Shirley Mansur, Dokter Muda yang 'Khatam' Kanker Serviks

By nova.id, Selasa, 10 November 2009 | 03:11 WIB
Shirley Mansur Dokter Muda yang Khatam Kanker Serviks (nova.id)

Dokter berdarah Sunda-Bangka ini amat tertarik pada penyakit kanker serviks. Itu sebabnya, sulung kelahiran 27 tahun lalu ini antusias mendalami penyakit itu lewat pendidikan tambahan di Belanda, menjadi sukarelawan keliling puskesmas, dan mengambil spesialisasi kandungan. Impiannya, tak ada lagi penderita kanker serviks di Indonesia.

Kenapa Anda tertarik pada kanker serviks?

Sejak kuliah di Fakultas Kedokteran UI saya sudah tertarik pada kanker serviks atau kanker leher rahim ini. Waktu itu, kalau saya ke bangsal pasien ginekologi dan onkologi, saya heran mengapa 90 persen pasiennya adalah pasien kanker serviks, dan banyak dari mereka yang tidak tertolong dan terlambat tahu.

Kedua, karena ini menyangkut perempuan. Ketiga, karena adanya kesempatan untuk mempelajari kanker serviks. Kebetulan, pada tahun terakhir kuliah bisa mendalami penyakit ini selama 3 bulan di Leiden University, Belanda. Lagipula, saya memang sangat ingin mengembangkan penelitian penyakit ini.

Apa yang Anda pelajari di Belanda?

Antara lain bagaimana mengekstraksi virus, bagaimana struktur virusnya, pembuatan vaksin dan aplikasi vaksin tersebut. Laboratorium mereka sangat canggih. Mereka mengirimkan mahasiswanya untuk mempelajari krio terapi. Sementara yang mereka lakukan adalah dengan cara leetz atau leep.

Apa itu krio terapi dan leetz?

Pada penyakit ini, sebelum menjadi kanker, muncul sel-sel calon ganas yang disebut lesi prakanker. Pengobatannya bisa dilakukan dengan cara krio terapi, di mana serviks akan dibekukan dengan tembakan es bersuhu minus 3 derajat celcius, sehingga lesinya bisa luruh dan terbuang bersama es yang mencair. Setelah itu, serviks yang baru akan muncul dan lebih mulus tanpa lesi. Begitu diketahui yang bersangkutan menderita lesi, saat itu juga krio terapi dilakukan.

Yang melakukan terapi ini adalah Indonesia, India, dan Cina. Sebab, populasi negara berkembang ini sangat besar dan penduduknya masih takut bila mendengar kata operasi. Lagipula, akses mereka terhadap kesehatan masih terbilang sulit dan dianggap mahal. Sementara, krio terapi ini hanya memakan waktu lima menit dengan biaya hanya sekitar Rp 20 ribu dan dapat dilakukan di puskesmas.

Jadi, penderita tidak perlu menginap dan tidak kesakitan saat tindakan. Sementara, di negara maju seperti negara-negara Eropa menghilangkan lesi dengan cara dikerok dengan laser lalu dibuang, inilah yang disebut leetz atau leep.

Adakah gejalanya?

Kalau masih prakanker, tidak ada. Tapi kalau sudah muncul bau tidak sedap dari area genital, perdarahan setelah berhubungan intim, dan nyeri, berarti yang bersangkutan sudah mencapai tahap selanjutnya. Pada stadium tiga dan akhir, semua itu makin menjadi. Malah tanpa berhubungan intim pun, bisa berdarah terus, juga sering keluar masuk rumah sakit dan butuh transfusi darah.

Butuh waktu 2-5 tahun untuk menjadi lesi prakanker. Dari lesi menjadi kanker butuh waktu 3-5 tahun. Sedangkan dari stadium awal ke stadium akhir, tergantung tipe yang dideritanya, bisa sampai 10 tahun. Selama itu, dia selalu kesakitan.

Bagaimana pengobatannya bila penyakit ini sudah berkembang menjadi kanker?

Kalau masih stadium 1-2, masih bisa disembuhkan dengan cara dioperasi, diangkat bersama rahimnya. Tapi kalau stadiumnya sudah lebih dari dua, pengobatannya dengan radiasi atau kemoterapi, tergantung tipe kanker leher rahim yang diderita. Hanya saja, lesi prakanker itu mudah dihilangkan dan tidak muncul lagi, sedangkan kalau sudah masuk ke tahap berikutnya, ketahanan hidup penderita akan menurun drastis.

Bagaimana cara mengetahui kita terkena kanker serviks atau tidak?

Mudah, dengan deteksi dini. Kalau di puskesmas, tenaga medis terlatih akan menyemprotkan asam cuka ke leher rahim. Kalau leher rahim berubah warna menjadi putih, itu berarti ada sel-sel calon ganas atau lesi yang akan berubah menjadi kanker leher rahim. Biaya pengecekan ini hanya Rp 5 ribu. Kalau di puskesmas tersebut tersedia mesinnya, krio terapi bisa dilakukan saat itu juga. Sedangkan di rumah sakit tersedia pap smear.

Kabarnya, di Indonesia kanker serviks menempati urutan pertama penyebab kematian perempuan, ya?

Benar, tingkat kematiannya di Indonesia sangat tinggi, prevalensinya 5-11 persen. Yang tertinggi di Tasikmalaya, yaitu 11 persen. Sedangkan terendah di Jakarta, yaitu 5 persen, walaupun ketika saya ke Cilincing, profil masyarakatnya agak mirip dengan Tasik. Di negara-negara maju seperti di Australia, prevalensinya hanya 4 persen. Mereka kaget, negara mereka yang warganya banyak menganut seks bebas saja cuma 4 persen, tapi kita kok, bisa setinggi itu.

Padahal, kenyataannya justru karena penduduk kita masih banyak yang sangat tertutup itulah yang jadi penyebab prevalensinya amat tinggi.

Tertutup bagaimana maksudnya?

Beberapa daerah memiliki tradisi yang masih sangat kuat dijalankan, misalnya di Tasik masih ada wilayah yang langsung menikahkan anak gadisnya setelah dia haid pertama. Waktu ke sana, saya menemukan perempuan yang umurnya masih 20 tahun tapi sudah menikah tiga kali dan punya empat anak. Nah, berganti-ganti pasangan dan punya anak banyak bisa jadi faktor risiko.

Apa pengalaman Anda di sana?

Pengetahuan mereka akan kesehatan ternyata amat minim, Mereka tidak tahu apa itu leher rahim atau di mana letaknya. Setelah diobati lesinya pun, mereka menolak ketika diminta untuk tidak berhubungan seks terlebih dulu selama 30 hari, supaya serviks yang tumbuh benar-benar bersih. Alasannya, mereka takut tidak bisa melayani suami.

Sebenarnya apa sih, penyebab kanker serviks?

97 persen adalah virus HPV, sisanya tidak diketahui. Virus ini sudah diekstraksi dan kapsulnya diambil untuk dibuat vaksin. Tapi sampai saat ini, vaksin ini sendiri umurnya baru 7,5 tahun, belum 10 tahun, jadi belum diketahui apakah tiga kali suntikan vaksin ini bisa digunakan untuk pertahanan seumur hidup. Di RSCM sendiri, ada 500 pasien baru yang terdaftar sebagai penderita kanker serviks setiap tahunnya, dan 200-300 pasien lama yang berobat tiap tahun.

Rata-rata, usia penderita adalah 40 tahun, dan kebanyakan ibu rumah tangga. Penyebabnya, karena anak banyak, pengetahuan mereka kurang, dan peran suami sebagai penentu pengobatan istri.

Pencegahannya bagaimana?

Penyakit ini tidak bisa dicegah dengan pola makan. Yang bisa dilakukan adalah menjalani pola hidup yang baik. Misalnya, setia pada pasangan, selalu menjaga daerah organ genital, dan kontrol teratur ke dokter atau bidan setiap enam bulan sekali. Untuk perempuan yang sudah menikah, dianjurkan periksa pap smear setahun sekali.

Anda kan, masih lajang. Tidak khawatir suatu saat terkena kanker serviks?

Jujur, kekhawatiran pasti ada. Tapi nanti saya akan periksa pap smear setelah menikah. Yang penting, kan, menjaga pola hidup.

Apa kegiatan Anda sekarang?

Saya sedang mengambil spesialisasi obstetri dan ginekologi di FKUI, sejak Juli 2008. Selain itu, juga mengajar di beberapa universitas dan akademi. Pada dasarnya, saya memang orangnya senang belajar. Waktu senggang pun saya habiskan dengan membaca buku-buku medis. Kalaupun baca novel, ceritanya ya, yang berhubungan dunia medis. Membosankan, ya? He he.

Untunglah, kedua orangtua saya, Mansur Hasanudin dan Lucia Moedjono, bisa mengerti, walaupun kami jarang bertemu. Oh ya, adik saya juga dokter, tapi dia dokter gigi. Pacar juga bisa mengerti walaupun kami berbeda dunia. Dia seorang pengusaha.

HASUNA DAYLAILATU