Iwan&Indah, Jadi 'Kompor' Lewat Kaos dan Stiker

By nova.id, Jumat, 8 Januari 2010 | 04:26 WIB
Iwan Indah Jadi Kompor Lewat Kaos dan Stiker (nova.id)

Iwan Indah Jadi Kompor Lewat Kaos dan Stiker (nova.id)
Iwan Indah Jadi Kompor Lewat Kaos dan Stiker (nova.id)

""

Sejak kapan menggagas munculnya Indonesia Bertindak (IB)?

Iwan: Awalnya kami merespons bencana tsunami yang menimpa Aceh akhir tahun 2004 silam. Bencana tsunami sungguh luar biasa. Semua media memberitakan, termasuk teve yang mengungkapkan Indonesia Berduka, ada lagi yang bilang Indonesia Menangis. Saya dan Indah berdiskusi, kita semua mesti bertindak mengulurkan tangan. Dari situ muncul Indonesia Bertindak. Yaitu sebuah ajakan untuk membantu Aceh.

Saya menghubungi kawan-kawan untuk menggalang dukungan. Saya minta mereka membentuk posko-posko bantuan dari rumah terdekat dan mengirimkannya ke tempat-tempat yang dipercaya. Kebetulan saya pernah jadi jurnalis dan kerja di bidang advertising dan Indah pernah kerja jadi art director. Tuhan memberi kami talenta menciptakan media komunikasi. Kami pun membuat materi propaganda yang bisa menggerakkan orang untuk membantu korban bencana.

Apa langkah yang kemudian Anda berdua kerjakan?

Iwan: Dengan uang dari kantung sendiri, saya dan Indah menggagas ide membuat kaus. Hasil ngobrol dengan kawan-kawan dari Aceh, kaus itu bertuliskan bahasa Aceh yang artinya, 'kami menangis keras untuk Aceh.'

Indah: Kami cantumkan tulisan Indonesia Bertindak. Kaus itu kemudian kami jual, jadi tidak semata-mata mencari bantuan, tapi menjual kaus. Saya sendiri yang mendesain kaus.

Iwan: Kami menjual kaus ke berbagai tempat seperti tempat-tempat ibadah baik di masjid atau gereja. Saya katakan, semua dana penjualan kaus disumbangkan untuk Aceh. Ternyata responsnya luar biasa. Selanjutnya dibantu kawan-kawan, kami menyebarkan kaus ke mana-mana.

Dari ribuan kaus yang terjual, kami mendapatkan dana puluhan juta yang saya lupa jumlah persisnya. Kami tidak turun langsung ke Aceh, tapi dana itu kami sumbangkan untuk pembangunan SD yang rusak. Memang uang yang berhasil kami kumpulkan tidaklah seberapa dibandingkan perusahaan besar. Namun, setidaknya kami sudah mencoba berbuat sesuatu.

Usai tsunami, apa kegiatan yang Anda berdua lakukan?

Iwan: Sempat vakum. Sampai akhirnya terjadi gempa dahsyat di Yogyakarta dan sekitarnya. Kala itu ada beberapa teman menelepon, "Iwan, mana kausmu?" Saya membatin, ternyata banyak yang sadar kaus bisa jadi sarana membantu dan sekaligus berekspresi. Akhirnya saya bikin lagi.

Indah: Setengah jam kemudian, saya membuat desain kaus bertuliskan "Eling Sedulur" yang artinya Ingat Saudara. Saya langsung sablon kaus berbagai ukuran. Kawan-kawan yang membantu untuk Aceh, kembali jadi relawan menjual kaus. Hanya dalam hitungan hari terkumpul dana yang besar.

Iwan: Karena jarak Jakarta-Yogyakarta relatif dekat, saya, Indah, dan kawan-kawan ikut turun ke salah satu desa di Yogyakarta. Separoh dana untuk pembangunan SD yang rusak, separuh lagi membeli berbagai peralatan yang warga butuhkan. Saat kami tanya, mereka butuh mulai dari panci, ember, alat masak sampai pakaian dalam perempuan.

Ke mana Anda berbelanja?

Iwan: Tentu saja ke daerah aman di Yogyakarta. Lucunya, untuk pakaian dalam mulai bra sampai celana dalam, kami belanja di Pasar Beringharjo, dapat sekian lusin pakaian dalam berwarna senada. Selanjutnya, kami bagikan sendiri barang yang mereka butuhkan itu. Nah, dua hari kemudian ketika kami kembali ke desa, ada pemandangan unik. Di tiap jemuran, ada pakaian dalam yang warnanya senada itu.

Kegiatan Indonesia Bertindak tampak seperti memburu bencana?

Iwan: Saya juga berpikir begitu. Misalnya saja saat Jawa Barat terjadi gempa, kami kembali turun menggalang bantuan dengan tema Ayo Bantu Jabar. Juga saat beberapa saat kemudian, Sumatera Barat kena gempa yang tak kalah hebat. Kali ini, kami buka rekening untuk rekan-rekan yang bersedia menyumbang. Tiap orang tidak perlu terlalu banyak, cukup selembar uang ribuan bergambar Tuanku Imam Bonjol. Kami beri nama gerakan Selembar untuk Sumbar.

Karena bencana berurutan, sungkan juga kami minta sumbangan dalam jumlah besar. Kami tulisan, Asa ado ketek pun pado, yang artinya kira-kira, asalkan ada sedikit pun okelah. Jadi, niatnya sekadar mengetuk hati untuk menyumbang meski dalam jumlah yang tampaknya kecil. Ternyata, lagi-lagi respons kawan-kawan luar biasa. Mereka cepat bergerak. Dalam waktu dua minggu terkumpul dana Rp 40 jutaan, yang kami sumbangkan juga untuk biaya pembangunan sekolah rusak.

Indah: Kegiatan kami tidak semata-mata membantu bencana saja, kok. Kami juga merespons berbagai masalah yang ada kaitannya dengan persoalan negeri kita.

Masalah tentang apa?

Iwan: Misalnya saja ketika beberapa waktu lalu ada kabar ditemukannya warga yang kena busung lapar, kami mengeluarkan kartu pos bertuliskan "Sendok tanpa nasi, nasi tanpa gizi" Kala itu, kami sebar gratis kartu pos ke masyarakat luas. Kami, kan, tidak ingin dikenal sebagai penjual kaus saja, he he.

Indah: Saat ada bom di Bali dan beberapa kali bom di beberapa tempat, banyak negara yang melarang warganya ke negeri kita. Dangerous Travel Warning. Tentu kita tidak bisa bilang negeri kita aman. Tapi, kalau tidak ada counter, tentu terkesan negara kita memang berbahaya. Banyak orang takut datang ke sini.

Iwan: Ternyata memang banyak orang luar yang tidak paham kondisi geografis negeri kita sesungguhnya. Bila di Ambon ada kerusuhan, dikira di tempat lain juga seperti itu. Meski ada kekacauan, tetap banyak tempat indah di negeri kita yang masih bisa dikunjungi. Dari situ, muncullah ungkapan, "Travel Warning: Indonesia Dangerously Beautiful. Kami buat stiker dan kaus untuk disebarkan ke mana-mana. Ternyata, stiker dan kaus ini mendunia.

Bagaimana ceritanya?

Iwan: Semua berkat kawan-kawan mahasiswa yang belajar di luar negeri. Lewat jaringan pertemanan, stiker mereka bawa ke tempat mereka belajar di lima benua. Lalu, stiker ditempel di berbagai tempat. Mereka juga memakai kaus, untuk mengampanyekan Dangerously Beautiful ini. Teman-teman juga menceritakan kepada warga setempat tentang keadaan negeri kita sesungguhnya. Masih banyak, kok, tempat indah dan aman yang bisa dikunjungi.

Omong-omong dari mana Anda mengabarkan semua informasi ini?

Iwan: Lewat blog, Facebook, dan berbagai jaringan pertemanan lainnya. Ternyata memang sangat efektif. Saya pun kian paham, masih sangat banyak warga kita yang punya kepedulian terhadap berbagai masalah bangsa. Saya percaya sungguh filosofi pasir. Sebutir pasir memang tidak ada artinya, tapi berjuta pasir akan jadi gunung besar.

Meski IB tidak berbentuk organisasi, kami yang sering hanya bisa berkomunikasi lewat dunia maya, benar-benar kompak. Yang menyatukan kami adalah mimpi ke arah Indonesia yang lebih baik.

Namanya kerja sosial tentu sering juga mengambil belanja rumah tangga?

Iwan: Awalnya memang begitu. Tapi, banyak kok yang membantu kami. Misalnya saja oleh sebuah provider kami diberi nomor HP cantik yang mengandung nomor 17 8 1945. Kami juga diberi plat nomor mobil 1945.

Indah: Nah, sekarang untuk membiayai kegiatan, kami buka toko di kantor kami di Kemang Raya Timur. Kami menjual berbagai cindera mata yang isinya beragam slogan yang tertulis di kaus, mug, dst. Misalnya saja ungkapan Brave Guys Go To Indonesia, tulisan Love dengan huruf O diganti lambang garuda Pancasila. Sejauh ini yang terbanyak memang kaus.

Ide toko sebenarnya dari permintaan teman-teman di dunia maya. Memang mereka bisa beli lewat online, tapi banyak juga yang ingin langsung ke tempat kami. Sungguh menyenangkan respons masyarakat begitu bagus. Para ekspatriat yang tinggal di kawasan Kemang, membeli kaus untuk oleh-oleh saat pulang ke negara asal. Saya pernah dengar cerita dari seorang mahasiswa kita di Praha, dia justru tahu kaus Dangerously Beautiful ini dari seorang warga setempat yang memakai kaus ini.

Iwan: Teman-teman menanggapi positif karena yang kami sampaikan, sebenarnya adalah kampanye semua orang. Saya dan Indah, kan, hanya ngomporin. Yang membuat terharu, ada seorang cleaning service sengaja datang ke mari untuk membantu.

Apa lagi kegiatan Anda lainnya?

Indah: Tentu saja mengasuh anak kami, Ikyu Muti Arrumi (10). Sering kami jalan bersama. Yang terakhir sudah beberapa bulan belakangan ini, kami membuat gagasan Weekend Tanpa ke Mal (WTM). Sekadar memberi alternatif jalan-jalan bersama keluarga. Ketika gagasan ini kami lontarkan ke teman-teman, sambutannya cukup bagus. Sudah dua kami kegiatan ini kami laksanakan yaitu jalan-jalan ke Ragunan dan Planetarium. Pesertanya cukup banyak, sekitar 50 kk.

Henry Ismonofoto: dok. pribadi