Kangen Band, Wali, duo T2, hingga Hallo, sukses berkat tangan dingin pria yang kerap disapa Om Jan (39) ini. Berbeda dengan manajer artis lainnya, ia memang mengkhususkan diri membidani band-band asal daerah. Tak heran jika julukan "Manajer Kampungan" pun disandangnya.
Bagaimana ceritanya sampai mengkhususkan pada band-band asal daerah?
Ceritanya panjang sekali. Dulu, saya pernah memanajeri artis Mandra dan Kristina secara personal. Berbekal pengalaman itu, saya berniat mendirikan manajemen. Seorang artis yang juga teman saya, Yuni Sulistiowati, menyambut keinginan itu. Jadilah kami mendirikan manajemen artis Positif Art (2006). Artis pertama yang kami manajeri adalah Tika dan Rommy "AFI".
Suatu hari Yuni memberitahu, kalau ada band asal Lampung yang populer di pasar bajakan. Kami pun menyempatkan diri mencari band itu ke Lampung. Setelah bertemu, saya enggak yakin mereka bisa bernyanyi karena penampilannya tidak menjual. Saya pun kembali ke Jakarta dan melupakan mereka.
Namun, beberapa kali saya ke pasar dan mal Jakarta, lagu Kangen Band (Penantian Yang Tertunda) itu selalu diputar hingga sulit melupakannya dari hati dan pikiran saya. Pikir saya, hebat benar lagu bajakan ini. Akhirnya, saya mengejar Kangen Band lagi ke Lampung. Ibarat main judi, saya nekat menawarkan Kangen Band hijrah ke Jakarta karena saya sendiri juga enggak punya modal. Saya berdoa saja semoga ini rezeki kami. Di Jakarta, saya tampung mereka (Dodhy, Izzy, Iim, Tama, dan Bebe) di rumah Yuni. Saya laundry dulu mereka sebelum dijual.
Maksudnya?
Penampilan mereka saya permak dulu. Saya beri baju baru dan membekali kemampuan bermusik mereka. Setelah layak, baru saya "jual". Butuh waktu hampir 6 bulan untuk ngurusin semuanya. Uang terkuras untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti makan, jajan, beli pakaian. Cincin saya pun sampai saya jual. Ha ha ha...
Saat itu Andika belum terlibat di Kangan Band, ya?
Itu perjuangannya lain lagi. Saat latihan untuk rekaman yang dibantu musisi Harry Tasman, diketahuilah kalau pemilik suara emas di lagu itu Andika (saat itu ia sedang menjalani hukuman penjara untuk suatu kasus). Kami pun sepakat memasukkan Andika dalam band. Maka, saya pergi lagi ke Lampung untuk menemuinya di penjara. Tadinya saya pikir, sosoknya tinggi besar dan ganteng, ternyata setelah bertemu kondisinya "parah" banget. Saya lihat keadaan psikologisnya seperti terganggu. Namun, ketika saya tes dia untuk bernyanyi, dia hapal semua lagu Kangen Band. Lalu, dengan segenap kemampuan, saya pindahkan dia ke LP Cipinang. Di sana, bersama personel Kangen Band lainnya, dia latihan hingga masa hukumannya habis.
Lantas, bagaimana ceritanya sampai Kangen Band diterima label?
Sulit sekali, memang. Banyak yang menolak dan tak sedikit yang mencibir. Untuk bisa meyakinkan mereka, saya saja sampai ikut menyanyikan lagu-lagu Kangen Band di hadapan mereka. Sampai kemudian, Warner Music, yang tahu bagaimana dasyatnya lagu band ini di pasar bajakan, mau menerima. Awalnya, wartawan pun menolak mewawancarai Kangen Band dengan alasan sosoknya enggak menjual. Begitulah.
Lalu, bagaimana dengan band lainnya?
Dengan keberhasilan Kangen Band, kami pun mengkhususkan diri di jalur musik. Saat itu, berkat Ratu, band duo yang sedang nge-tren, kami pun mengangkat T2 (baca: titu. Tika dan Tiwi AFI). Tadinya mereka sempat ingin keluar dari Positif Art lantaran kami tak kunjung mendapatkan label untuk mereka. Untungnya setelah masuk label Nagaswara, singel Oke mereka bisa menjadi hits. Keberhasilan Kangen Band dan T2 inilah yang membuka jalan bagi penyanyi dan band baru lainnya melamar ke Positif Art. Salah satunya Wali. Butuh hampir setahun bagi saya untuk menerima Wali karena beberapa kali lagunya saya tolak untuk diperbaiki lagi sampai bisa dijual. Mereka hampir frustasi gara-gara itu, lho.
Anda, kan, bukan musisi. Bagaimana Anda bisa menilai suatu lagu bisa dijual atau tidak?
Hahaha... Modal nekat saja. Menurut saya, lagu yang bisa dijual itu tidak hanya enak di kuping, tapi juga harus sampai ke hati. Kalau bisa, sampai menusuk hati. Kalau cuma enak di kuping, saya akan kembaikan ke mereka untuk diperbaiki lagi.
Katanya Anda juga punya keahlian dalam memberi nama band atau judul lagu ya?
Ya. Beberapa band di Positif Art saya ganti namanya, tapi kalau saya anggap sudah menjual, ya tidak perlu. Kangen Band menurut saya sudah bagus, meski dulu sempat terpikir untuk menggantinya jadi The Lamp, yang mengandung arti band dari Lampung. T2 saya sendiri yang menamakannya. Kata Titu terasa enak didengar. Kalau Wali, sebelumnya bernama Fiera.
Sebagai produser, mereka juga harus mengkonsultasikan semua lagu dan judulnya ke saya. Seperti judul lagu Cari Jodoh-nya Wali, itu saya yang pilihkan. Judul album pertama Wali, Dik, juga pilihan saya.
Kalau orang bilang, nama atau judul lagunya terdengar norak, saya tak peduli. Buktinya, dengan segala kenorakan yang dimiliki Kangen Band, lagu mereka laku di pasaran. Prinsip saya, yang norak itu yang laku.
Kini, sudah berapa band yang Anda manajeri?
Sudah ada 10 band. Beberapa masih dalam proses. Mereka semua berasal dari daerah, ada yang dari Kendari, Palembang, Bandung, Cianjur, Sukabumi, Jogja, Banten, dan lainnya.
Kenapa lebih suka mengambil band dari daerah?
Orang dari daerah itu lebih mudah dibentuk dan tak banyak tingkah. Selain itu, saya ingin membantu mewujudkan mimpi-mimpi mereka untuk bisa berhasil di dunia hiburan. Mungkin banyak manajer yang malas menggarap mereka karena tidak tahu apa yang "menjual" dari band itu. Tapi saya mau dan tahu. Yang penting, kan, mereka punya bakat dan kemauan untuk maju. Tapi ya itu tadi, saya harus meluangkan waktu untuk me-laundry sebelum dijual. Supaya bisa kumpul, mereka saya kontrakkan di Cibubur. Semacam basecamp gitu lah. Lucunya, manajemen kami terlihat kayak yayasan tenaga kerja saja. Hahaha... Alhamdulillah, sekarang sudah banyak label yang mulai percaya pada Positif Art. Dengan begitu, kerjasama saya dengan mereka jadi lebih mudah.
Komentar Anda soal cap "Manajer Kampungan"?
Enggak apa-apa. Saya senang, kok. Justru terdengar lebih unik. Itu sah-sah saja. Yang penting, kami bekerja secara profesional dan tidak kampungan. Kami tahu benar bagaimana menjual artis dan punya strategi dalam memasarkan atau mempromosikan mereka. Menjadi kebahagiaan besar bagi saya ketika mereka semua bisa sukses dan mampu memperbaiki kondisi ekonomi mereka dengan membeli rumah, mobil, atau barang lainnya, yang dulu hanya jadi angan-angan mereka saja.
Pernah gagal menggarap sebuah band?
Ada beberapa, tapi itu tidak membuat kami patah semangat. Penyebabnya mungkin karena salah strategi saja. Kami belajar dari kesalahan itu dan berusaha keras untuk memperbaikinya.
Ada tidak artis daerah yang kaget dengan popularitas yang didapatnya?
Ada saja, itu manusiawi. Secara psikologis, keberhasilan itu kadang membuat mereka berubah. Tiba-tiba mereka merasa paling penting karena sudah dielu-elukan banyak orang. Dalam hal ini, saya memosisikan diri sebagai orangtua dan berusaha mengingatkan mereka. Caranya, mengingatkan kembali dari mana mereka berasal sebelumnya. Personal touch seperti itu biasanya berhasil untuk mengembalikan rasa rendah hati mereka. Alhamdulillah, banyak yang sadar. Ada juga, sih, yang bandel, tapi setelah itu kembali lagi.
Oh ya, ada juga artis saya yang sempat keluar dan masuk ke manajemen lain, tapi tak lama kemudian balik lagi. Dalam menjalani bisnis ini, saya berusaha ikhlas dan terbuka saja karena yang kami kelola ini, kan, manusia, bukan robot.
Rencana Positif Art ke depan?
Kami sedang membuat rumah produski dengan program reality show, namanya Selebriti Berbagi dan Wali Nikah. Kami juga membangun penerbitan dengan merilis beberapa buku tokoh dunia hiburan, dan sedang merintis badan usaha pencitraan para artis yang mau terjun ke politik. Untuk yang ini, sudah ada dua artis yang kami tangani.
Ahmad Tarmizi