hari ketiga September lalu. Biasanya saya dan anak-anak selalu liburan keluarga tiap Lebaran. Nah, kemarin itu enggak. Saya ke sana, main dari pagi sampai sore. Entah kenapa, tiba-tiba terpikir untuj foto bareng. Padahal, Bapak enggak pernah mau difoto. Tapi tiba-tiba dia masuk ke rumah dan ganti baju rapi. Seumur-umur, Bapak enggak pernah mau difoto. Waktu itu sampai pakai peci segala. Kata bapak waktu itu, "Enggak apa-apa difoto, untuk pengingat." Sekarang, setelah Bapak pergi, saya baru ngeh. Mungkin itu firasat.
Hasto, Yetta