Firasat Buruk Sang Ayah Sebelum Dokter Alia Tewas

By nova.id, Kamis, 27 Agustus 2009 | 05:32 WIB
Firasat Buruk Sang Ayah Sebelum Dokter Alia Tewas (nova.id)

Firasat Buruk Sang Ayah Sebelum Dokter Alia Tewas (nova.id)

"Alia (tengah) bersama keluarganya saat berpose di sebuah katedral di kota Moscow (Foto: Ist) "

Sejak dr Alia Pranita Sari ditemukan tewas karena dibunuh Iwan Andriansyah, keluarga Dr Agustria Zainu Saleh SpOG sangat syok. Baik Agustria maupun istrinya dr Megawati mengurung diri. Namun setelah beberapa kali dihubungi, Agustria Zainu bersedia menerima wartawan Sripo Prawira Maulana dan fotografer Syahrul Hidayat di kediamannya, Rabu (26/8) siang.

Rapat staf siang itu benar-benar berat bagi dr Agustria Zainu Saleh SpOG. Matanya berair, tanda kegalauan mengikis konsentrasinya. Sabtu siang (22/8) itu tiga hari sudah putri sulungnya, Alia Pranita Sari menghilang.

Usai rapat, tangis itu pun tiba-tiba pecah. Seorang kolega bertanya tentang perkembangan pencarian Alia. "Saya tak tahu, tampaknya tak ada harapan lagi," jawab Agustria kala itu. Belum ada petunjuk, tapi Agustria bisa merasakan Alia sudah tiada. Dan apa yang menjadi firasat Agustria menjadi kenyataan keesokan harinya, jasad Alia ditemukan 300 kilometer dari rumahnya, di Palalawan Provinsi Riau.

Kegalauan yang berujung kesedihan ini ternyata tak mengikis ketegaran hati putra tentara ini. Rabu, (26/8) siang, dua hari setelah prosesi penguburan, keluarga Agustria menyediakan waktu khusus selama hampir dua jam kepada Sripo untuk diwawancarai. Berikut petikan wawancaranya.

Sebelum Alia dinyatakan meninggal dunia, apakah sebelumnya Anda atau anggota keluarga lain punya semacam firasat?

Entah ini firasat atau bukan, namun entah kenapa saya sudah menduga anak saya bakal seperti sekarang (meninggal dunia, Red). Saya sudah rasakan sejak pertama kali Alia menghilang.

Bisa diceritakan?

Pertama saya menduga, mungkin saat perjalanan pulang dia dihadang perampok. Atau ban mobilnya digembosi lalu dirampok. Makanya sampai dini hari setelah Alia menghilang saya langsung lapor polisi. Anda sendiri ada di sana (Mapoltabes Palembang, Red) saat saya melaporkannya. Kamis (20/8) dini hari. Tapi saya tak menduga prosesnya seperti ini. Ada kejahatan dibalik menghilangnya Alia.

Lantas apa yang dirasakan saat mendengar Alia meninggal dunia?

Pastinya sangat sedih, namun saya berusaha tegar. Saya sadar sesadar-sadarnya, semua orang pasti dipanggil oleh Allah, hanya mungkin pasalnya (caranya, Red) berbeda. Dipanggil dengan cara seperti ini pastinya sama sekali diluar dugaan saya. Kami sekeluarga tak dendam. Biarlah semua proses hukum kami serahkan ke penegaknya.

Kehilangan anak menurut yang kami ketahui, bukan satu kali dialami Anda. Hal ini terulang lagi. Anda protes nggak pada Tuhan?

Tidak. Saya tetap beriman. Tahun 1996 saat pertama kali naik haji saya pernah berdoa kepada Allah. Saya berdoa semoga anak-anak saya menjadi anak yang saleh. Selain itu saya meminta semoga anak-anak saya semuanya menjadi dokter. Tuhan ternyata mengabulkan doa saya (keluarga Agustria adalah keluarga dokter. Istri Agustria, Megawati juga dokter. Dua adik Alia juga dokter, sedangkan adik bungsu meninggal ketika masih kecil, Red) Kenikmatan yang saya dapat tentu ada ujiannya. Allah mungkin memberikan ini sebagai ujian untuk saya (kehilangan dua orang anak. Selain Alia anak bungsu Agustria Zainu juga meninggal saat masih kecil, Red). Untuk semua yang sudah saya dapat. Insya Allah saya masih tetap beriman.

Apakah tidak dendam?

Dari awal saat mendengar kabar almarhumah, saya menekankan kepada anak dan istri saya agar tak dendam. Membuang perasaan itu lah yang membuat saya tegar. Saya ikhlas menerimanya.

Kewajiban dan tanggung jawab saya sebagai bapak dengan kejadian ini semakin bertambah besar. Saya harus memimpin mereka untuk lepas dari duka ini.

Selain itu tuntutan profesi sebagai dokter juga harus tetap saya pegang. Saya punya tanggung jawab terhadap orang lain dengan profesi saya.

Saat prosesi otopsi jenazah Alia, Anda sekeluarga ada dalam ruangan itu. Apakah tak kalut berada disitu, meski kami tahu Anda, istri dan dua adik Alia adalah dokter?

Sebelumnya kami sudah bersepakat untuk berada di situ, bisa jadi karena kami semua dokter bisa bertahan di situ. Anda pasti tahu seluruh proses otopsi bagaimana. Jenazah diteliti bahkan sampai membuka kulit tubuhnya. Kami kuat karena kami mau ada di bagian ini. Proses otopsi juga harus dilakukan karena itu prosedur resmi agar pengungkapan kasus pembunuhan anak saya ini, bisa dilanjutkan.

Anda menangis saat itu?

Ya, tapi tetap tenang.

Jika boleh mengungkapkan tentang kenangan. Bagaimana sebenarnya Alia di mata Anda?

Dia pemimpin di antara anak-anak saya yang lain. Ia tegas. Temannya dimana-mana. Saya selalu melibatkan Alia di setiap kegiatan keprofesian. Makanya dia sering saya ajak setiap kali ada pertemuan, baik di dalam dan luar negeri.

Dari awal keinginannya menjadi dokter memang cukup tinggi, selain karena rasa solidaritasnya yang tinggi. Bahkan beberapa kali saat saya tidak bisa membimbing praktik saat perkuliahan. Alia sempat menggantikan saya. Dan yang ikut praktik lebih banyak ketimbang saya yang mengisi materi.Dia dekat dengan saya. Kami sering saling berdiskusi mengenai hal-hal penting, khususnya mengenai disiplin ilmu kedokteran. Semoga duka ini cepat berlalu.

Masih tampak kedukaan yang tergambar di fisik Dokter Agustria. Matanya sembab. Dokter ini pun sempat menarik napas dalam menahan tangis, saat mengenang anaknya. "Dia anak baik, semoga dia tenang di alam sana," katanya. Prawira Maulana/Sripo