Aku berusaha untuk tahu apa saja yang ia lakukan. Aku juga selalu menolak kalau ia mau datang menjenguk setiap kali aku dirawat. Alasannya sederhana, aku tak mau tambah lemas setiap kali melihat dia di sampingku. Soalnya, biasanya ia cuma duduk di kursi tunggu dan menangis. Gimana aku malah tak tambah lemas? Makanya aku selalu bilang ke dia, "Adek tak usah datang. Kuliah saja baik-baik dan bantu Mama dengan doa." Anakku memang sangat sensitif.
Sejak 2006 aku juga pindah ke Jakarta untuk perawatan. Beruntung, keluarga besarku mendukungku, baik moril maupun materiil. Untuk biaya hidup, aku juga punya kontrakan di Jayapura. Sekarang, kondisiku lumayan membaik, meskipun aku masih tetap minum kortikosteroid, meskipun dosisnya sekarang rendah.
Setiap kali ada keluhan, aku langsung datang ke Prof. Zubairi. Walaupun dosisnya rendah, kortikosteroid masih pakai. Aku sempat mengalami moon face akibat konsumsi kortikosteroid. Berat badanku pernah naik sampai 61 kg, dari sebelumnya cuma 45 kg. Syukurlah, seiring penurunan dosis, berat badanku perlahan kembali turun ke 51 kg.
Tapi, kondisi keseluruhan aku merasa fit. Kulitku memang masih bermasalah. Serba salah, kalau panas badan gatal-gatal, juga masih muncul benjolan. Makanan juga dikontrol karena lupus juga membuatku hiperalergi. Satu lagi, aku tak boleh stres. Stres itu pemicu utama.
Aku juga sudah lebih bisa membaca tubuh. Dulu tak ada bayangan sama sekali tentang penyakit lupus. Setelah banyak membaca dan aktif di Yayasan Lupus Indonesia (YLI), aku jadi lebih banyak punya pengalaman untuk menghandle lupusku. Lupus memang tak bisa disembuhkan tapi bisa dikontrol. Kuncinya, rajin kontrol dan menghindari pemicu.
Ya, setahun terakhir aku memang aktif di YLI yang Sekretariatnya di RS Kramat 128. Setiap hari Senin dan Kamis aku selalu standby di RS sampai tengah malam. Tugasku mengunjungi pasien lupus, memberi mereka pengertian dan menularkan semangat. Setiap penderita lupus baru biasanya memang masih menolak (denial) penyakit satu ini. Akupun dulu begitu. Menangis sampai mata bengkak. Tapi setelah itu, aku bangkit. Aku pasrah dan banyak berdoa. Pasrah itulah yang membuatku tenang.Hasto Prianggoro
Foto : Daniel Supriyono