Nama Anda unik, Ralph. Ada ceritanya?Ralph diambil dari Ralph Buche, tokoh HAM yang vokal dan sempat mendapat Nobel perdamaian. Ketika usia 3 bulan saya dibawa ke Amerika karena Papa, Hasudungan Tampubolon, mengambil gelar doktor di Boston. Jadi, selama 5 tahun kami tinggal di sana, bahasa Inggris saya jadi lancar. Justru pas pulang ke Indonesia, saya malah belajar Bahasa Indonesia. Kebalik dengan anak-anak di sini, saya malah belajar Bahasa Indonesia dari awal.
Jadi presenter cita-cita sejak kecil?Ketika SMA saya mengambil jurusan Fisika. Saat kuliah Papa minta saya mengambil Fakultas Teknik. Dan ternyata tahun 1993 saya diterima di UI. Ternyata setelah dijalani, di semester 4-5 saya mulai merasakan kayaknya bukan di situ bidangnya. Di tengah jalan tersebut, saya punya teman yang kerja di radio. Menurut dia, suara saya cocok jadi penyiar. Saya pikir, kenapa tidak dicoba. Akhirnya saya diterima. Hitung-hitung kerja sampingan karena masih kuliah. Orangtua sempat menasihati jangan terlalu sibuk jadi penyiar radio. Pokoknya harus bisa jaga keseimbangan antara kerja sampingan dan kuliah. Untunglah bisa selesai dua-duanya.
Pengalaman pertama saat siaran?Sebelum siaran ada training, meski sebentar. Saya mengikuti super diklat dengan melakukan simulasi di belakang perangkat siar selama 10 hari. Saya menyukai pekerjaan ini karena minat saya ke sana, jadi mengerjakannya pun dengan semangat. Kerjaan saya waktu itu lebih banyak ke musik, memutar lagu yang diinginkan pendengar.
Setelah lulus, Anda meneruskan kemana?Lulus kuliah Desember 1998, saya ke Thailand mengambil master di bidang yang saya minati, yaitu komunikasi. Sebenarnya pengin sekolah di Amerika. Tapi terbentur krismon yang biayanya pasti membengkak. Kebetulan, Papa ditugaskan di Bangkok dua tahun. Bersamaan itu, saya mendapat info ada Universitas yang pusatnya di Amerika tapi buka cabang di Thailand. Ditambah lagi ada program S2 Komunikasi Media dengan biayanya lebih murah dibanding ke Amerika.
Anda juga tertarik film ya?Betul. Saat kuliah S2 hingga lulus tahun 2000, saya banyak menonton film, ada juga mata kuliah yang membahas film. Rupanya besar juga ya peluangnya di film. Saya pun melamar ke beberapa sekolah dan sekolah di Boston selama 1 tahun. Di sana saya belajar penulisan naskah dan dasar-dasar akting. Saya senang semi ekperimental, kalau ada minat, kok, enggak dijalani.Tahun 2002-2003 saya pulang ke Jakarta. Saat itu pergerakan film baru dimulai. Sementara dunia broadcast sedang bagus karena banyak stasiun teve berdiri, salah satunya Metro TV. Ke sanalah saya mengejarnya, karena di sisi penyiaran, kan, ada sisi pembuatan naskah juga.
Kenapa justru ingin jadi pembaca berita Metro TV?Entah kenapa ya, ada ketertarikan menjadi pembaca berita. Karena apa yang saya pelajari tertuang semua ketika menjadi pembaca berita. Ada sisi penyiaran, penulisan naskah, dibutuhkan juga modal akting saat membacakan berita. Menurut saya, Metro TV adalah stasiun teve yang lebih fokus, punya karakter yang beda dari teve lain, dan loyal di jalur itu.Akhirnya, saya melamar kerja ke Metro TV. Wah, ternyata tidak gampang, lho, banyak lika likunya. Sudah tidak terhitung berapa kali saya mengajukan lamaran ke Metro TV tapi belum dipanggil-panggil dalam kurun waktu sampai 1-2 tahun. Kadang mengirimkan lamaran melalui jalur resmi ke HRD atau tidak resmi misalnya titip teman. Saya juga rajin melihat acara yang saya minati, misalnya, program Bahasa Inggris, kemudian di akhir acara tercantum nama produsernya, itulah nama yang saya kirimkan lamaran kerja.
Enggak bosan?Selama dua tahun mencari kerja, saya mencoba menambah pengalaman dengan bekerja di TVRI bagian news. Siaran semua program selama setahun, mulai dari Dunia Dalam Berita, atau liputan ke istana. Saya banyak belajar dan dapat ilmu dari senior-senior di TVRI. Yang menyenangkan, waktu kecil saya, kan, suka nonton TVRI, ada pembaca berita seperti Teungku Malinda dan Inez Sukandar. Nah, sekarang, kok, saya duduk bersebelahan dengan mereka membacakan Dunia Dalam Berita. Wow! Seperti mimpi saja. Itu pengalaman yang menarik bagi saya. Tapi, lagi-lagi niatnya enggak mau terlalu lama di sana, tetap pengin coba di teve swasta. Syukurlah, akhirnya saya diterima di Metro TV awal 2006 sampai sekarang.
Langsung siaran?Saya enggak langsung siaran, tapi digembleng dulu di belakang layar melihat bagaimana proses produksi sebuah tayangan berjalan. Saya belajar mulai dari pencarian berita sampai diudarakan, penulisan, peliputan, supervisi editing, membantu produser di ruang kontrol, pada saat eksekusi program saya harus tahu. Jadi, tidak dibiarkan hanya duduk manis, tanpa tahu bagaimana jerih payah teman-teman lain yang bekerja. Karena kalau enggak belajar kita cenderung jadi egois, banyak menuntut, tidak menghargai pekerjaan orang lain, kita direndahkan secara hati bahwa proses ini tidak gampang. Jadi, kalau lagi siaran tiba-tiba ada naskah yang salah, saya lebih bisa memaklumi karena tahu apa yang terjadi di atas, kekurangan dan kelebihan kita apa.
Kapan Anda mulai siaran?Setelah 6 bulan di belakang layar, saya baru siaran. Program pertama yang dipegang Metro Malam dan Headline News dini hari. Karena minatnya besar ditambah sering melek malam, suka begadang, jadi kebawa saat siaran, ya sudah klop. Meski kadang jam 4 pagi suka ngantuk, ya ditahan saja.