Sembilan Tahun Menunggu Ketukan Palu (2)

By nova.id, Rabu, 22 April 2009 | 00:00 WIB
Sembilan Tahun Menunggu Ketukan Palu 2 (nova.id)

Sembilan Tahun Menunggu Ketukan Palu 2 (nova.id)
Sembilan Tahun Menunggu Ketukan Palu 2 (nova.id)

"Walau sempat dikucilkan keluarga, Sisi tak gentar mencari keadilan. "

Dikucilkan Keluarga Ternyata proses untuk sampai pada kata "menang" itu lama sekali. Perlu waktu bertahun-tahun. Aku bahkan sampai harus mengikuti puluhan kali mediasi. Baik yang diprakarsai pengadilan, Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK), juga Majelis Kehormatan Disiplin Kesehatan Indonesia (MKDKI). Namun semua berjalan alot.

Belakangan, keluarlah surat dari Dinas Kesehatan yang menyatakan, kebocoran ususku itu merupakan risiko operasi, bukan kesalahan medis. Hah, risiko operasi? Sejak awal, dr Iam tidak pernah memberitahuku soal itu. Bagaimana pula Dinkes bisa menyimpulkan begitu sedangkan mereka tidak pernah melakukan pemeriksaan medis padaku?

Ah, sepertinya semua pihak melawanku. Begitu juga dengan adik-adik dan keluarga besarku. Mereka tidak senang aku berkoar-koar ke sana-sini, sampai ke media, sambil mempertontonkan perutku yang berlubang dan penuh jahitan. Aku dianggap tidak menjaga nama baik keluarga dan kemudian dibuang.

Jangan ditanya bagaimana sedihnya hatiku saat itu. Mengapa dalam kondisiku seperti ini mereka tidak bisa mendukung dan malah merasa malu? Untungnya Mami, Asrofiyah K Chalik (74), dan seorang kerabatku masih mau mendukung. Sejak itu, aku keluar dari rumah Mami di Bandung dan mulai mengadu nasib di Jakarta. Sendirian.

Takut Bunuh Diri Yang pasti, aku tidak pernah menyerah mencari keadilan. Entah mendapat kekuatan dari mana, setiap hari aku semakin bersemangat. Tertanggal 23 Juni 2008, aku memasukkan gugatan perdataku ke PN Jakarta Selatan. Tidak hanya itu. Aku juga mengganti kuasa hukumku dengan Tim Advokasi Kesehatan Masyarakat Indonesia (TAKMI) yang diketuai Andris Basril, SH.

Setelah penantian panjang, sidang keputusanku dijadwalkan 24 Maret 2009 lalu. Menunggu hari itu, sepanjang malam aku berzikir. Aku minta kepada Allah agar diberikan kekuatan jika keputusan sidang tidak sesuai dengan yang kuharapkan.

Ketika tiba hari-H nya, rasanya jantungku seperti mau copot. Para kuasa hukumku tidak pernah berada jauh dariku. Mereka bersiap-siap menjagaku dari usaha bunuh diri jika saja hakim memutuskan dr Iam tidak bersalah. Aku memang pernah mengatakan hal itu pada mereka.

Namun hal itu tidak sampai terjadi. Pengadilan menyatakan, apa yang dilakukan dr Iam terhadapku, benar malapraktik. Syukur kupanjatkan saat kudengar ketukan palu Ketua Majelis Hakim, Aswan Nurcahyo. RS Budhi Jaya dinyatakan bersalah karena tidak hati-hati menangani pasiennya. Karena kesalahannya, RS Budhi Jaya diminta membayar ganti immateriil sebesar Rp 500 juta tunai dan biaya ganti rugi selama pengobatan Rp 292.897.650.

Itulah pernyataan yang kutunggu selama 9 tahun. Aku benar-benar lega. Biar semua orang melihat, termasuk keluargaku, bahwa perjuanganku ini bukanlah sesuatu yang sia-sia dan memalukan.Ester Sondang