Tabloidnova.com - Dunia sempurna yang ada di sekelilingnya seakan runtuh ketika putrinya, Odilia Queen Lyla (7), diketahui memiliki kelainan langka bernama Treacher Collins Syndrome (TCS). Akibatnya, Yola Tsagia (33) sempat menutup diri dari pergaulan. Malu menjadi alasannya menutup diri. Lalu, apa yang kemudian membuat bungsu dari dua bersaudara ini bangkit dari keterpurukan?
Treacher Collins Syndrome (TCS) adalah kelainan langka dimana si penderita memiliki wajah yang khas seperti penderita down syndrome. TCS memiliki mata yang turun dan kepala kecil. Kerusakannya ada di kranial facial, yaitu bagian depan tengkorak sampai leher. Kemudian ada atresia dan microtia, yaitu kondisi kupingnya yang tidak terbentuk.
Namun, untuk Odil, kupingnya terbentuk. Hanya saja telinga bagian tengahnya tertutup akibat lubangnya kecil. Jadinya, Odil mengalami hearing loss (kehilangan pendengaran - Red.). Kemudian dalam pertumbuhannya, TCS tidak ada tulang pipi atau zygoma.
Akibatnya, ia sering sesak napas karena sistem pernapasannya terganggu akibat wajahnya yang kecil. Ditambah dengan kondisi high arched palate atau langit-langit mulut tinggi. Tak heran ketika minum susu atau makan Odil kadang tersedak. TCS merupakan kelainan genetika yang diwariskan orangtua kepada anaknya. Tetapi, ada penelitian yang mengatakan bahwa 40 persen kasus TCS diturunkan dan 60 persen akibat mutasi sendiri.
Ketika tahun 2008 hamil Odil, aku rajin memeriksakan kandungan dan meminum vitamin yang diberikan dokter. Pada minggu pertama kehamilan, ada flek sehingga aku memutuskan berhenti bekerja. Usia 36 minggu, aku mengalami pecah ketuban. Odil lahir 8 Desember 2008, prematur, berat 2.350 gram dan panjang 45 sentimeter. Proses persalinannya bisa dibilang lancar karena berjalan normal dan tak butuh waktu lama. Aku masuk Rumah Sakit jam 10 malam dan jam 6 pagi Odil lahir.
Belum terlihat ada sesuatu yang berbeda pada Odil, karena prematur dia sempat masuk NICU. Kami baru pulang setelah Odil dirawat selama 5 hari, kondisinya bagus menurut dokter. Odil enggak bisa minum susu secara langsung, jadi aku kasih ASIP. Saat minum sering keselek, tapi kami belum menganggap itu masalah serius. Ketika dikonsultasikan dengan dokter, pun enggak bilang apa-apa.
Bahkan ketika di usia 5 bulan Odil tak kunjung merangkak, dokter bilang enggak apa-apa. Ketika berusia 1 tahun lebih Odil belum bisa jalan, duduk bisa, tegak kepala juga bisa. Makan MPASI masih agak kesedak, tapi tetap kami enggak kepikiran ada apa-apa dengan Odil.
Semakin usianya bertambah, semakin terbentuk wajah TCS-nya. Usia dua tahun dia belum bisa jalan, tapi sudah bisa merambat. Aku sempat berpikir bahwa mungkin ada sesuatu dengan Odil, tapi dalam hati terus menyangkal dan menganggap perkembangannya terlambat saja. Ketika lepas ASI eksklusif, aku mulai bekerja lagi.
Perkembangan yang dialami Odil pada usia 3 tahun juga tidak besar. Odil belum bisa ngomong banyak. Aku kemudian coba memeriksakan kondisi Odil pada dokter berbeda. Dokter yang memeriksa mengatakan mungkin Odil mengalami speech delay sehingga harus mengikuti terapi wicara.
Terapi Dihentikan
Sebelum menjalani terapi, Odil harus menjalani tes. Hasilnya, Odil dinyatakan memiliki kemampuan yang tidak setara dengan anak seusianya. Kemampuan Odil lebih muda dari usianya. Setahun menjalani terapi, terpaksa kami hentikan karena kehabisan biaya. Pasalnya, Odil harus ikut terapi sensor integrasi dan terapi wicara, satu kali terapi satu juta. Lumayan juga kan, biayanya?
Sejak mengikuti terapi, ada banyak perkembangan yang dialami Odil. Hanya saja, di usianya yang ketika itu 5 tahun, belum banyak kosakata yang dikuasai Odil. Seiring dengan bertambahnya usia, wajahnya juga semakin berubah. Tanda-tanda TCS semakin tegas terlihat, namun saya belum tahu jika itu dinamakan TCS.
Lulus TK di usia 6 tahun, Odil siap masuk SD. Kami memilih sekolah yang memiliki kelas inklusi. Ketika mendaftar, pihak sekolah bertanya selain speech delay apakah Odil down syndrome atau autisme. Mereka harus tahu supaya penganangannya tepat. Ketika tes masuk, Odil bisa menyelesaikan tes yang diberikan, sekolah juga bingung Odil mau dimasukkan kelas yang mana. Untuk itu sekolah minta aku mencari tahu apa yang dialami Odil.
Sampai suatu ketika Odil demam. Kubawa dia ke Rumah Sakit dan dokter yang memeriksa bertanya apakah Odil sudah dibersihkan telinganya? Karena lubang telinganya kecil, Odil dirujuk ke THT untuk dibersihkan. Ketika di THT enggak ada omongan apa-apa juga. Tiga hari kemudian Odil demam lagi dan dokter bilang dia agak khawatir dengan telinganya. Soalnya, menurut dokter, panas tubuh itu bisa keluar dari pori-pori kulit atau telinga.
Dokter lantas menyarankan agar aku membawa Odil ke RSCM untuk menjalani tes BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) untuk memeriksa respons elektrofisiologis saraf pendengaran sampai batang otak dengan memberikan rangsangan bunyi.
Di RSCM ternyata pasien yang antre panjang. Kami harus menunggu sampai sekitar dua bulan untuk dapat giliran. Dokter mengatakan anakku terkena TCS. Di situ aku, yang baru pertamakali mendengar soal TCS, kaget dan jelas awalnya aku menyangkal. “Enggak mungkin banget anakku bisa kena TCS!”.
Lalu, kenapa baru ketahuan ketika Odil sudah berusia 6 tahun? Kenapa harus selama ini enggak terlihat. Pantas dia mengalami speech delay, enggak merangkak dan sering tersedak. Ternyata, di telinganya ada banyak saraf yang berhubungan dengan keseimbangan dalam berjalan. Karena sering kesedak saat makan atau minum, makanya dia juga kurus.
Selama mendengar penjelasan dokter, aku pasrah, enggak tahu juga harus bagaimana dan berbuat apa. Dari penjelasan itu, kusimpulkan bahwa anak-anak dengan kelainan genetik tidak diarahkan untuk sembuh tapi berusaha mengoptimalkan apa yang dia miliki. Aku sempat tanya apakah bisa dioperasi? Kata dokter bisa tapi prosesnya panjang dan berkali-kali. Bahkan dalam hitungannya, beragam operasi itu akan selesai sampai Odil berusia 20 tahun.
Pendengarannya pun bisa diperbaiki dengan operasi, namun harus dipikirkan pula risiko dan benefit-nya. Lebih baik membeli alat bantu dengar daripada operasi. Selain biayanya lebih murah, Odil terhindar dari operasi yang berkali-kali dan sakit. Sesuai tes BERA, Odil mengalami hearing loss severe atau berat. Tapi kenapa dia bisa berbicara, ternyata dia bisa membaca gerakan bibir, Odil cerdas!
Menutup Diri
Ketika kepalanya diperiksa lewat MRI, ternyata Odil mengalami kondisi microcephaly yaitu kepalanya berukuran lebih kecil dari kepala anak-anak lain. Tapi dari pemeriksaan itu diketahui pula bahwa otaknya berkembang dengan bagus. Di situ aku seakan mendapat semangat yang memotivasiku untuk mengejar ketertinggalan Odil selama ini. Aku mulai ngajarin dia ngomong, meski susah karena sudah melewati masa emas pertumbuhannya.
Sejak mengetahui Odil TCS, aku agak menutup diri dari lingkungan dan teman-teman, lebih karena malu. Bahkan, orangtua pun enggak berani kukasih tau secara langsung karena aku takut. Aku juga enggan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan keluar ketika aku memberitahukan kondisi Odil. Lebih-lebih pertanyaan seperti, “Siapa yang mewariskan kelainan genetik ini?”
Aku dan suami juga sempat saling bertanya. Hubungan kami bahkan sempat menegang. Sampai akhirnya kami sepakat untuk move on. Aku enggak mau disalahkan dan menyalahkan suami. Yang paling penting adalah menyayangi dan menyiapkan Odil agar mandiri dan mampu mengoptimalkan kelebihannya.
Untuk membesarkan Odil, bukan hanya tugas aku dan suami. Kami butuh dukungan keluarga. Tidak perlu saling menyalahkan, sama-sama bantu Odil agar semakin percaya diri. Move on, membesarkan Odil apapun kondisinya. Kami orangtua terpilih dengan anak istimewa.
Kembali pada hasil konsultasi dengan dokter, Odil harus menggunakan hearing aid bernama BAHA (Bone Ancord Hearing Aid). Aku harus dapat sebelum dia mulai masuk sekolah. Aku pun mulai cari informasi mengenai BAHA. Akhirnya kutemukan di sebuah tempat namun harganya Rp100 juta satu buah dan harus inden. Soalnya mereka akan cari alat itu di Swedia. Karena mahal, aku kemudian bertanya-tanya di komunitas TCS di luar negeri, ternyata ada di Amerika dengan harga satunya Rp50 juta.
Tapi, tidak bisa beli begitu saja karena harus dicek dan disesuaikan ukurannya, seperti kacamata. Belum lagi urusan izin dan sebagainya, akhirnya kami memutuskan beli di toko yang pertama itu meski biayanya besar. Beruntung, ada seorang temanku yang membantu membelikan alat itu. Seorang Bapak yang enggak mau disebutkan namanya memberi Rp60 juta dan aku hanya menambah Rp40 juta.
Kami baru bisa membeli satu dan memasangnya di telinga kanan Odil. Sebuah kenangan berharga ketika aku menyaksikan Odil bisa mendengar untuk pertamakalinya. Odil bengong, dia berucap, “Aku bisa dengar. Aku dengar!” Aku sangat terharu melihatnya, sayangnya enggak aku videoin momen bahagia itu. Precious moment buat aku. Jadi menambah semangat untuk melakukan lebih bagi Odil. Kami berterimakasih sekali dengan donatur tersebut.
Sejak Odil pakai alat itu, aku mulai berpikir untuk terbuka dengan orang akan kondisi Odil. Tanggal 13 September 2015, aku membuat komunitas Love My Face di media sosial, sebagai tempat berbagi segala informasi seputar Odil. Ternyata banyak yang menanggapi positif dan masuklah beberapa orangtua dan dokter yang mau tahu soal TCS atau kelainan langka lain.
Seiring berjalannya waktu, Odil aku maksimalkan dan optimalkan komunikasinya. Setiap hari aku kasih Odil 20 sampai 30 suku kata agar dihapalkan. Aku bikin sendiri gambar dan tulisan, pulang kantor akan kutanya lagi apa yang sudah dia hapal. Sekarang sudah masuk 50 suku kata. Tapi dia masih sulit menyusun kalimat. Malamnya sebelum tidur aku bikin kalimat dan dia harus belajar membacanya.
Mulai Merasa Berbeda
Banyak orang bilang aku terlalu keras. Kasihan Odil. Tapi aku bilang, lebih baik kasihan sekarang daripada kasihan setelah dia dewasa. Kalau aku masih ada, bagaimana kalau sudah tidak ada? Apalagi aku tahu dia punya otak bagus. Saat ini kegiatan Odil, selain menghapal kata, adalah belajar seperti sekolah biasa. Nilai pelajarannya di sekolah bagus, matematika dia bagus, juga kesenian. Dari dulu, Odil suka menari.
Lewat komunitas, aku bisa kenal banyak orang baru dari berbagai latar belakang. Aku senang bisa mengedukasi mereka. Jadi terapi buat aku juga. Aku merasa bahwa orang lain butuh aku. Kemudian 24 September 2015, aku dan dua teman dari komunitas lain memutuskan membuat Komunitas Indonesian Rare Disorders (IRD).
Bertiga kami berharap bisa menggabungkan kekuatan dan menghimpun awereness pemerintah dan masyarakat soal kelainan seperti ini. Karena, jangankan masyarakat umum, banyak pelayan kesehatan seperti dokter yang belum tahu mengenai kelainan langka ini. Februari lalu kami pun menggelar Rare Disease Day di ajang CFD Jakarta.
Ketika masuk SD, Odil sepertinya mulai menyadari jika dirinya berbeda dengan teman-temannya. Akibatnya agak sulit baginya untuk masuk ke lingkungan baru. Bila diajak masuk ke rumah yang belum pernah dikunjunginya, dia enggak mau masuk karena malu. Dia takut jadi pusat perhatian. Kalau ke mal, ada orang melihatnya terus menerus atau ada anak yang tanya kenapa wajahnya seperti itu, Odil langsung sedih.
Untuk membantunya lebih percaya diri, aku selalu memberinya motivasi dan membesarkan hatinya. Ke depannya, sepertinya aku akan membawa Odil ke psikolog.
Disadari, enggak bisa juga menghindari dia dari bully. Jangankan Odil, anak yang normal secara fisik pun sebagian tak lepas dari bully. Tapi paling tidak, aku ingin membuatnya dapat menerima bully dan tahu bagaimana mengatasinya. Bukan hanya tampilan fisiknya. Ada juga yang menertawakan Odil karena kalimat yang diucapkannya tidak baik dan agak aneh. Misalnya, “Mami pergi, ke sana, kantor, enggak?” Aku sendiri pun kadang suka tertawa dibuatnya.
Akhir bulan Juni ini, Odil akan menjalani pemeriksaan mata dan sepertinya akan mulai menemui seorang psikolog. Matanya harus dicek, takut ada sesuatu karena matanya turun. Orbitnya pun terlihat turun. Juga pemeriksaan lain seperti sistem pernapasan karena dia masih suka sesak.
Sejak usia 6 bulan, keringat Odil kadang berlebih. Kalau tidur itu rusuh, pindah-pindah. Padahal kamar tidurnya sudah dingin ber-AC. Ternyata itu karena dia sesak napas, dan kami orangtuanya enggak tahu. Kami disarankan agar Odil tidur dengan posisi miring, meskipun kalau sudah lelap tidur suka berubah. Jadi aku suka mengawasi saat dia tidur, sejam sekali aku bangun memeriksa kondisi Odil.
Punya Adik
Saat ini komunitas IRD sudah memiliki 600 anggota. Bukan hanya orangtua anak dengan kelainan langka, ada pula dokter, pengacara, guru dan lainnya. Di sini kami curhat dan menguatkan satu sama lain, karena memberi dukungan itu penting.
Khusus untuk TCS, di Indonesia, yang baru aku tahu ada lima orang. Salah satunya adalah Mas Budi, tukang parkir di Masjid Sunda Kelapa. Aku ketemu waktu mau nonton di Metropole dan makan di situ. Dengan bertemu Mas Budi, aku merasa enggak sendiri. Aku bisa mendengar bagaimana perjuangannya.
Lewat IRD, saatnya aku edukasi masyarakat supaya meningkatkan awereness dan bisa menerima kelainan langka ini. Bagaimana susahnya mereka untuk sekolah, juga saat mereka masuk dunia kerja. Lewat IRD kami juga minta dukungan pemerintah, seperti dia negara luar yang sudah memberi dukungan untuk rare disorder.
Aku ingin Odil bisa mengenyam pendidikan sampai bangku kuliah. Agar dia tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, tidak menyusahkan orang lain di kemudian harinya. Harapan yang sama juga bagi anggota masyarakat lain yang mengalami kelainan langka lainnya. Agar mereka tidak tergantung dengan orang lain.
Menjadi orangtua yang hebat itu bukan dihasilkan dari kesenangan atau kegembiraan, melainkan oleh tantangan dan airmata. Untuk masyarakat, terimalah anak-anak ini dengan kondisi apapun. Mereka memiliki hak yang sama di mata negara, untuk hidup, bersosialisasi. Biarkan mereka menjadi dirinya sendiri, jangan dipandang sebelah mata dan dikelilingi stigma negatif lain. Harapan lainnya, Odil belum ada adik, aku ingin ia punya teman. Agar ketika dia dewasa nanti, jika kami yang “dipanggil” lebih dulu, Odil punya siblings di sampingnya.
Edwin F. Yusman