Banyak aktor dan aktris berbakat Indonesia yang ikut kasting tapi tidak lolos. Kok, Anda bisa?
Mungkin karena sebelumnya aku pernah main di beberapa film produksi AS, seperti Milk (2008) dimana pemeran utamanya Sean Penn. Memang, sih, hanya peran kecil, tapi mungkin itu yang dijadikan referensi oleh mereka. Aku juga pernah menjadi koreografer acara fashion show batiknya KRT Daud Wiryo Hadinegoro di Milan.
Selain itu, aku juga pernah main drama musikal di Broadway, AS. Judulnya, Snoopy The Musical. Di peranku sebagai Woodstock itu, aku mendapatkan nominasi Best Supporting Actor. Boleh percaya, boleh enggak, ya, saat itu bahasa inggrisku belum fasih banget, lo (saat itu Paul baru beberapa bulan tinggal di AS). Malah saat audisi, aku disuruh menari, bernyanyi, dan akting dengan bahasa Inggris pula. Tapi berkat dukungan teman-teman, aku jadi berani dan percaya diri.
Lantas bagaimana ceritanya Anda bisa sampai ke AS?
Amerika merupakan tempat pelarianku dari orangtua. Sejak kecil, aku sudah menyenangi dunia seni. Melukis dan menulis adalah beberapa dari hobiku saat itu. Tapi ayahku, Iman Yuwono, tidak menyukainya. Katanya, aku tidak akan kaya dengan menjadi seniman.
Kehidupan kami dulu memang sangat memprihatinkan. Miskin, tepatnya. Saking miskinnya kami tidak punya rumah. Kami biasa tinggal berpindah-pindah, dari garasi rumah yang satu ke garasi rumah lainnya. Dengan gigih, ayahku mencari uang dengan mengumpulkan dan mendaur ulang sampah. Hingga kemudian usaha itu sukses dan ayah berhasil menjadi orang pertama yang memulai bisnis daur ulang (recycle business).
Waktu TK, guruku melihat kalau aku ada bakat melukis. Ia lalu mengikutsertakanku lomba melukis yang diadakan di Yogya. Tidak disangka aku dapat peringkat dua. Dengan bangga kubawa piagamnya ke rumah dan menunjukkannya ke orangtua, kakak, dan adikku (Imron Yuwono dan Vera Susanti). Tapi karena pada dasarnya ayah tidak senang, dengan cepat ia mengambil piagamku dan merobeknya. Aku yang saat itu masih sangat kecil, bisa bilang apa? Sedang ibu (Rindang Sari), dia ikut saja apa yang dikatakan Ayah.
Karena terus ditentang, saat ayah jatuh koma (sakit komplikasi), aku memutuskan kabur dari rumah (saat itu Paul masih bersekolah di SMA BOPKRI I, Yogya). Hanya dalam kondisi seperti itulah ayah tidak bisa mencegahku. Pamanku yang ada di Australia kemudian yang membantuku lari ke Singapura. Di sana aku tinggal dengan keluarga seorang misionaris. Melihat bakat seniku, misionaris itu lalu mencarikan aku beasiswa di Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat (1986). Singkatnya, itulah mengapa aku bisa sampai di sana.
Beasiswa apa yang Anda dapatkan di sana? Dan apakah orangtua tidak mencari Anda?
Aku mendapat beasiswa di ORU University jurusan Agribisnis. Sengaja aku ambil jurusan itu untuk membahagiakan ayah. Memang dasar jiwaku bukan di situ, kuliahku gagal karena nilaiku hanya rata-rata D dan E. Waduh, bodoh sekali aku kalau beasiswa itu sampai hangus, kan. I have to follow my heart, kataku. Kemudian aku mengganti jurusan dengan Telekomunikasi (yang menitikberatkan pada Drama & Film) dan Seni Rupa.
Tahun 1989 ayah tahu kalau aku tidak jadi mengambil jurusan bisnis. Lalu beliau menyuruhku untuk kembali ke Indonesia. Ketakutanku akan ayah di masa kecil, samar-samar timbul lagi. Jujur, aku sudah senang di sini (AS), lantas mengapa dipaksa pulang? Dengan perasaan kalut dan bimbang, untuk kedua kalinya aku berniat bunuh diri dengan memutuskan urat nadi tangan kiriku. Tapi untung, ada temanku yang menggagalkannya.