Stop Boros Kata "Jangan"

By nova.id, Sabtu, 1 Desember 2012 | 01:11 WIB
Stop Boros Kata Jangan (nova.id)

Stop Boros Kata Jangan (nova.id)

"Foto: Getty Images "

Sebuah penelitian menyebutkan, anak usia 5 tahun yang diberi tantangan (challenge) untuk melakukan impossible task mau mencobanya sebanyak 16 kali. Pada usia 11 tahun, anak masih mau mencoba melakukannya sebanyak 6 - 7 kali. Sementara anak usia 16 tahun sudah tidak mau lagi mencoba ketika diberi challenge yang sama. 

Artinya, anak sebetulnya terlahir untuk berani mencoba, kreatif, inovatif, tidak mudah menyerah, dan sebagainya. "Ini adalah nilai bawaaan kita sebagai manusia. Hanya, pola asuh orangtualah yang kerap mengerdilkan kemampuan alamiah ini," kata parenting communication specialist Hana Yasmira, MSi. 

Salah satu penghalang kreativitas anak adalah "hobi" orangtua mengobral larangan. Sedikit-sedikit berteriak, "Jangan." Sebetulnya, lanjut Hana, larangan, batasan, atau aturan tetap penting bagi anak. Pasalnya, anak yang hidup tanpa aturan atau batasan, pasti akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Tapi, yang diperlukan adalah batasan atau aturan yang tidak otoritatif.

"Orangtua juga harus konsisten. Begitu bilang tidak, harus tetap tidak. Karena ketika orangtua tidak konsisten, anak akan sulit lagi diberi batasan. Jangan asal melarang tanpa tahu batasan," kata wanita yang juga dipanggil Bunda Hana ini.

Berikut beberapa panduan yang perlu diperhatikan orangtua agar tidak mudah "menghamburkan" larangan pada anak, seperti disampaikan Bunda Hana:

Beri aturan ketat

Prinsip utama mengasuh anak adalah, "Children who are guided firmly are not pleasanter to live with but much happier themselves." Anak yang dibimbing dengan ketat (diberi aturan ketat) pasti akan lebih enak diajak bekerja sama dalam hidup, dan ke depannya juga akan lebih nyaman dengan dirinya. 

Pola asuh yang berkaitan dengan batasan atau aturan sebaiknya menggunakan pola segitiga terbalik. Ketika masih berusia dini, beri anak batasan atau aturan yang ketat (firm) dan beri kebebasan ketika anak semakin besar. Semakin anak melihat sudah bertanggung jawab, semakin kita longgarkan aturannya. Yang penting, orangtua harus paham bahwa anak harus dibekali aturan dan batasan demi kenyamanan dan keamanannya kelak ketika hidup dan berbaur dengan masyarakat.

Tiga zona

Untuk menghadirkan keamanan dan rasa nyaman anak sehari-hari, buatlah batasan perilaku anak ke dalam tiga zona, yakni: 

a. Zona Hjau:Untuk perilaku yang bebas dilakukan anak tanpa sedikitpun mendapat larangan orangtua karena berada di dalam zona aman yang tidak membahayakan fisik dan psikis.­Oleh karena itu, di zona ini, tidak boleh ada kata-kata "JANGAN" atau "TIDAK BOLEH" dari orangtua. Anak malah harus diberi kebebasan penuh supaya bisa sepenuhnya berekspresi dan berekspolasi.

b. Zona Kuning:Untuk perilaku yang mesti mendapat pengawasan orangtua atau dewasa lain saat anak melakukannya. Pasalnya, zona ini tidak sepenuhnya aman untuk anak. Tak ada salahnya sesekali mengingatkan anak dengan kata-kata, "Hati-hati ya, Nak."

c. Zona Merah:Untuk perilaku yang terlarang sama sekali buat anak karena membahayakan fisik dan psikis anak. Contoh, tidak membiarkan anak bersentuhan dengan rokok, alkohol, dan narkotika, apa pun alasannya. Di zona ini, orangtua "WAJIB" memberikan larangan dan diharapkan berkata, "Awas, ini tidak aman untuk kamu," atau "Tidak! Kamu tidak boleh melakukannya. Ini terlalu berbahaya untukmu." 

Pembagian tiga zona ini harus disesuaikan dengan umur anak. Prinsipnya, semakin kecil umur anak, semakin kecil zona hijau yang diperbolehkan untuknya. Dan, semakin besar umur anak, semakin besar juga zona hijau yang siap diberikan untuk dia. Bayangkan saja bentuk segitiga terbalik. Jadi artinya, zona hijau untuk anak umur 3 tahun tentu lebih kecil dibandingkan kakaknya yang sudah berumur 9 tahun, misalnya.

Ubah lingkungan demi keamanan anak

Agar kita tidak terlalu sering menghamburkan larangan untuk anak, cobalah ubah dan sesuaikan kondisi rumah atau lingkungan tempat tinggal anak.

Jika masih ada balita atau batita di rumah, lebih aman jika semua perabot kristal dan barang pecah belah disingkirkan dari jangkauan anak. Atau, beri kunci pengaman untuk tangga, stopkontak listrik, dan lain-lain. Anak pun memiliki ruang gerak yang aman dan jauh dari larangan.

Jangan lupa, beri anak alternatif. Misalnya, sediakan kamar atau sudut khusus di mana mereka bisa mengacak-acak dan membuat berantakan demi memuaskan keinginan belajarnya. Tapi, jangan lupa sertakan aturan dan batasan. "Nih, kalau mau main di sini ya, Dek. Ini khusus untuk tempat kamu. Nanti kalau sudah selesai, bilang ke Ibu. Kita beresin bareng-bareng, ya."

Jangan lupa prinsip ini, "Behave kid is the prepared one."

Dengan berpegang pada prinsip ini, orangtua akan terhindar dari penghamburan kata "Jangan" karena prinsip ini menuntut orangtua menyiapkan anak sebelum membiarkannya berada dalam satu kondisi. 

Contohnya, siapkan anak sebelum mengajaknya bertandang ke rumah kerabat. Ajak dia bicara tentang situasi rumah yang akan dikunjungi. Beritahu dia apa ekspektasi Anda atas perilakunya.

Katakan misalnya, "Nanti sore sebelum ke rumah Eyang Uti, kita mampir menjenguk  teman Ibu dulu, ya. Namanya Tante Nunik. Beliau sedang sakit, jadi Ibu harap saat berada di rumah Tante Nunik, kita bicara pelan. Ibu juga harap kamu tidak berlari-lari di sana. Ibu bawakan peralatan gambar dan mainan biar kamu tidak bosan selama menunggu Ibu di rumah Tante Nunik. Mengerti? Nah, sekarang coba kamu ulangi apa yang Ibu bilang tadi. Apa yang harus kamu lakukan saat berada di rumah Tante Nunik? Kalau kamu mau pipis, apakah kamu akan berteriak memanggil Ibu atau pelan-pelan mencari Ibu dan bilang?," dan seterusnya.

Anak akan mudah diajak bekerja sama untuk menghadapi segala situasi jika kita mau menyiapkan dia dengan teliti. Karena itu, sisihkan sedikit waktu dan energi untuk membekali anak sebelum mengajaknya melakukan satu kegiatan, termasuk berbelanja, menghadiri pemakaman, ke pesta, dan lain-lain.

Kita juga sering mendengar orangtua berkonflik dengan anak di pusat perbelanjaan. Anak merengek bahkan tantrum saat keinginannya untuk membeli mainan ditolak orangtua. Jika saja orangtua menyisihkan sedikit energi untuk menyiapkan anak, konflik-konflik semacam ini tentu tidak perlu terjadi. 

Sekadar mengatakan ini kepada anak sesaat sebelum memutuskan mengajaknya berbelanja bisa jadi akan menghindari konflik tajam berkepanjangan, "Nanti sore Mama mau ajak kamu ke mal. Kamu perlu sepatu baru. Kita akan beli sepatu baru untuk kamu, bukan mainan. Kamu mengerti? Kita tidak akan membeli mainan di sana, ya."

Nah, jika anak setuju dengan kesepakatan ini, tapi saat di mal ia ternyata berubah pikiran dan ngotot minta dibelikan mainan, berarti waktunya bagi Anda untuk menegakkan wibawa sebagai sang pemimpin. Tolaklah keinginan anak dengan tegas, tak perlu berkompromi. 

Pastikan anak tahu bahwa aturan Anda layak untuk didengar. Jika pun anak tantrum, segera angkat anak dan bawa ia pulang. Toh, itu salah satu alasan yang membuat Tuhan menciptakan anak dalam ukurannya yang kecil. Yakni agar orangtua tidak perlu beradu argumen dengan anak hingga menjadi tontonan banyak orang.

Sekali lagi, cepat angkat anak, gendong dia dan menyingkirlah dari semua display penggoda itu. Di rumah, saat tantrum-nya terlewati, ajak anak membicarakan lagi hal ini. Dengan demikian, ke depannya diharapkan Anda dan anak bisa nyaman bekerja sama. 

 Hasto Prianggoro