Makannya Jangan Diemut, Dong, Sayang

By nova.id, Rabu, 15 Juni 2011 | 17:01 WIB
Makannya Jangan Diemut Dong Sayang (nova.id)

Selain itu, tak jarang orang tua memaksa anak untuk makan. Padahal, cara ini justru bisa mengundang anak mengemut makanannya. Dengan kata lain, anak mengemut makanan sebagai bentuk protes karena makan bukan kegiatan yang menyenangkan baginya. "Sebagian pakar perkembangan melihat, kesulitan makan pada anak akibat 'dosa' orang tua yang kadang terlalu concern dengan pertumbuhan anaknya, hingga menjejalinya dengan segala macam makanan bergizi, atau malah terlalu melindungi anaknya dari makanan keras dan susah dikunyah hingga anak tak belajar mengunyah, maupun terlalu lama membiarkan anak menggunakan dot hingga terbiasa mengisap dan mengemut," papar Lidia.

Sebab lain, soal variasi menu makanan. "Anak kecil itu, kan, relatif mudah berubah; hari ini suka soto, besok suka bakso, misal. Jadi, tak heran kalau ia enggak antusias melihat menu makanan yang dibuat ibunya atau pengasuh, karena sudah menduga tak ada yang istimewa, 'Ah, paling-paling juga seperti kemarin."' Saran Lidia, buat makanan yang bervariasi, baik dari segi rasa maupun bentuk. Jika perlu, hias makanan itu hingga bisa membantu anak untuk bereaksi positif terhadap makanan. Bahkan, tambah Waldi, orang tua harus siap dengan pengeluaran ekstra karena pengeluaran untuk belanja anak akan lebih besar ketimbang pengeluaran sekeluarga. Misal, kalau sebelumnya nasi pakai kecap, mungkin besok diubah menjadi nasi plus keju.

Lidia pun menyarankan agar anak dilibatkan dalam pemilihan menu. Apalagi jika usianya menjelang 3 tahun, biasanya anak sudah bisa ditanya, "Mau makan apa?" atau "Kamu ingin Bunda bikin apa buatmu hari ini?" Hingga, anak merasa ikut disertakan dalam menentukan jenis masakan hari itu dan ia mestinya juga lebih bersemangat untuk memakan makanan pilihannya.

TUMBUH GIGI

Jangka waktu pemberian makan juga harus diperhatikan. Bisa saja, kan, anak masih kenyang kala disuruh makan? Apalagi bila orang tua kerap memanjakan anak dengan snack-snack atau camilan di antara waktu makan utama, hingga kala ia harus benar-benar makan, sudah merasa "penuh". Terlebih lagi bila suasana makannya terburu-buru. "Ada, lo, ibu yang mengeluh pada saya, 'Dok, anak saya makannya, kok, diemut, sih? Padahal, saya bela-belain balik dari kantor selama seperempat jam untuk menyuapinya'. Nah, masalahnya mungkin ada di situ, karena mungkin waktu yang seperempat jam itu tak cukup bagi si anak," tutur Waldi. Jadi, tegasnya, jika orang tua hanya punya waktu sedikit, ya, jangan menyuapi anak karena hanya membuat si anak makan dalam keadaan terpaksa hingga ia merasa tak ada kesenangan sama sekali.

Jika semua hal tadi sudah diperhatikan, tapi si anak masih tetap mengemut makanannya, bisa jadi lantaran ia sedang tumbuh gigi. Secara fisik, jelas Waldi, ketaknyamanan karena gigi yang sedang bertumbuh kerap mengganggu anak tapi tak tersampaikan olehnya. Hingga, kala makanan menyentuh gusi, ia merasa sakit atau tak nyaman karena ada makanan yang nyangkut, dan lainnya. Jadilah ia mengemut makanan.

Bisa juga lantaran ia mengalami penyakit/infeksi yang tak diketahui orang tua, semisal sakit gigi atau sariawan. Namun bila penyebabnya sakit, biasanya sifatnya hanya temporer. Dengan kata lain, mengemut makanan hanya terjadi kala si anak sakit. Nah, agar tak terjadi penyakit tadi, Waldi menganjurkan agar orang tua rajin merawat gigi anak. "Anak batita, kan, belum bisa menggosok gigi. Jadi, kerusakan gigi karena kelalaian orang tua sering terjadi." Usahakan juga agar anak tak sering makan manis-manis seperti cokelat, ganti dengan potongan buah semisal pepaya atau melon, dan lainnya. "Kalau anak sampai sakit gigi, ia akan merasa sakit saat makan; mau dikunyah sakit, mau ditelan juga sakit. Hingga akhirnya diemutlah makanan itu."

KURANG GIZI

Yang jelas, Bu-Pak, kebiasaan mengemut makanan harus segera diatasi karena berpengaruh pada fisik dan psikologis anak. Efeknya, terang Lidia, anak cenderung lebih terokupasi pada kepuasan mulutnya. "Kalau teori Freud masih berlaku, ini bisa membuat anak jadi orang yang cenderung tergantung pada orang lain dan menunda-nunda pekerjaan." Namun dampak ini masih dipengaruhi lagi oleh banyak faktor sosiokultural lainnya. Artinya, bukan melulu lantaran anak punya kebiasaan mengemut makanan, akhirnya jadi seperti itu.

Dari segi fisik, jelas Waldi, berdampak kekurangan gizi pada anak. Bukan lantaran makanan yang diemut akan berkurang gizinya, lo, melainkan karena porsi makanan yang dikonsumsi anak jadi berkurang. Misal, anak harusnya makan 5 sendok. Namun karena makannya diemut dan yang menyuapinya tak sabar, berhenti pada sendok ke-3. Nah, bila hal ini berlangsung terus-menerus, keadaan gizi anak jadi buruk. "Ia akan terlihat lemas dan sering rewel."

Itu sebab, lanjut Waldi, menghadapi anak yang mengemut makanan tak bisa seperti kita menghadapi orang dewasa, "Ayo, makannya jangan diemut, nanti kamu sakit, lo," misal. Anak tak akan mengerti. Yang terbaik, cari penyebabnya: apakah karena sakit, tak suka jenis makanan yang diberikan, sudah kenyang, atau sebab lain. Jika sudah dicari-cari tapi tak juga ditemukan jawabannya, "biarkan dokter yang memutuskan penyebabnya." Sebab, mungkin saja si anak mengalami infeksi yang sudah lama mengendap di tubuhnya, seperti infeksi paru-paru atau saluran kencing, hingga mempengaruhi selera makannya.

Efek lain dari kebiasaan mengemut makanan ialah gigi rusak. "Makanan yang diemut tentunya akan semakin besar proses pembusukan yang terjadi. Itu sebab, anak batita sering mengalami 'sindrom gigi membusuk' yang berkaitan dengan makanan." Ini berarti, mengemut makanan sama saja dengan mengedot, bisa bikin gigi rusak.