Tirta Mandira Hudhi (2): Sukses Membuka Gerai di Singapura

By nova.id, Jumat, 1 Juli 2016 | 04:01 WIB
Tirta mandira Hudi (nova.id)

Tabloidnova.com -Setelah sukses di dalam negeri, Tirta membuka gerai di Singapura, bekerjasama dengan mitra lokal. Kini, ia punya 20 gerai, di dalam dan luar negri. Selain berbisnis, ia tetap menjalani passionnya sebagai seorang dokter.

Setelah terkenal di Google, kuberanikan diri mengumpulkan uang dan merantau ke Jakarta. Kepindahanku ke Jakarta itu mengubah SAC selama ini. Sebab, bisa dibilang orang Jakarta juga kaget dengan usaha seperti ini. Aku pun belajar lagi. Kesuksesan di Yogya kuterapkan di Jakarta dengan membuat Jakarta Free Wash. Benar, waktu itu SAC kembali booming.

Saat ini aku memiliki 20 gerai di Indonesia yaitu di Solo, Jakarta Selatan, Tangerang, Bandung, Medan, Palembang, Semarang, Depok dan satu di Singapura. Dari 20 gerai itu, 75% milik sendiri, sisanya yag seperempat milik mitra, salah satunya SAC Singapura.

Aku memilih tidak memakai sistem franchise. Soalnya, aku tidak rela ilmu yang kudapatkan hanya dihargai materi senilai X sementara aku tidak terlibat di dalamnya. Itu bukan sistem atau hubungan yang kutanamkan dengan relasi atau mitraku.

Awalnya aku tidak menyangka bisa membuka usaha di Singapura. Sebab, Singapura jelas berbeda dengan Indonesia. Jika ingin punya bisnis di Singapura, kita harus punya mitra di sana. Sebab, aturan di Singapura mensyaratkan warga lokal-lah yang memiliki izin usaha. Aku sangat beruntung bisa memiliki gerai di sana. Impianku, punya gerai di seluruh Asia.

Pengusaha Otodidak

Gerai di Singapura berawal ketika salah satu perusahaan besar dunia pembersih sepatu, Saphir, dari Paris datang ke Singapura. Dan aku diundang sebagai satu-satunya pengusaha otodidak yang memenuhi standar mereka. Awardnya, aku dan timku mendapat pelatihan di Singapura. Aku juga diundang oleh Asosiasi Komunitas Sepatu se-Asia Pasifik di Singapura. Aku bingung juga sebetulnya. Pengusaha sepatu di Indonesia banyak, tapi kenapa kok aku yang dipilih mewakili Indonesia.

Saat itulah aku bertemu dengan mitraku di Singapura bernama Jans Abdullah. Saat masuk Singapura pun kami menjadi viral, karena ada media lokal yang meliput. Kulihat warga Singapura sangat menghormati warga Indonesia dengan adanya jasa kreatif seperti Shoes And Care ini. 

Bisa dibilang, saat ini orderan paling banyak di luar negeri datang dari Singapura, meski aku juga masih sering mendapat orderan dari Eropa seperti Belanda, Jerman (Berlin dan Koln), Australia (Brisbane), Hongkong, Jepang dan Amerika (San Fransisco). Mereka mengirim sepatu ke SAC, baik di Indonesia atau di Singapura, lalu kami kerjakan di Indonesia. Setelah selesai, kami kirim lagi sepatu itu ke mereka.

Biasanya mereka mengirim sepatu saat mereka berlibur di Bali, setelah selesai kami kirim balik ke mereka. Rata-rata per orang bisa menitipkan 4-5 sepatu. Kalau dihitung, tentu ongkirnya lebih mahal dari biaya perawatannya. Ongkos perawatan hanya 10 Euro, ongkirnya bisa 40 Euro. Kenapa mereka mau begitu? Ternyata, di Jerman misalnya, ongkos perawatan sepatu bisa mencapai 300 Euro atau Rp3 juta! Bagi mereka, biaya itu terlalu mahal. Tak heran banyak yang mengirimkan sepatunya ke SAC.

Bagi orang asing, perawatan sepatu memiliki standar. Dan aku sudah berusaha mencapai standar mereka. Memang kita tidak memiliki bahan seperti di luar negeri. Tapi dengan belajar dan meracik sendiri bahan yang tersedia di pasaran Indonesia, akhirnya aku bisa memenuhi standard mereka. Penghargaan dari Saphir membuktikan bahwa SDM kita tidak kalah dengan SDM luar negeri.

Aku memanfaatkan ilmu kimia yang kudapatkan waktu SMA dan kuliah, ditambah dukungan dari tim kreatif SAC. Selain itu, aku juga belajar dari YoutubeGoogle dan Youtube menjadi teman ilmuku. Dari situlah aku bisa memenuhi standard mereka.  Ternyata orang luar negeri mengakui kemampuanku merawat sepatu, kok. Dan mereka menghargaiku sebagai orang Indonesia yang belajar secara otodidak namun berkelas.

Saat ini aku tengah melirik pasar di beberapa daerah seperti Sulawesi, Balikpapan, Samarinda, Banjarmasin, Bali, Lombok, dan Lampung. Aku memilih Indoensia bagian timur karena di sana lebih menjanjikan. Selain itu, untuk menghadapi MEA, aku tidak menggunakan jasa tenaga asing. Aku mengandalkan orang lokal. Selain meningkatkan peeekonomian warga sekitar, juga untuk meningkatkan potensi tenaga kerja asli Indonesia, terutama saat MEA. Tenaga kerja Indonesia juga tidak kalah dari asing lho. Malah, tenaga kerja kita lebih kreatif.

Sejarah Sepatu

Omong-omong soal sepatu, aku sendiri memang sangat suka sepatu sejak kecil. Waktu masih kecil, aku sering berkeliling mencari sepatu sendiri. Kadang bersama teman-teman melihat-lihat toko sepatu. Lokasi favoritku adalah daerah Nonongan, Coyudan, Solo. Di daerah ini aku bisa mencari sepatu bagus, bahkan waktu itu ada sepatu yang bisa menyala sangat indah. Kereen. Setelah melihat-lihat sepatu, biasanya aku mengumpulkan uang dari uang jajanku untuk membeli sepatu itu.

Aku memang terbiasa membeli sepatu dari hasil uang yang kukumpulkan sendiri. Ada rasa berbeda ketika aku membeli dari uang yang kukumpulkan dibanding pemberian orang lain. Sepatu itu kubeli dengan harga 120 ribu. Zaman dulu, harga segitu sudah paling mahal. Rasanya puas bisa membeli dari uang sendiri. Bagaimana tidak, uang itu kukumpulkan sedikit demi sedikit.

Sepatu bagiku adalah cerita dan sejarah. Sepatu tidak hanya pelindung kaki tapi saat ini sudah menjadi sandang layaknya pakaian. Kebutuhan akan sepatu juga meningkat seiring kebutuhan. Misalnya sepatu untuk kerja, sepatu untuk pergi atau bersantai. Bagiku sepatu selalu memiliki sejarah dan kenangan. Makanya aku selalu bilang ke teman dan keluarga, janganlah sepatu itu dibuang. Lebih baik diberikan kepada orang yang membutuhkan. Jika rusak diperbaiki, karena setiap sepatu memiliki ceritanya masing masing.

Contohnya, sepatu Vans sk8-Hi Pendleton milikku. Sepatu itu punya cerita sendiri. Aku sangat menginginkan sepatu itu sejak tahun 2010, dan baru kesampaian membeli sepatu itu tahun 2014 lalu. Aku menantikan sepatu itu hingga 4 tahun lamanya. Dan, sepatu itu mengiringi sejarah perjalanan hidupku. Sepatu itu kupakai saat prosesi pernikahan, sepatu itu juga menjadi saksi saat aku disumpah menjadi dokter. Sepatu itu juga mengiringi kesuksesanku saat aku pergi ke Singapura untuk menerima Award dan mendapat mitra di sana. Aku membeli sepatu itu dengan harga Rp2,5 juta, langsung dari Amerika.

Karena itu, hargai sepatu karena telah memberimu kenangan hidup. Sepatu selalu punya cerita dan sejarahnya sendiri.

Indahnya Berbagi

Kini, selain sibuk mengurus SAC, aku juga sibuk menjadi dokter internship atau magang di RS UGM per 1 Juni lalu. Mungkin banyak orang tanya, kenapa aku masih ingin jadi dokter sementara usaha SAC sudah besar. Kujawab bahwa cita-citaku sejak aku kecil adalah menjadi dokter. Membuka usaha awalnya hanya karena kondisi semata.

Ya, selain sepatu, hal lain yang menjadi obsesiku adalah menjadi dokter. Apalagi, saat itu bisa kuliah di FH UGM di daerahku sangat langka dan sulit. Dua cita-citaku itu sekarang sudah berhasil kugapai, aku jadi pengusaha jasa sepatu dan juga dokter.

SAC muncul karena kebutuhanku yang tidak tercukupi waktu itu. Jika dilihat, gaji dokter itu antara Rp2,4 sampai Rp3,3 juta, tapi ada seminar, buku, alat, penelitian, bensin, makan ditambah aku punya keluarga juga.  SCA untuk memenuhi kebutuhanku, sementara profesi dokter untuk membantu mereka yang sakit. Aku tidak ingin menghasilkan uang dari orang sakit. Jadi, SAC adalah tempat untuk berbagi.

Niat berbagi kuterapkan dalam usahaku. Setiap 3-6 bulan, kuajak timku berbagi dengan anak yatim piatu di panti asuhan. Kupilih panti asuhan karena aku teringat temanku yang tidak punya orangtua. Kulihat ia kesusahan memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu aku ingin berbagi dengan mereka yang sudah ditinggalkan bapak dan ibunya. Ada kebahagiaan tersendiri saat kuhabiskan waktu bersama mereka.

SAC bisa besar seperti saat ini adalah karena faktor luck. Keberuntungan itu datang saat saya terpuruk dan kesusahan. Jadi, berbagi adalah penanda bahwa kita tidak hidup sendiri dan harus selalu ingat kepada Allah SWT. Aku ingin timku juga tahu dan merasakan itu.

Bermain Musik

Anak buah atau timku memang tidak semuanya lulusan sarjana. Mayoritas justru anak jalanan dan anak putus sekolah. Total, saat ini ada 82 karyawan yang terhitung tidak lulus SMA. Aku memilih mereka karena sudah menjadi niat pribadiku, ingin memberikan kesempatan bagi orang-orang yang tidak bisa bekerja kantoran.

Di Jakarta, tujuh karyawanku adalah anak jalanan. Ceritanya, suatu ketika aku sedang membersihkan sepatu di gerai dan melihat anak-anak jalanan nongkrong. Memang, sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk nongkrong dan tawuran saja.  Lalu, kudekati mereka dan kutawarkan uang namun harus bekerja dulu. Walaupun susah mendidik mereka, namun lambat laun mereka paham dan tahu cara membersihkan sepatu dengan standar SAC. 

Di Yogyakarta, aku juga salut pada timku. Mereka tidak lulus kuliah tapi bisa menemukan reaksi kimia, yang akhirnya kugunakan untukmembersihkan sepatu sesuai standard eropa. Saat ini, aku pelan-pelan menggunakan jasa anak-anak kuliah. Perusahaan ini sudah besar, jadi kukontrak mereka, fresh graduate,  untuk membantu di bagian tertentu seperti accounting dan finance.

Salah satu hobiku yang lain adalah bermain musik. Musik cukup membuatku relaks, terlebih musik pop rock yang selalu membuatku bersemangat mencari ide-ide liar. Aku juga punya band yang hanya memainkan akustik.

Pertemuanku dengan istri, Medisca Rhoza, juga membawa cerita tersendiri. Istriku satu angkatan denganku di FK UGM. Namun begitu aku baru benar-benar ketemu intens saat koas kedokteran. Aku tidak tahu kenapa aku yakin memilih dia untuk menjadi ibu dari anakku yang saat ini sedang ia kandung. Setelah bertemu di koas kurang lebih 2 minggu, kuputuskan untuk menikahinya.

Ya, hanya dua minggu, aku langsung melamarnya. Tentu tidak ada masa pacaran. Justru pacaran setelah aku menikah. Aku hanya berharap keluargaku nanti menjadi keluarga bahagia yang bermanfaat bagi sesama dan agama.

Rubiya Alkhalida Aisyazani