Makannya Jangan Diemut, Dong, Sayang

By nova.id, Rabu, 15 Juni 2011 | 17:01 WIB
Makannya Jangan Diemut Dong Sayang (nova.id)

Kebiasaan mengemut makanan harus dihentikan karena bisa merusak gigi dan membuat anak kurang gizi.

Setelah melewati usia setahun, terang Lidia L. Hidajat, MPH, makin banyak hal yang menarik perhatian anak. Terlebih gerakan psikomotoriknya makin beragam, hingga ia makin punya banyak cara untuk memuaskan kebutuhannya. Ia pun lebih memahami, ketimbang bulan-bulan pertama kehidupannya, di masa batita ini makin banyak sarana yang bisa memenuhi rasa nyamannya.

Jadi, bila selama ini ia merasa nyaman setelah diberi minum atau makan saja, sekarang ia punya pilihan lebih banyak. Apalagi bila anak tak menganggap makan sebagai suatu hal menyenangkan, ia mudah teralihkan. Bahkan, karena terlalu asyik dengan hal lain, ia bisa lupa kalau di mulutnya masih ada makanan. "Bisa juga anak makan karena takut dimarahi, hingga ia hanya melaksanakan kewajibannya membuka mulut dan mau disuapi. Selanjutnya, karena ia tak menemukan enaknya makan, ia hanya mengemutnya," tutur staf pengajar di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, ini.

Bila dikaitkan dengan teori Sigmund Freud, pakar psikoanalisa, di awal kehidupan, pemberian makanan, termasuk mengisap dot, merupakan salah satu sumber kepuasan. Soalnya, di usia awal ini, bayi berada pada fase oral, yaitu fase kenikmatan yang berpusat di daerah mulut. Hingga, bila anak masih sangat terikat pada fase oral padahal seharusnya ia sudah beralih pada kepuasan menggigit dan mengunyah, maka kebiasaan mengemut makanan merupakan perpanjangan waktu dari kenikmatan yang diperolehnya sewaktu bayi. Meski teori ini sudah terbilang kuno, tapi, kata Lidia, masih tetap dijadikan reference bagi banyak kasus.

TAK DIAJARKAN

Di sisi lain, kita tahu ada tahapan pemberian makanan pada anak, dari makanan cair ke semi padat, lalu padat. Nah, kebiasaan mengemut, menurut dr. Waldi Nurhamzah, dimulai ketika anak mengenal makanan padat, yaitu sekitar usia 8 bulan ke atas hingga usia sekitar 2-3 tahun. "Tentunya, mengkonsumsi makanan padat berbeda dengan cara yang selama masa bayi dikenalnya yaitu hanya mengisap ASI atau mengedot susu botol. Makanan padat perlu dikunyah dulu baru ditelan, dan perlu gerakan lidah serta rahang sedemikian rupa hingga makanan bisa masuk ke kerongkongan." Hingga, bila orang tua tak mengajarkan cara makan yang benar sejak anak mengenal makanan padat, jadilah si anak akan mengemut makanannya.

Celakanya, tutur staf pengajar di FKUI ini, beberapa orang tua yang merasa putus asa menghadapi anaknya makan dengan cara diemut, lalu memberi kompensasi berupa pemberian cairan/susu. Padahal, cara ini tak menyelesaikan persoalan. "Setelah gigi anak keluar dan lengkap, ia tetap belum bisa makan dengan baik karena tak tahu bagaimana cara makannya: apakah harus saya langsung telan, saya lepeh, atau saya isap."

Jadi, tekan Waldi, harusnya anak diajarkan cara makan yang baik. "Memang caranya berbeda pada tiap anak, tapi untuk tahap awal, orang tua bisa memberikan contoh yang baik ketika makan. Misal, memperlihatkan bagaimana kita menggerak-gerakkan mulut." Cara lain, coba berikan makanan secara bertahap, dari yang halus hingga kasar, karena hal ini juga proses pembelajaran.

Kemudian, jika anak sudah mulai belajar makan, orang tua bertugas memotivasinya agar ia mau makan tapi tanpa harus memarahinya. Ini berarti, ujar Waldi, orang tua harus punya konsep bahwa makan bukan suatu hal yang menyiksa bagi anak, melainkan menyenangkan dan menghibur. "Namun jangan terlalu menghibur karena bisa-bisa anak malah enggak makan tapi main terus." Misal, ia boleh pegang sendok atau piringnya sendiri. Meski meja atau lantai jadi kotor, tak masalah. Justru kita harus siap dengan kekotoran itu karena itulah batita.

Dalam bahasa lain, beri kepercayaan pada anak untuk makan sendiri. Anak yang terlalu sering disuapi dan tak belajar makan sendiri, menurut Lidia, cenderung mengemut makanan karena ia biasa "dikomando", hingga ia akan menunggu komando menelan sebelum sendok berikut diberikan.

"Di suapi juga membuat anak jadi pasif dan tak belajar mengukur seberapa lama ia membutuhkan waktu untuk menelan makanannya," tambah Lidia.

BENTUK PROSES ANAK