Saat ini, pemberitaan di media massa kerap membuat kita mengelus dada. Anak-anak terlibat tawuran, perampasan kendaran bermotor, hingga menghilangkan nyawa orang lain. Fenomena ini tentu membuat kekhawatiran orangtua makin menjadi-jadi. Terkadang, pihak orangtua sulit memercayai anaknya bisa berperilaku seekstrem itu. Toh, Si Anak baik-baik saja dan tidak bermasalah di rumah.
Bila ditinjau dari segi hukum yaitu Undang-Undang Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai individu dengan kategori usia sejak dalam kandungan hingga sebelum 18 tahun. Tentu bukan tanpa alasan mengapa anak-anak mendapat perlindungan secara hukum, bukan? Mereka memang dinilai rentan menjadi korban kejahatan. "Nah, yang kemudian menjadi kasus unik adalah ketika mereka yang termasuk pada golongan yang rentan menjadi korban kejahatan, pada saat yang sama justru menjadi pelaku pula," ujar Reza Indragiri Amriel, pakar psikologi forensik.
Reza mengemukakan tiga kondisi yang sering dianggap sebagai akar kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. "Pertama dan sering menjadi alasan adalah penggunaan obat-obatan terlarang, lalu kemiskinan, dan kondisi rumah tangga yang tidak harmonis. Dengan demikian, ketiga hal tersebut menunjukkan bahwa akar dari perilaku anak-anak yang ekstrem ini diawali dari rumah," papar Reza.
Zaman sekarang, ketiga faktor tadi bukan hal asing sehingga wajar saja jika orangtua makin khawatir akan fenomena kenakalan anak yang kebablasan ini. Akan tetapi, orangtua bisa lebih maju beberapa langkah dengan "memindai" perilaku membahayakan ini.
Ternyata, tanpa disadari ada ciri-ciri tertentu pada anak yang dianggap dapat menjadi penanda bahwa ia berpotensi tumbuh menjadi sosok yang rentan melakukan aksi kejahatan.
Reza memaparkan teori "Macdonald Triad", yaitu tiga buah perilaku yang menandakan buah hati berpotensi melakukan aksi-aksi kejahatan atau kekerasan.
Pertama, perilaku yang cenderung suka menyiksa hewan, gemar bermain-main dengan api, serta kesulitan mengelola buang air kecil.
"Ketiga perilaku tersebut memiliki satu benang merah, yaitu pembangkangan terhadap keteraturan, norma, serta figur pemegang otoritas atau dalam hal ini adalah orangtua," papar aktivis anak di HDI Foundation ini.
Padahal, ketika anak sudah masuk TK atau SD, sudah selayaknya ia tanggap terhadap ajaran untuk patuh. Jika anak sulit berkompromi dengan norma serta aturan, ia dikhawatirkan akan mengalami lebih banyak kesulitan di masa depan. Terutama ketika ia dewasa, di mana tuntutan untuk patuh menjadi semakin besar. Kesulitan itulah yang dikhawatirkan dapat memicu timbulnya respons berupa kekerasan di kemudian hari.
Jika perilaku anak dikaitkan pola asuh, umumnya hal ini akan dianggap sebagai faktor situasional. Namun dalam lingkup yang lebih luas, justru pola asuh itu dapat dikategorikan pada faktor personal.