Hati-hati Jika Main Api!

By nova.id, Kamis, 29 November 2012 | 03:50 WIB
Hati hati Jika Main Api (nova.id)

Hati hati Jika Main Api (nova.id)

"Foto: Getty Images "

Saat ini, pemberitaan di media massa kerap membuat kita mengelus dada. Anak-anak terlibat tawuran, perampasan kendaran bermotor, hingga menghilangkan nyawa orang lain. Fenomena ini tentu membuat kekhawatiran orangtua makin menjadi-jadi. Terkadang, pihak orangtua sulit memercayai anaknya bisa berperilaku seekstrem itu. Toh, Si Anak baik-baik saja dan tidak bermasalah di rumah.

Bila ditinjau dari segi hukum yaitu Un­dang-Undang Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai individu dengan kategori usia sejak dalam kandungan hingga sebelum 18 tahun. Tentu bukan tanpa alasan mengapa anak-anak mendapat perlindungan secara hukum, bukan? Mereka memang dinilai rentan menjadi korban kejahatan. "Nah, yang kemudian menjadi kasus unik adalah ketika mereka yang termasuk pada golongan yang rentan menjadi korban kejahatan, pada saat yang sama justru menjadi pelaku pula," ujar Reza Indragiri Amriel, pakar psikologi forensik.

Reza mengemukakan tiga kondisi yang sering dianggap sebagai akar kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. "Pertama dan sering menjadi alasan adalah penggunaan obat-obatan terlarang, lalu kemiskinan, dan kondisi rumah tangga yang tidak harmonis. Dengan demikian, ketiga hal tersebut menunjukkan bahwa akar dari perilaku anak-anak yang ekstrem ini diawali dari rumah," papar Reza.

Zaman sekarang, ketiga faktor tadi bukan hal asing sehingga wajar saja jika orangtua makin khawatir akan fenomena kenakalan anak yang kebablasan ini. Akan tetapi, orangtua bisa lebih maju beberapa langkah dengan "memindai" perilaku membahayakan ini.

Ternyata, tanpa disadari ada ciri-ciri ter­tentu pada anak yang dianggap dapat menjadi penanda bahwa ia berpotensi tumbuh menjadi sosok yang rentan melakukan aksi kejahatan.

Reza memaparkan teori "Macdonald Triad", yaitu tiga buah perilaku yang menandakan buah hati berpotensi melakukan aksi-aksi kejahatan atau kekerasan.

Pertama, perilaku yang cenderung suka menyiksa hewan, gemar bermain-main dengan api, serta kesulitan mengelola buang air kecil.

"Ketiga perilaku tersebut memiliki satu benang merah, yaitu pembangkangan terhadap keteraturan, norma, serta figur pemegang otoritas atau dalam hal ini adalah orangtua," papar aktivis anak di HDI Foundation ini.

Padahal, ketika anak sudah masuk TK atau SD, sudah selayaknya ia tanggap terhadap ajaran untuk patuh. Jika anak su­lit berkompromi dengan norma serta aturan, ia dikhawatirkan akan mengalami lebih banyak kesulitan di masa depan. Terutama ketika ia dewasa, di mana tuntutan untuk patuh menjadi semakin besar. Kesulitan itulah yang dikhawatirkan dapat memicu timbulnya respons berupa kekerasan di kemudian hari.

Jika perilaku anak di­­kaitkan po­­la asuh, umumnya hal ini akan dianggap sebagai fak­tor situasional. Namun dalam lingkup yang lebih luas, justru pola asuh itu dapat dikategorikan pada faktor personal.

"Sesungguhnya, kan,­ pengasuhan itu sudah diterapkan sejak bayi masih berada di perut ibunya. Jenis pengasuhan ibu pada janin, misalnya ada yang hangat, ada yang cuek, ada pula yang justru menolak, itu secara langsung akan berpengaruh," papar Reza.

Maka, orangtua harus mulai ju­ga menakar pola asuh yang selama ini ia berlakukan. "Saya yakin bahwa meja makan merupakan pintu awal proses anak belajar. Dengan kata lain, komunikasi di rumah itu penting," tukasnya. Dengan demikian, sebelum menilai atau menyalahkan anak, sebaiknya orangtua pun ikut menilai apakah yang ia berikan telah cukup untuk membekali anak berbaur dengan lingkungannya.

Reza memaparkan tiga unsur yang selayaknya dimiliki orangtua, yaitu sebagai berikut:

1. Pengetahuan: Hal ini menjadi demikian penting dalam parenting atau pola asuh orangtua. Pasalnya, tantangan hidup semakin banyak sehingga jika orangtua tidak memiliki cukup pengetahuan, ia justru bisa diperdaya oleh Sang Anak.

2. Passion: Melakukan pengasuhan pada buah hati membutuhkan semangat serta keinginan kuat untuk menjalaninya. "Secara biologis mungkin seseorang siap menjadi orangtua, karena, kan, biological parent itu sudah suratan tangan. Akan tetapi, secara psikologis belum tentu karena ia harus bisa menjalankan parenting role dengan efektif," papar Reza.

3.Waktu: Orangtua harus dapat mengalokasikan waktu yang sesuai untuk melakukan proses ikatan dengan anak-anaknya.

Secara hukum, anak-­anak yang melakukan tindakan kekerasan memang dapat dihindarkan dari tindak pidana. Lantas bagaimana dengan hukuman yang diberikan orangtua? Reza menilai, hukuman pada dasarnya tidak dapat membuat seseorang menjadi patuh.

"Pada praktiknya, ketika ia diberi hukuman maka ia akan belajar untuk mencari jalan lain agar tidak mengalami rasa sakit atau menghindari konsekuensi risiko hukum tersebut," ujar Reza.

Lain halnya apa­bila Anda memberi pujian (reward) terhadap pencapaian anak, ia akan menjadi lebih patuh karena sadar bahwa kepatuhan tersebut yang kemudian memberi hal positif pada dirinya.

Maka ketika anak mengindikasikan perilaku-perilaku yang mengarah pada kekerasan, Reza memberi tiga langkah yang sebaiknya dilakukan orangtua.

1. Segera tanggapi: Arti­nya, ketika anak melakukan tindakan tak terpuji, segera beri sangsi. Sebaliknya ketika ia melakukan pencapaian yang baik, segera beri pujian.

2. Konsistensi. Tetap teguh pa­da peraturan yang Anda terapkan. Jangan sampai Anda menanggapi tingkah yang sama dengan respons yang berbeda setiap harinya.

3. Tingkat hukuman: Apabila hal pertama dan kedua telah dilakukan, maka diharapkan anak jera dan mau memperbaiki diri. "Pasalnya, terlihat bahwa hukuman bukan senjata andalan pengendali perilaku anak," tegas Reza. Jadi, jika anak melakukan kesalahan atau perbuatan tak terpuji, beri tahu sejak dini apa konsekuensi dari perbuatan tersebut.

Annelis Brilian