Paul Amron Yuwono, Teman Lama Mengantar ke Istana Obama

By nova.id, Rabu, 23 Desember 2009 | 18:41 WIB
Paul Amron Yuwono Teman Lama Mengantar ke Istana Obama (nova.id)

Paul Amron Yuwono Teman Lama Mengantar ke Istana Obama (nova.id)
Paul Amron Yuwono Teman Lama Mengantar ke Istana Obama (nova.id)
Paul Amron Yuwono Teman Lama Mengantar ke Istana Obama (nova.id)

"Selain dikenal sebagai aktor, Paul juga dikenal sebagai make up artist (Dok. Pri) "

Bagaimana Anda bisa sampai di Gedung Putih?

Aku dan Maya Soetoro, yang kemudian kuketahui adik tiri Presiden AS Barack Obama, adalah teman dekat. Dulu, kami sama-sama menghabiskan masa remaja di Yogyakarta. Namun menjelang dewasa, ketika kami mulai sibuk dengan kehidupan masing-masing, kami kehilangan kontak. Suatu hari, saat aku sedang menyeterika pakaian di apartemenku (di Amerika), aku menonton televisi yang menayangkan profil Barack Obama dan keluarganya. Di situ aku seperti melihat sosok perempuan yang aku kenal. Ternyata benar, wanita itu adalah Maya sahabatku. Dari situlah aku mulai mencari nomor kontaknya dan setelah dapat kami pun memutuskan untuk bertemu di Hawaii (Maya bekerja di sebuah sekolah puteri di sana).

Setelah beberapa kali pertemuan, kukatakan kalau aku akan senang sekali menjadi make up stylist-nya pada saat acara pelantikan abangnya sebagai Presiden AS di Gedung Putih nanti. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Maya ternyata menyambut tawaran itu dengan senang hati.

Pengalaman menarik apa saja yang Anda dapatkan saat berada di sana?

Di sana aku mendapatkan kartu akses untuk bisa masuk ke semua area di Gedung Putih dan Blair House, tentunya dengan pelayanan yang juga VVIP. Tapi yang lebih mengagumkan, aku bisa bertemu dan berbicara langsung dengan Obama dan keluarganya. Obama juga sempat memujiku karena merasa puas dengan riasanku untuk Maya. "Amron, Thank you for making my sister beautiful!" kata Obama.

Saya sangat berterima kasih kepada Maya karena sudah memberikan kesempatan ini kepada saya. Sembilan hari di sana, saya sungguh mendapatkan pengalaman yang luar biasa! Saya bisa menjadi satu-satunya orang Indonesia yang berada di Gedung Putih saat Obama dilantik. Juga buat ketiga desainer Indonesia, Dwi Iskandar, Afif Syakur, dan Ardiyanto, yang sudah sponsorin pakaian saya saat berada di sana. Ha ha ha.

Setelah merias Maya Soetoro, katanya Anda juga merias Julia Roberts di filmnya yang berjudul Eat, Pray, Love?

Oh, tidak. Ketika aku ditelepon seorang kru film itu untuk ikut kasting di Bali, aku juga disarankan membawa perlengkapan make up-ku. Katanya, siapa tahu aku terpilih jadi make up artist-nya Julia, katanya. Ternyata, sesampainya di sana Julia sudah memilih perias sendiri. Alhasil, aku cuma ikutan kasting saja. Tapi aku beruntung karena akhirnya bisa dapat peran kecil (extra) di sana. Dari 20 scene yang ada, finally mungkin hanya akan ada 4 line-ku yang diambil. Tapi lumayanlah, di line itu ada aku yang sedang bersama dengan Julia. Saya berperan sebagai apa? Lihat saja filmnya nanti, ya. He he he.

Banyak aktor dan aktris berbakat Indonesia yang ikut kasting tapi tidak lolos. Kok, Anda bisa?

Mungkin karena sebelumnya aku pernah main di beberapa film produksi AS, seperti Milk (2008) dimana pemeran utamanya Sean Penn. Memang, sih, hanya peran kecil, tapi mungkin itu yang dijadikan referensi oleh mereka. Aku juga pernah menjadi koreografer acara fashion show batiknya KRT Daud Wiryo Hadinegoro di Milan.

Selain itu, aku juga pernah main drama musikal di Broadway, AS. Judulnya, Snoopy The Musical. Di peranku sebagai Woodstock itu, aku mendapatkan nominasi Best Supporting Actor. Boleh percaya, boleh enggak, ya, saat itu bahasa inggrisku belum fasih banget, lo (saat itu Paul baru beberapa bulan tinggal di AS). Malah saat audisi, aku disuruh menari, bernyanyi, dan akting dengan bahasa Inggris pula. Tapi berkat dukungan teman-teman, aku jadi berani dan percaya diri.

Lantas bagaimana ceritanya Anda bisa sampai ke AS?

Amerika merupakan tempat pelarianku dari orangtua. Sejak kecil, aku sudah menyenangi dunia seni. Melukis dan menulis adalah beberapa dari hobiku saat itu. Tapi ayahku, Iman Yuwono, tidak menyukainya. Katanya, aku tidak akan kaya dengan menjadi seniman.

Kehidupan kami dulu memang sangat memprihatinkan. Miskin, tepatnya. Saking miskinnya kami tidak punya rumah. Kami biasa tinggal berpindah-pindah, dari garasi rumah yang satu ke garasi rumah lainnya. Dengan gigih, ayahku mencari uang dengan mengumpulkan dan mendaur ulang sampah. Hingga kemudian usaha itu sukses dan ayah berhasil menjadi orang pertama yang memulai bisnis daur ulang (recycle business).

Waktu TK, guruku melihat kalau aku ada bakat melukis. Ia lalu mengikutsertakanku lomba melukis yang diadakan di Yogya. Tidak disangka aku dapat peringkat dua. Dengan bangga kubawa piagamnya ke rumah dan menunjukkannya ke orangtua, kakak, dan adikku (Imron Yuwono dan Vera Susanti). Tapi karena pada dasarnya ayah tidak senang, dengan cepat ia mengambil piagamku dan merobeknya. Aku yang saat itu masih sangat kecil, bisa bilang apa? Sedang ibu (Rindang Sari), dia ikut saja apa yang dikatakan Ayah.

Karena terus ditentang, saat ayah jatuh koma (sakit komplikasi), aku memutuskan kabur dari rumah (saat itu Paul masih bersekolah di SMA BOPKRI I, Yogya). Hanya dalam kondisi seperti itulah ayah tidak bisa mencegahku. Pamanku yang ada di Australia kemudian yang membantuku lari ke Singapura. Di sana aku tinggal dengan keluarga seorang misionaris. Melihat bakat seniku, misionaris itu lalu mencarikan aku beasiswa di Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat (1986). Singkatnya, itulah mengapa aku bisa sampai di sana.

Beasiswa apa yang Anda dapatkan di sana? Dan apakah orangtua tidak mencari Anda?

Aku mendapat beasiswa di ORU University jurusan Agribisnis. Sengaja aku ambil jurusan itu untuk membahagiakan ayah. Memang dasar jiwaku bukan di situ, kuliahku gagal karena nilaiku hanya rata-rata D dan E. Waduh, bodoh sekali aku kalau beasiswa itu sampai hangus, kan. I have to follow my heart, kataku. Kemudian aku mengganti jurusan dengan Telekomunikasi (yang menitikberatkan pada Drama & Film) dan Seni Rupa.

Tahun 1989 ayah tahu kalau aku tidak jadi mengambil jurusan bisnis. Lalu beliau menyuruhku untuk kembali ke Indonesia. Ketakutanku akan ayah di masa kecil, samar-samar timbul lagi. Jujur, aku sudah senang di sini (AS), lantas mengapa dipaksa pulang? Dengan perasaan kalut dan bimbang, untuk kedua kalinya aku berniat bunuh diri dengan memutuskan urat nadi tangan kiriku. Tapi untung, ada temanku yang menggagalkannya.

Lalu, Anda jadi pulang ke Indonesia?

Iya. Saat berada di rumah, ayah melihat sudah banyak perubahan yang terjadi dalam diriku. Aku tidak lagi pemalu dan lebih mandiri. Dulu aku pemalu sekali, lo. Aku paling enggak berani ke luar rumah kalau ada banyak orang di jalan. Aku memilih menunggu jalanan sepi, baru keluar sambil berlari. Di sekolah pun aku sangat penakut dan sering jadi bulan-bulanan teman-teman. Mereka sering ngumpetin sepeda atau mencegatku sepulang sekolah.

Perlahan ayah mulai mengizinkanku berkesenian. Supaya aku tidak pergi-pergi lagi, ia menawari apakah aku mau membuat film atau lainnya di Yogya. Aku sambut tawaran itu dengan meminta izin menjadikan rumah kami menjadi hostel. Syukur ia mengiyakannya. Jadilah aku membangun International Youth Hostel pertama di Yogya.

Saat pembangunannya, beberapa kali aku berselisih pendapat dengan ayah. Ia mau hostel ini dikonsep biasa saja tapi dari segi bisnis tetap menguntungkan, sedangkan aku mau hostel ini dikonsep dengan mengedepankan unsur seni yang tinggi. Karena tidak ada titik temu, aku sempat lari lagi ke Australia.

Gagal, dong, pembukaan hostelnya?

Tahun 1995 tempat itu akhirnya bisa dibuka untuk umum dan menjadi tempat tongkrongan favorit orang-orang seni. Hampir setiap bulan aku bikin workshop dengan para dancer master Indonesia dan mengumpulkan pengamat seni dari seluruh dunia. Ini memang impianku, menjaga, melestarikan dan budaya Indonesia.

Katanya Anda punya butik barang-barang kerajinan Indonesia juga di sana, ya?

Benar. Namanya Gecko Gecko yang tepatnya berada di San Fransisco. Aku membuka butik itu bersama dua rekan lainnya. Barang-barang yang dijual di sana sengaja kami datangkan dari Indonesia.

Jadi, dengan banyaknya hal yang sudah Anda geluti, Anda ingin dikenal sebagai apa?

Hmm... apa, ya? Ha ha ha. Cukup kenal aku sebagai pelaku dan pengamat seni saja. Sepertinya aku lebih senang begitu. Karena memang seni itu luas dan aku tidak mau terpaku di satu titik saja. Di sisi lain, saat ini saya juga bekerja part time sebagai Sales Associate di Banana Republic, Reporter di KABARI News and Magazine (media untuk warga Indonesia yang berada di AS), dan Cultural Board di GAPA.

Apa impian Anda lainnya yang belum kesampaian?

Apa, ya? Rasanya apa yang saya inginkan dalam dunia ini sudah kesampaian semua, ya. Dulu ada juga seorang teman yang bertanya seperti itu, "Paul, semua hal sudah kamu coba dan raih. Kalau dikasih kesempatan, apa lagi, nih, yang mau kamu lakukan?" Spontanitas aku bilang, suatu saat aku mau ada di Gedung Putih. Dan ternyata itu juga sudah kesampaian. Ha ha ha.

Bagaimana dengan rumah tangga, apakah Anda sudah menikah?

Aku sedang tidak punya pacar.

ESTER SONDANG

FOTO-FOTO: DOK. PRIBADI