Lulus TK di usia 6 tahun, Odil siap masuk SD. Kami memilih sekolah yang memiliki kelas inklusi. Ketika mendaftar, pihak sekolah bertanya selain speech delay apakah Odil down syndrome atau autisme. Mereka harus tahu supaya penganangannya tepat. Ketika tes masuk, Odil bisa menyelesaikan tes yang diberikan, sekolah juga bingung Odil mau dimasukkan kelas yang mana. Untuk itu sekolah minta aku mencari tahu apa yang dialami Odil.
Sampai suatu ketika Odil demam. Kubawa dia ke Rumah Sakit dan dokter yang memeriksa bertanya apakah Odil sudah dibersihkan telinganya? Karena lubang telinganya kecil, Odil dirujuk ke THT untuk dibersihkan. Ketika di THT enggak ada omongan apa-apa juga. Tiga hari kemudian Odil demam lagi dan dokter bilang dia agak khawatir dengan telinganya. Soalnya, menurut dokter, panas tubuh itu bisa keluar dari pori-pori kulit atau telinga.
Dokter lantas menyarankan agar aku membawa Odil ke RSCM untuk menjalani tes BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) untuk memeriksa respons elektrofisiologis saraf pendengaran sampai batang otak dengan memberikan rangsangan bunyi.
Di RSCM ternyata pasien yang antre panjang. Kami harus menunggu sampai sekitar dua bulan untuk dapat giliran. Dokter mengatakan anakku terkena TCS. Di situ aku, yang baru pertamakali mendengar soal TCS, kaget dan jelas awalnya aku menyangkal. “Enggak mungkin banget anakku bisa kena TCS!”.
Lalu, kenapa baru ketahuan ketika Odil sudah berusia 6 tahun? Kenapa harus selama ini enggak terlihat. Pantas dia mengalami speech delay, enggak merangkak dan sering tersedak. Ternyata, di telinganya ada banyak saraf yang berhubungan dengan keseimbangan dalam berjalan. Karena sering kesedak saat makan atau minum, makanya dia juga kurus.
Selama mendengar penjelasan dokter, aku pasrah, enggak tahu juga harus bagaimana dan berbuat apa. Dari penjelasan itu, kusimpulkan bahwa anak-anak dengan kelainan genetik tidak diarahkan untuk sembuh tapi berusaha mengoptimalkan apa yang dia miliki. Aku sempat tanya apakah bisa dioperasi? Kata dokter bisa tapi prosesnya panjang dan berkali-kali. Bahkan dalam hitungannya, beragam operasi itu akan selesai sampai Odil berusia 20 tahun.
Pendengarannya pun bisa diperbaiki dengan operasi, namun harus dipikirkan pula risiko dan benefit-nya. Lebih baik membeli alat bantu dengar daripada operasi. Selain biayanya lebih murah, Odil terhindar dari operasi yang berkali-kali dan sakit. Sesuai tes BERA, Odil mengalami hearing loss severe atau berat. Tapi kenapa dia bisa berbicara, ternyata dia bisa membaca gerakan bibir, Odil cerdas!
Menutup Diri
Ketika kepalanya diperiksa lewat MRI, ternyata Odil mengalami kondisi microcephaly yaitu kepalanya berukuran lebih kecil dari kepala anak-anak lain. Tapi dari pemeriksaan itu diketahui pula bahwa otaknya berkembang dengan bagus. Di situ aku seakan mendapat semangat yang memotivasiku untuk mengejar ketertinggalan Odil selama ini. Aku mulai ngajarin dia ngomong, meski susah karena sudah melewati masa emas pertumbuhannya.
Sejak mengetahui Odil TCS, aku agak menutup diri dari lingkungan dan teman-teman, lebih karena malu. Bahkan, orangtua pun enggak berani kukasih tau secara langsung karena aku takut. Aku juga enggan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan keluar ketika aku memberitahukan kondisi Odil. Lebih-lebih pertanyaan seperti, “Siapa yang mewariskan kelainan genetik ini?”
Aku dan suami juga sempat saling bertanya. Hubungan kami bahkan sempat menegang. Sampai akhirnya kami sepakat untuk move on. Aku enggak mau disalahkan dan menyalahkan suami. Yang paling penting adalah menyayangi dan menyiapkan Odil agar mandiri dan mampu mengoptimalkan kelebihannya.
Untuk membesarkan Odil, bukan hanya tugas aku dan suami. Kami butuh dukungan keluarga. Tidak perlu saling menyalahkan, sama-sama bantu Odil agar semakin percaya diri. Move on, membesarkan Odil apapun kondisinya. Kami orangtua terpilih dengan anak istimewa.