Memutus Rantai Obat Palsu

By nova.id, Selasa, 18 Juni 2013 | 04:10 WIB
Memutus Rantai Obat Palsu (nova.id)

Memutus Rantai Obat Palsu (nova.id)
Memutus Rantai Obat Palsu (nova.id)
Memutus Rantai Obat Palsu (nova.id)

""

Tahukah Anda? Apotek di Yogyakarta memakai labelisasi apotek dengan istilah bintang 1 sampai bintang 4. "Dinas Kesehatan DI Yogyakarta sudah melakukan hal itu. Makin banyak bintangnya, apotekernya lebih banyak di apotek dan obat palsu pasti sudah tidak ada. Apotek di Thailand memakai tanda Q yang berarti kualitas," jelas Drs. Nurul Falah Eddy Pariang, Apt., Sekretaris Jenderal Ikatan Apoteker Indonesia.

Mengapa labelisasi ini dilakukan? Pasalnya, Indonesia sedang bertempur melawan peredaran masalah obat palsu. Menurut Widyaretna Buenastuti (39), Ketua MIAP (Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan), pemalsuan obat juga merupakan masalah yang masih dihadapi berbagai negara di dunia. "Target pemalsuan tidak hanya obat merek tertentu. Tapi,  semua jenis obat baik bermerek ataupun obat generik."

Hasil penelitian Victory Project yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) menyatakan 45 persen obat PDE5 Inhibitor (Sildenafil) di Indonesia atau dikenal sebagai obat terapi disfungsi ereksi adalah palsu.  Obat palsu lain yang beredar antara lain obat analgesic, diabetes, dan antiinfeksi.

"Penetrasi penyebaran obat palsu ini bisa menembus ke apotek," ujar Widyaretna. Bayangkan saja, dari 518 jumlah tablet yang  diuji, ditemukan bahwa 100 persen obat palsu jenis PDE5i dijual penjual pinggir jalan, 56 persen di toko obat, 33 persen lewat situs internet, dan 13 persen di apotek.

Obat-obat palsu, termasuk obat tanpa izin edar, bisa masuk melalui penyelundupan atau impor ilegal. "Atau, diproduksi di Indonesia oleh produsen tak resmi. Ini merupakan persoalan berbahaya dan serius," tandas Widyaretna dalam acara "Risiko dan Dampak Zat Berbahaya pada Obat Palsu", beberapa waktu lalu.

DR. Melva Louisa, S.Si, M.Biomed dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menyatakan obat palsu mungkin saja mengandung zat berbahaya atau tidak dibuat sesuai takaran. "Akibatnya pada pengobatan pasien. Misalnya, tidak kunjung sembuh atau resisten terhadap pengobatan hingga kondisi makin memburuk dan bahkan dalam kondisi ekstrem dapat menimbulkan kematian," jelas Melva.

Konsumen pun harus ingat, pemalsuan obat bisa dilakukan dari berbagai cara. Misalnya, mengurangi ukuran, seharusnya 100 mg tapi dibuat di bawah 50 mg. "Isi muatan tidak jelas, pembuatan tanpa standar operasional, air yang dipakai entah apa, dan tumbukan obat yang dipakai mungkin bekas dipakai menumbuk bahan lain," jelas Widyaretna. Dosis yang dikurangi pasti membuat obat tidak efektif saat digunakan untuk pengobatan. Nah, dosis berlebihan pun bisa memberikan efek samping.

Merugi Hingga Tua

Dalam kesempatan terpisah, Widyaretna mengatakan, "Penelitian membuktikan bila kita membeli obat di jalur resmi, yaitu apotek, kemungkinan mendapatkan obat palsu lebih kecil."