Ralph Tampubolon, Ingin Kerja di Teve Negara Tetangga

By nova.id, Sabtu, 19 September 2009 | 17:52 WIB
Ralph Tampubolon Ingin Kerja di Teve Negara Tetangga (nova.id)

Ralph Tampubolon Ingin Kerja di Teve Negara Tetangga (nova.id)

"Foto: Daniel Supriyono (NOVA) "

Nama Anda unik, Ralph. Ada ceritanya?Ralph diambil dari Ralph Buche, tokoh HAM yang vokal dan sempat mendapat Nobel perdamaian. Ketika usia 3 bulan saya dibawa ke Amerika karena Papa, Hasudungan Tampubolon, mengambil gelar doktor di Boston. Jadi, selama 5 tahun kami tinggal di sana, bahasa Inggris saya jadi lancar. Justru pas pulang ke Indonesia, saya malah belajar Bahasa Indonesia. Kebalik dengan anak-anak di sini, saya malah belajar Bahasa Indonesia dari awal.

Jadi presenter cita-cita sejak kecil?Ketika SMA saya mengambil jurusan Fisika. Saat kuliah Papa minta saya mengambil Fakultas Teknik. Dan ternyata tahun 1993 saya diterima di UI. Ternyata setelah dijalani, di semester 4-5 saya mulai merasakan kayaknya bukan di situ bidangnya. Di tengah jalan tersebut, saya punya teman yang kerja di radio. Menurut dia, suara saya cocok jadi penyiar. Saya pikir, kenapa tidak dicoba. Akhirnya saya diterima. Hitung-hitung kerja sampingan karena masih kuliah. Orangtua sempat menasihati jangan terlalu sibuk jadi penyiar radio. Pokoknya harus bisa jaga keseimbangan antara kerja sampingan dan kuliah. Untunglah bisa selesai dua-duanya.

Pengalaman pertama saat siaran?Sebelum siaran ada training, meski sebentar. Saya mengikuti super diklat dengan melakukan simulasi di belakang perangkat siar selama 10 hari. Saya menyukai pekerjaan ini karena minat saya ke sana, jadi mengerjakannya pun dengan semangat. Kerjaan saya waktu itu lebih banyak ke musik, memutar lagu yang diinginkan pendengar.

Setelah lulus, Anda meneruskan kemana?Lulus kuliah Desember 1998, saya ke Thailand mengambil master di bidang yang saya minati, yaitu komunikasi. Sebenarnya pengin sekolah di Amerika. Tapi terbentur krismon yang biayanya pasti membengkak. Kebetulan, Papa ditugaskan di Bangkok dua tahun. Bersamaan itu, saya mendapat info ada Universitas yang pusatnya di Amerika tapi buka cabang di Thailand. Ditambah lagi ada program S2 Komunikasi Media dengan biayanya lebih murah dibanding ke Amerika.

Anda juga tertarik film ya?Betul. Saat kuliah S2 hingga lulus tahun 2000, saya banyak menonton film, ada juga mata kuliah yang membahas film. Rupanya besar juga ya peluangnya di film. Saya pun melamar ke beberapa sekolah dan sekolah di Boston selama 1 tahun. Di sana saya belajar penulisan naskah dan dasar-dasar akting. Saya senang semi ekperimental, kalau ada minat, kok, enggak dijalani.Tahun 2002-2003 saya pulang ke Jakarta. Saat itu pergerakan film baru dimulai. Sementara dunia broadcast sedang bagus karena banyak stasiun teve berdiri, salah satunya Metro TV. Ke sanalah saya mengejarnya, karena di sisi penyiaran, kan, ada sisi pembuatan naskah juga.

Kenapa justru ingin jadi pembaca berita Metro TV?Entah kenapa ya, ada ketertarikan menjadi pembaca berita. Karena apa yang saya pelajari tertuang semua ketika menjadi pembaca berita. Ada sisi penyiaran, penulisan naskah, dibutuhkan juga modal akting saat membacakan berita. Menurut saya, Metro TV adalah stasiun teve yang lebih fokus, punya karakter yang beda dari teve lain, dan loyal di jalur itu.Akhirnya, saya melamar kerja ke Metro TV. Wah, ternyata tidak gampang, lho, banyak lika likunya. Sudah tidak terhitung berapa kali saya mengajukan lamaran ke Metro TV tapi belum dipanggil-panggil dalam kurun waktu sampai 1-2 tahun. Kadang mengirimkan lamaran melalui jalur resmi ke HRD atau tidak resmi misalnya titip teman. Saya juga rajin melihat acara yang saya minati, misalnya, program Bahasa Inggris, kemudian di akhir acara tercantum nama produsernya, itulah nama yang saya kirimkan lamaran kerja.

Enggak bosan?Selama dua tahun mencari kerja, saya mencoba menambah pengalaman dengan bekerja di TVRI bagian news. Siaran semua program selama setahun, mulai dari Dunia Dalam Berita, atau liputan ke istana. Saya banyak belajar dan dapat ilmu dari senior-senior di TVRI. Yang menyenangkan, waktu kecil saya, kan, suka nonton TVRI, ada pembaca berita seperti Teungku Malinda dan Inez Sukandar. Nah, sekarang, kok, saya duduk bersebelahan dengan mereka membacakan Dunia Dalam Berita. Wow! Seperti mimpi saja. Itu pengalaman yang menarik bagi saya. Tapi, lagi-lagi niatnya enggak mau terlalu lama di sana, tetap pengin coba di teve swasta. Syukurlah, akhirnya saya diterima di Metro TV awal 2006 sampai sekarang.

Langsung siaran?Saya enggak langsung siaran, tapi digembleng dulu di belakang layar melihat bagaimana proses produksi sebuah tayangan berjalan. Saya belajar mulai dari pencarian berita sampai diudarakan, penulisan, peliputan, supervisi editing, membantu produser di ruang kontrol, pada saat eksekusi program saya harus tahu. Jadi, tidak dibiarkan hanya duduk manis, tanpa tahu bagaimana jerih payah teman-teman lain yang bekerja. Karena kalau enggak belajar kita cenderung jadi egois, banyak menuntut, tidak menghargai pekerjaan orang lain, kita direndahkan secara hati bahwa proses ini tidak gampang. Jadi, kalau lagi siaran tiba-tiba ada naskah yang salah, saya lebih bisa memaklumi karena tahu apa yang terjadi di atas, kekurangan dan kelebihan kita apa.

Kapan Anda mulai siaran?Setelah 6 bulan di belakang layar, saya baru siaran. Program pertama yang dipegang Metro Malam dan Headline News dini hari. Karena minatnya besar ditambah sering melek malam, suka begadang, jadi kebawa saat siaran, ya sudah klop. Meski kadang jam 4 pagi suka ngantuk, ya ditahan saja.

Banyak belajar dengan siapa di Metro TV?Saya banyak belajar dengan Manajer Presenter, Fifi Aleyda Yahya, senior saya. Dia banyak memberikan masukan. Lalu, dengan Pius Pope, veteran dalam hal olah vokal, gerak tubuh, intonasi suara, dialah gurunya siaran. Sebelum di Metro saya pernah ketemu di TVRI.

Liputan yang mengesankan?Ketika banjir hebat melanda Jakarta, Metro TV termasuk yang terkena banjir. Saya harus tetap meliput, kebetulan rumah orangtua masih dekat kantor, meski tidak terkena banjir, tapi akses ke luar rumah, air sudah mencapai sepinggang, saya harus jalan kaki. Mungkin karena sudah panggilan jiwa, ya, saya tetap semangat meliput. Dari rumah saya sudah siap bawa baju ganti. Studio yang terletak di lantai satu terpaksa dipindahkan sementara ke lantai dua. Selama sebulan memakai studio buatan dan tidur di kantor. Malas mau pulang apalagi lihat airnya berwarna cokelat.

Lalu, yang menyedihkan?Dari Mbak Fifi saya dapat masukan, katanya pemirsa pernah mengritik cara bicara saya di depan teve, seperti berkumur-kumur hingga tidak jelas bicaranya. Bagi saya kritikan dan pujian diterima dengan lapang dada dan seimbang. Prinsip saya, tidak mungkin saya bisa menyenangkan semua orang, semaksimal apapun berusaha, pasti ada saja orang yang enggak suka dengan saya.Nah, kebetulan saya suka malas senam muka. Pope selalu mengajarkan melakukan senam rahang, tenggorokan, dan muka harus dilenturkan supaya lemas. Intinya, mulut harus terbuka agar artikulasinya jelas. Ditambah lagi, waktu itu saya baru pasang kawat gigi, jadi kalau bicara agak berat karena ada objek asing di dalam mulut, butuh waktu membiasakan. Jadi, agak kagok bicaranya.

Ternyata pemirsa jeli ya?Wah, memang betul. Pernah saya dikiritik karena pakai celana yang "salah". Saya pakai celana darurat yang di bawahnya masih ada lipatan. Langsung, lho, dikomentari. Tapi saya terima dengan positif, artinya saya masih diperhatikan orang, kan.

Wajah Anda makin banyak dikenal, bagaimana rasanya?Kadang-kadang saja, kok, ada yang mengenal saya kalau ketemu di jalan. Mereka lebih hafal wajah daripada nama.

Dimana Anda bertemu istri?Waktu itu istri saya, Melissa Karim, penyiar di Hard Rock FM, sementara saya di Radio One sekarang jadi JakFM. Tina Zakaria menyampaikan salam dari Melissa. Kami pun berkenalan saat dia jadi MC di sebuah acara. Ternyata begitu ketemu langsung klop, nyambung kalau ngobrol. Meski ada perbedaan bukan menjadi sesuatu kendala. Saya memang pendiam, sementara istri cerewet, makanya dia suka jadi jubir keluarga. Ha ha ha.

Bagaimana membagi waktu dengan istri?Sebenarnya saya lebih sibuk karena kerjanya full time, sementara istri tergantung job. Apalagi sekarang, kan, The Master sudah selesai, kalau enggak ada kerjaan ya kami bisa bertemu (Melissa menjadi salah satu komentator di acara The Master). Sebenarnya, saya lebih senang di rumah, paling keluar ke mal atau nonton. Setelah setahun menikah, rencananya kami baru serius mikirin anak. Setahun ini benar-benar untuk berdua, saya enggak mau menunda bulan madu. Takutnya, malah enggak kesampaian.

Banyak yang memuji ketampanan Anda. Bagaimana Anda menjaganya?Menjaga kesehatan badan dengan fitness, treadmill, basket dengan teman-teman SMA, jaga pola makan, enggak boleh kelebihan berat badan karena akan terlihat di layar teve. Untuk menjaga kesehatan kulit, istri saya suka memberi facial gratis di rumah tiap weekend. Biar kulit wajah tetap terawat. Saya bersyukur kalau ada yang bilang saya ganteng, meski sebenarnya itu subjektif ya. Mungkin ada yang menganggap saya biasa saja. Jangan sampai saya di awang-awang, karena saya tahu ini adalah sedikit dari potongan kue yang utuh.

Apa keinginan Anda yang belum tercapai?Ingin cari pengalaman kerja di teve luar seperti Singapura atau Hongkong, yang dekat-dekat saja. Karena saya ingin menambah pengalaman, dan sebagai faktor pembanding apa, sih, kelebihan dan kekurangan mereka.

Dukungan orangtua?Papa selalu mengajarkan, takut pada Tuhan, artinya percayailah dan yakinlah akan Tuhan. Secara konsisten Papa juga selalu memberitahu saya, sampai-sampai kuping saya merah. Pentingnya manusia itu punya visi, kerja keras, jangan jadi orang yang biasa-biasa saja. Jadilah orang biasa yang bekerja keras hingga menjadi luar biasa.

Masih minat ke film?Film ditinggalkan dulu sementara, meski masih suka nonton film Barat dan Indonesia, karena film adalah komunikasi media yang unik. Bayangkan, dalam satu setengah jam bisa menyampaikan sesuatu hingga penonton paham. Apakah nanti saya jadi pelaku masih tanda tanya, tapi minatnya masih ke sana, kok.

Noverita K. Waldan