Saat ini aku tengah melirik pasar di beberapa daerah seperti Sulawesi, Balikpapan, Samarinda, Banjarmasin, Bali, Lombok, dan Lampung. Aku memilih Indoensia bagian timur karena di sana lebih menjanjikan. Selain itu, untuk menghadapi MEA, aku tidak menggunakan jasa tenaga asing. Aku mengandalkan orang lokal. Selain meningkatkan peeekonomian warga sekitar, juga untuk meningkatkan potensi tenaga kerja asli Indonesia, terutama saat MEA. Tenaga kerja Indonesia juga tidak kalah dari asing lho. Malah, tenaga kerja kita lebih kreatif.
Sejarah Sepatu
Omong-omong soal sepatu, aku sendiri memang sangat suka sepatu sejak kecil. Waktu masih kecil, aku sering berkeliling mencari sepatu sendiri. Kadang bersama teman-teman melihat-lihat toko sepatu. Lokasi favoritku adalah daerah Nonongan, Coyudan, Solo. Di daerah ini aku bisa mencari sepatu bagus, bahkan waktu itu ada sepatu yang bisa menyala sangat indah. Kereen. Setelah melihat-lihat sepatu, biasanya aku mengumpulkan uang dari uang jajanku untuk membeli sepatu itu.
Aku memang terbiasa membeli sepatu dari hasil uang yang kukumpulkan sendiri. Ada rasa berbeda ketika aku membeli dari uang yang kukumpulkan dibanding pemberian orang lain. Sepatu itu kubeli dengan harga 120 ribu. Zaman dulu, harga segitu sudah paling mahal. Rasanya puas bisa membeli dari uang sendiri. Bagaimana tidak, uang itu kukumpulkan sedikit demi sedikit.
Sepatu bagiku adalah cerita dan sejarah. Sepatu tidak hanya pelindung kaki tapi saat ini sudah menjadi sandang layaknya pakaian. Kebutuhan akan sepatu juga meningkat seiring kebutuhan. Misalnya sepatu untuk kerja, sepatu untuk pergi atau bersantai. Bagiku sepatu selalu memiliki sejarah dan kenangan. Makanya aku selalu bilang ke teman dan keluarga, janganlah sepatu itu dibuang. Lebih baik diberikan kepada orang yang membutuhkan. Jika rusak diperbaiki, karena setiap sepatu memiliki ceritanya masing masing.
Contohnya, sepatu Vans sk8-Hi Pendleton milikku. Sepatu itu punya cerita sendiri. Aku sangat menginginkan sepatu itu sejak tahun 2010, dan baru kesampaian membeli sepatu itu tahun 2014 lalu. Aku menantikan sepatu itu hingga 4 tahun lamanya. Dan, sepatu itu mengiringi sejarah perjalanan hidupku. Sepatu itu kupakai saat prosesi pernikahan, sepatu itu juga menjadi saksi saat aku disumpah menjadi dokter. Sepatu itu juga mengiringi kesuksesanku saat aku pergi ke Singapura untuk menerima Award dan mendapat mitra di sana. Aku membeli sepatu itu dengan harga Rp2,5 juta, langsung dari Amerika.
Karena itu, hargai sepatu karena telah memberimu kenangan hidup. Sepatu selalu punya cerita dan sejarahnya sendiri.
Indahnya Berbagi
Kini, selain sibuk mengurus SAC, aku juga sibuk menjadi dokter internship atau magang di RS UGM per 1 Juni lalu. Mungkin banyak orang tanya, kenapa aku masih ingin jadi dokter sementara usaha SAC sudah besar. Kujawab bahwa cita-citaku sejak aku kecil adalah menjadi dokter. Membuka usaha awalnya hanya karena kondisi semata.
Ya, selain sepatu, hal lain yang menjadi obsesiku adalah menjadi dokter. Apalagi, saat itu bisa kuliah di FH UGM di daerahku sangat langka dan sulit. Dua cita-citaku itu sekarang sudah berhasil kugapai, aku jadi pengusaha jasa sepatu dan juga dokter.
SAC muncul karena kebutuhanku yang tidak tercukupi waktu itu. Jika dilihat, gaji dokter itu antara Rp2,4 sampai Rp3,3 juta, tapi ada seminar, buku, alat, penelitian, bensin, makan ditambah aku punya keluarga juga. SCA untuk memenuhi kebutuhanku, sementara profesi dokter untuk membantu mereka yang sakit. Aku tidak ingin menghasilkan uang dari orang sakit. Jadi, SAC adalah tempat untuk berbagi.
Niat berbagi kuterapkan dalam usahaku. Setiap 3-6 bulan, kuajak timku berbagi dengan anak yatim piatu di panti asuhan. Kupilih panti asuhan karena aku teringat temanku yang tidak punya orangtua. Kulihat ia kesusahan memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu aku ingin berbagi dengan mereka yang sudah ditinggalkan bapak dan ibunya. Ada kebahagiaan tersendiri saat kuhabiskan waktu bersama mereka.