Adik dan kakakku kemudian mencari informasi, ke teman-teman maupun browsing di internet. Sampai kemudian ada yang memberi nama RS Kramat 128, Jakarta .
Akupun segera ke RS Kramat 128. Tadinya cuma mau konsultasi. Tapi karena kondisiku yang buruk, aku langsung dianjurkan dirawat. Akupun mulai rawat inap 3 November 2006 .
Di RS Kramat 128, aku dihandle langsung oleh Prof. Dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD. Beliau adalah dokter penyakit dalam yang juga pemerhati penyakit lupus. Satu bulan pertama, aku sangat tergantung pada oksigen. Napasku masih sesak. Bicara 2 kalimat, sesaknya bisa 1-2 jam. Jalan 2 langkah, jatuh, atau malah pingsan. Tapi karena sudah sering seperti itu, lama-lama aku anggap biasa.
Waktu aku masuk ke RS Kramat 128, hasil tes masih menunjukkan aku negatif lupus. Setelah Prof. Zubairi menganalisa rekam medisku, aku diberi surat pengantar untuk tes biopsi. Barulah akhirnya ketahuan aku terkena lupus kulit (diskoid). Katanya, itu jenis lupus yang paling ringan.
Seperti yang sudah kuceritakan, kulitku sangat sensitif. Aku hanya pergi ke luar rumah kalau cuaca mendung. Itupun dengan syarat melihat kondisi badan dulu. Kalau pas cuaca panas, aku harus naik taksi berpendingin atau pakai payung. Begitupun kalau cuaca dingin, atau berada di ruangan berpendingin, sesak napasku pasti keluar. Aku memilih menghindar atau pakai jaket tebal. Tak heran, di tasku selalu tersedia jaket dan payung.
Rupanya, lupus yang mendekam di tubuhku merembet kemana-mana. Aku sempat terkena usus buntu dan kanker limfoma. Ketahuan bulan April 2008, aku sempat dikemo sampai akhir Agustus 2008 lalu. Setiap habis kemo, lupusku pasti kumat. Sakit kepala hebat, nyeri, sesak napas, pokoknya semua keluar. Tapi syukurlah setelah selesai kemo sampai sekarang, aku merasa jauh lebih fit.
Aktif Di Yayasan Oh ya, aku seorang single parent. Anakku satu-satunya laki-laki, usianya 20 tahun dan sekarang kuliah di Bandung. Papanya pergi ke AS waktu ia berumur 1,2 tahun. Waktu aku mulai sakit-sakitan, ia masih SMP. Meskipun kondisiku sakit, aku selalu berusaha mendampinginya setiap saat.
Aku berusaha untuk tahu apa saja yang ia lakukan. Aku juga selalu menolak kalau ia mau datang menjenguk setiap kali aku dirawat. Alasannya sederhana, aku tak mau tambah lemas setiap kali melihat dia di sampingku. Soalnya, biasanya ia cuma duduk di kursi tunggu dan menangis. Gimana aku malah tak tambah lemas? Makanya aku selalu bilang ke dia, "Adek tak usah datang. Kuliah saja baik-baik dan bantu Mama dengan doa." Anakku memang sangat sensitif.
Sejak 2006 aku juga pindah ke Jakarta untuk perawatan. Beruntung, keluarga besarku mendukungku, baik moril maupun materiil. Untuk biaya hidup, aku juga punya kontrakan di Jayapura. Sekarang, kondisiku lumayan membaik, meskipun aku masih tetap minum kortikosteroid, meskipun dosisnya sekarang rendah.
Setiap kali ada keluhan, aku langsung datang ke Prof. Zubairi. Walaupun dosisnya rendah, kortikosteroid masih pakai. Aku sempat mengalami moon face akibat konsumsi kortikosteroid. Berat badanku pernah naik sampai 61 kg, dari sebelumnya cuma 45 kg. Syukurlah, seiring penurunan dosis, berat badanku perlahan kembali turun ke 51 kg.
Tapi, kondisi keseluruhan aku merasa fit. Kulitku memang masih bermasalah. Serba salah, kalau panas badan gatal-gatal, juga masih muncul benjolan. Makanan juga dikontrol karena lupus juga membuatku hiperalergi. Satu lagi, aku tak boleh stres. Stres itu pemicu utama.
Aku juga sudah lebih bisa membaca tubuh. Dulu tak ada bayangan sama sekali tentang penyakit lupus. Setelah banyak membaca dan aktif di Yayasan Lupus Indonesia (YLI), aku jadi lebih banyak punya pengalaman untuk menghandle lupusku. Lupus memang tak bisa disembuhkan tapi bisa dikontrol. Kuncinya, rajin kontrol dan menghindari pemicu.
Ya, setahun terakhir aku memang aktif di YLI yang Sekretariatnya di RS Kramat 128. Setiap hari Senin dan Kamis aku selalu standby di RS sampai tengah malam. Tugasku mengunjungi pasien lupus, memberi mereka pengertian dan menularkan semangat. Setiap penderita lupus baru biasanya memang masih menolak (denial) penyakit satu ini. Akupun dulu begitu. Menangis sampai mata bengkak. Tapi setelah itu, aku bangkit. Aku pasrah dan banyak berdoa. Pasrah itulah yang membuatku tenang.Hasto Prianggoro
Foto : Daniel Supriyono